Rizky Sekar Afrisia, CNN
Indonesia | Rabu, 30/09/2015 10:10 WIB
Ilustrasi menulis. (Getty
Images/Jarin13)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah rumah di Jalan Tjidurian
19, kawasan Menteng, Jakarta menjadi salah satu saksi bagaimana seniman-seniman
masa 1960-an mematangkan ide kreasi mereka hingga merdeka.
Rumah itu menjadi sekretariat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu wadah seni yang diinisiasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di sana, lukisan dan artikel perjuangan terpajang. Diskusi demi diskusi mengalun.
Rumah itu menjadi sekretariat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu wadah seni yang diinisiasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di sana, lukisan dan artikel perjuangan terpajang. Diskusi demi diskusi mengalun.
"Seni pada waktu itu ya mencerminkan keadaan waktu itu. Banyak yang menulis gerakan, atau petani yang jadi korban dan terbunuh," ucap Martin Aleida, wartawan dan penulis yang turut berkecimpung di dunia seni masa itu.Para pelukis menuangkan perjuangan lewat gambar. Para penyair membuat puisi. Penulis merangkai kata-kata menceritakan peristiwa.
Amarzan Lubis, wartawan dan seniman lain yang juga hidup
di era yang sama menambahkan, semangat berkesenian saat itu sangat
meletup-letup.
"Itu baru 20 tahun setelah proklamasi, kita sedang proses menuju keindonesiaan," ujarnya pada CNN Indonesia, Selasa (29/9).Seni yang ada pada saat itu, lanjutnya, merupakan bentuk representasi baru untuk Negeri Khatulistiwa. "Kita sedang mencari bentuk Indonesia seperti apa," ujar Amarzan.
Namun semua semangat itu porak-poranda saat PKI dituding menjadi musuh bangsa. Sekretariat Lekra yang merupakan rumah budayawan Oey Hay Djoen dirampas. Para seniman dicap PKI dan diburu. Mereka juga dimusuhi Orde Baru.
"Semua yang dituduh terlibat, punya nama saja tidak boleh. Tidak bisa jadi wartawan, tidak bisa jadi penulis. Harus ganti nama dulu. Tapi kalau ketahuan juga ditangkap lagi," kata Martin mendeskripsikan kondisi pelik kala itu.
Amarzan membenarkan itu. Katanya, kegiatan sastra langsung hilang dari Tjidurian 19. "Ada yang ditangkap, ada yang lari," tuturnya.Mereka yang bertahan hidup sampai sekarang, ada yang terus menyuarakan perjuangan sevokal dahulu. Ada pula yang memilih tetap berkarya namun tak lagi mengusik kenangan masa lalu.
Djoko Pekik, salah satu
seniman yang hidup di masa Lekra. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa)
|
Dari sisi perupa, masih banyak yang sanggup melukis
tentang penderitaan bangsa pada 1965. Martin menyebut Amrus Natalsya dan Djoko
Pekik. Namun, ia melanjutkan, tidak sedikit penulis yang "melempem"
karena trauma masa lalu.
"Secara mental, sudah tidak lagi bisa menulis," tuturnya. Penderitaan yang dialami terlalu pahit. "Sobron Aidit misalnya. Dia enggak bisa pulang, dimasukkan kamp konsentrasi. Dia tidak bisa menyuarakan apa yang dirasakan dan dipikirkan," lanjut Martin.Amarzan tidak sependapat dengan itu. Di masa sekarang, seniman masa lalu mungkin memang lebih sibuk menghidupi diri sendiri. Tapi tidak sedikit pula yang masih terus menulis, seperti dirinya. Lagipula, tema 1965 juga masih bisa diteruskan kalangan muda.
"Saya tidak membaca semua, tapi ada Noorca Massardi, Leila Chudori, Laksmi Pamuntjak, itu menarik," ujar Amarzan. Novel Leila, Pulang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Demikian pula dengan novel Laksmi, Amba.Namun di mata Martin, karya generasi muda itu tetap tidak bisa merepresentasikan apa yang benar-benar terjadi pada masa 1965. Di novel Pulang dan Amba misalnya, Martin melihat kejadian 1965 hanya sebagai latar belakang.
"Tidak ada pendalaman. Tidak mewakili perasaan bangsa," ujarnya. Baginya, mungkin karena Leila dan Laksmi tidak berada di situasi masa itu. "Jadi tidak bisa menjiwai," tuturnya.Martin sendiri banyak menulis sampai sekarang. Namun meski tak ada lagi sensor pemerintah seperti saat Orde Baru, ia merasa golongan masyarakat fanatik lebih "menyeramkan."
Sebaliknya, Amarzan menilai ketidakmampuan generasi muda memotret persis kejadian masa itu adalah hal wajar.
"Memang selalu begitu, karya sastra selalu tidak bisa mencerminkan keadaan sebenarnya. Kecuali Pram (Pramoedya Ananta Toer) ya," katanya menjelaskan.Lagipula, ia menambahkan, memang tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi pada masa 1965. Padahal karya sastra butuh riset panjang.
"Banyak dokumen yang tidak bisa ditemukan. Banyak saksi yang sudah meninggal. Dalam 32 tahun masa Soeharto, sejarah juga direkayasa, dokumen dihilangkan," ujarnya
Karena itu, riset justru harus dilakukan di luar negeri. Amerika Serikat dan Belanda menurutnya termasuk negara yang lengkap dan rapi dalam pendokumentasian. "Sedangkan ke luar negeri kan biayanya mahal," kata Amarzan. (rsa/vga)
0 komentar:
Posting Komentar