Rabu, 30 September 2015

Rekonsiliasi tanpa politik?


Baskara T Wardaya | 30 Sep 2015

Pertemuan Sekber 65 di Solo, Jawa Tengah, 2013

Rekonsiliasi politik tentu merupakan konsep yang sederhana. Ketika tuntutan moral terlalu tinggi, momentum sosial menderita. Definisi abstrak tentang rekonsiliasi yang melibatkan gagasan romantis tentang pertobatan, pengampunan dan restitusi seringkali secara politis tidak membantu. 
 Charles Villa-Vicencio, menulis tentang rekonsiliasi Afrika Selatan

Upaya-upaya untuk menyelesaikan rekonsiliasi politik mengenai kekerasan massal tahun 1960-an dimulai tak lama setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Suharto pada tahun 1998. Sejumlah organisasi non-pemerintah didirikan dengan maksud untuk memberikan bantuan politik bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu, terutama para korban politikus 1965-66, juga dikenal sebagai Tragedi '65 (tragedi 1965).

Sebagian besar organisasi ini berbasis di Jakarta dan memiliki agenda politik yang kuat. Mereka secara langsung menuntut agar pemerintah bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada 1965-66. Mereka juga meminta agar tuntutan para korban dan mereka yang selamat dari tragedi 1965 dipenuhi, termasuk pertobatan dan restitusi resmi.

Beberapa dari organisasi ini menghadapi tantangan serius. Kegiatan mereka sering menimbulkan reaksi keras dalam bentuk tekanan politik dan protes publik dari militer dan kelompok sipil yang menentang diskusi publik tentang tragedi 1965. Hal ini menyebabkan perpecahan internal dalam kelompok-kelompok yang bekerja untuk rekonsiliasi pada pertanyaan tentang bagaimana berurusan dengan pemerintah. Beberapa organisasi bahkan putus karena pertanyaan ini.

Pada 2004, parlemen mengeluarkan undang-undang untuk membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Apakah masalah seputar tragedi 1965 sekarang akhirnya ditangani? Sayangnya undang-undang tersebut menciptakan perpecahan di antara para aktivis hak asasi manusia sehubungan dengan pertanyaan apakah rekonsiliasi dan amnesti memerlukan mekanisme hukum dan pengungkapan kebenaran. Yang mengejutkan banyak orang, Mahkamah Konstitusi Indonesia menanggapinya dengan mencabut undang-undang itu seluruhnya pada bulan Desember 2006.

Upaya rekonsiliasi lokal

Dengan latar belakang ini, lahirlah kelompok-kelompok baru yang menangani nasib para penyintas tahun 1965, tetapi mereka melakukannya tanpa secara langsung dan politis menantang pemerintah pusat. Salah satunya adalah sekelompok penyintas di Solo, Jawa Tengah, yang mendirikan organisasi bernama Sekretariat Bersama 1965 (Sekretariat Bersama 1965) atau SekBer '65.

Didirikan pada tahun 2005, SekBer '65 berbeda dari organisasi lain yang berurusan dengan tragedi 1965 dalam lingkup dan pendekatannya. Di mana orang lain fokus pada ibukota Indonesia, Jakarta, SekBer '65 bertujuan untuk menjadi 'sekretariat bersama' yang mengoordinasikan organisasi-organisasi yang selamat di tingkat kabupaten di Jawa Tengah. Yang paling penting, itu menghindari pendekatan politik dan menghindari konfrontasi langsung dengan pemerintah pusat. 

Ia tidak, misalnya, bergabung dalam upaya menekan pemerintah untuk membatalkan dekrit 1966 yang melarang komunisme dan Marxisme-Leninisme di Indonesia (apa yang disebut TAP MPRS No. 25/1966). SekBer '65 juga menolak untuk bergabung dengan kelompok yang menuntut pengadilan terhadap pelaku tragedi 1965. Sebagian besar pelaku kejahatan sudah mati. Terlebih lagi, dalam pandangan SekBer '65, sistem hukum Indonesia masih sangat korup. Kelompok ini merasa hampir tidak mungkin bagi para penyintas untuk memenangkan kasus mereka.

SekBer '65 benar-benar berharap bahwa negara, dalam hal ini pemerintah, meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas 'tragedi kemanusiaan yang luar biasa' tahun 1965-66. Tetapi sebelum permintaan maaf seperti itu menjadi kenyataan, SekBer '65 bekerja pada rekonsiliasi dari bawah dengan mengorganisir forum di tingkat akar rumput. Ia berharap bahwa upaya-upaya semacam itu akan membuat penanganan pelanggaran HAM masa lalu lebih konkret, dan karenanya akan mendorong rekonsiliasi di tempat lain. 

SekBer '65 menekankan pentingnya hubungan pribadi - antara sesama penyintas dan antara penyintas dan anggota masyarakat lainnya tempat mereka tinggal. Dengan cara ini, kelompok mengantisipasi kehadiran kelompok di Jawa Tengah yang siap untuk melawan dan bahkan menyerang forum apa pun yang membahas masalah 1965. 

Apolitis?

Suatu pendekatan politik tentu saja tetap menjadi pilihan untuk SekBer '65, tetapi hanya di mana itu secara langsung membantu para korban yang selamat dalam keadaan buruk mereka dan tidak memperumit situasi. 'Politik' dalam pengertian ini berarti bagi SekBer '65 mekanisme non-peradilan, upaya untuk mengatasi masalah 1965 melalui rekonsiliasi dalam kerangka kerja komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Ketika Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) merekomendasikan dua alternatif untuk menyelesaikan masalah tahun 1965 pada tahun 2012 - yaitu melalui mekanisme hukum atau politik - SekBer '65 memilih mekanisme politik. 

Organisasi anggota SekBer '65 lokal mengadakan pertemuan bulanan di lokasi masing-masing. Kadang-kadang mereka mengadakan forum yang lebih besar di Solo, rumah bagi administrasi koordinasi pusat. Untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya rekonsiliasi, SekBer '65 bekerja sama dengan kelompok lain, termasuk organisasi mahasiswa. Ini host forum diskusi publik, mengumpulkan catatan korban tragedi 1965 yang masih hidup, dan membuat inventaris kuburan massal. Terlepas dari sikap apolitisnya, SekBer '65 mencari dukungan internasional untuk menekan pemerintah Indonesia untuk mengakui tragedi 1965 sebagai pelanggaran HAM berat. 

Bpk. Ngismail (107 tahun, katanya) seorang penyintas tahun 1965 dari Klaten, Jawa Tengah, 2014

Awalnya, SekBer '65 berkembang lambat dan hanya di daerah Solo. Namun kemudian mulai berkembang pesat ke daerah lain di Jawa Tengah. Pada awalnya, SekBer '65 tidak yakin bagaimana berhubungan dengan pemerintah daerah. Tetapi ketika mendapat kepercayaan diri itu memulai komunikasi dan bahkan mulai bekerja sama dengan kantor-kantor pemerintah. Yang mengejutkan, beberapa dari mereka tidak memiliki masalah dengan keberadaan dan kegiatan organisasi.
Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi (Kominfo) Indonesia memberi SekBer '65 izin untuk menggunakan gedungnya di Solo untuk dua seminar pada 1965. Pada November 2012, SekBer '65 menyelenggarakan diskusi buku yang dihadiri, antara lain, Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo. Hampir setahun kemudian, pada bulan September 2013, SekBer '65 mengadakan pemutaran film dokumenter publik 40 Years of Silence: Tragedi Indonesia, di mana para korban tragedi 1965 menceritakan pengalaman mereka.

Kehadiran Walikota Solo pada 2012 itu penting. Dia bersedia terlibat dalam dialog dengan para penyintas tragedi 1965 dan tampaknya berkomitmen untuk membantu mereka menikmati hak dan manfaat yang sama dengan warga Solo lainnya. Bupati Karanganyar, dekat Solo, juga merespons secara positif dengan memberikan layanan kesehatan dan layanan lainnya kepada anggota Sekber '65.

Banyaknya tanggapan positif yang dinikmati SekBer '65 tidak berarti anggotanya tidak mengalami kesulitan. Pada 24 Februari 2015, SekBer '65 akan menjadi tuan rumah sebuah forum tentang program kesehatan pemerintah untuk para penyintas, bersama dengan Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tiba-tiba pertemuan itu diserang. Sekelompok orang yang memegang bendera dan spanduk dengan simbol anti-komunis dan Islam memblokir tempat forum. Para pengunjuk rasa melarang peserta untuk memasuki lokasi forum sambil meneriakkan slogan-slogan anti-komunis. Personel keamanan yang hadir tidak melakukan apa pun untuk melindungi para penyintas. Pada akhirnya forum dibatalkan.

Terlepas dari kejadian ini, pemerintah Indonesia mendesak Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Budaya untuk mengambil langkah konkret untuk memberikan bantuan kesehatan dan ekonomi bagi para penyintas tragedi 1965. Ini penting karena praktik diskriminasi anti-komunis telah lama mempersulit banyak penyintas untuk mendapatkan pekerjaan. Banyak juga yang kesehatannya buruk karena usia lanjut. Salah satu langkah yang dilakukan oleh kementerian adalah menyediakan program pelatihan bagi anggota keluarga yang selamat dari 1965 untuk membuat produk rumah tangga, yang penjualannya akan menghasilkan pendapatan.

Menjelang rekonsiliasi

Bahkan di Afrika Selatan, seperti ditulis Charles Villa-Vicencio, rekonsiliasi politik adalah 'konsep yang seharusnya sederhana'. Kondisi di Indonesia mungkin bahkan lebih tidak kondusif daripada di Afrika Selatan Nelson Mandela. Pendekatan apolitis SekBer '65 harus dihargai sebagai konsep sederhana yang bertujuan rekonsiliasi. Metodenya meminimalkan kemungkinan tekanan dari kelompok anti-1965. Korban merasa aman dan aman, dan mereka menjadi lebih bersedia untuk bergabung dengan kegiatan SekBer '65.

Pada saat yang sama, harus diakui bahwa inisiatif SekBer '65 tidak cukup untuk mencapai rekonsiliasi di tingkat nasional, kecuali dengan menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Pendekatan SekBer '65-an' non-politik 'sebenarnya cukup politis. Tetapi ini terbatas dalam skala. Ia tidak adil terhadap besarnya dan dampak dari tragedi 1965, atau terhadap faktor-faktor nasional dan internasional yang menyebabkannya. Memang, mekanisme non-peradilan dalam bentuk rekonsiliasi bukanlah jawaban untuk semua masalah hak asasi manusia. Ini bisa menjadi mekanisme yang tepat untuk menghadapi tragedi 1965. Tetapi sebagai cara untuk mengatasi masalah hak asasi manusia yang lebih baru, seperti pembunuhan di luar hukum tahun 1980-an dan kerusuhan Mei 1998, itu mungkin tidak cukup.

Baskara T Wardaya (baskaramu@yahoo.com) adalah dosen di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Volume kisah penyintas tahun 1965 yang dieditnya diluncurkan pada pertemuan Sekber '65 pada tahun 2012. Ini diterjemahkan sebagai Truth Will Out: Akun Indonesia tentang Kekerasan Massal 1965 (2013).

Source: Inside Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar