Kamis, 17 September 2015 | Ayung Notonegoro*
Kebanyakan buku sejarah tentang Banyuwangi masih berupa kumpulan artikel sejarah. Yang mana hanya mengupas penggalan-penggalan sejarah secara singkat. Sedikit sekali ada buku sejarah yang fokus membahas satu bagian sejarah tentang Banyuwangi secara utuh. Diantara yang sedikit tersebut, buku Hoo Tong Bio; Kisah Klenteng Tertua di Ujung Timur Jawa 1965-2014 adalah salah satunya.
Buku yang ditulis oleh Ika Ningtyas ini menuturkan tentang sejarah sebuah klenteng tertua di Banyuwangi, Klenteng Hoo Tong Bio, beserta kehidupan etnis Tionghoa yang menghidupinya. Namun, buku tersebut lebih mengfokuskan perkembangan dan dinamika Klenteng Hoo Tong Bio selama tahun 1965 – 2014 yang begitu erat kaitannya dengan kebijakan politik pemerintah.
Meski buku tersebut hanya memfokuskan pada tahun 1965 hingga 2014, namun buku ini juga menyajikan sejarah tentang etnis Tionghoa secara garis besar di Indonesia dan dari masa ke masa. Mulai pertama kali masuk ke Indonesia, kemudian masuk ke Banyuwangi. Lalu perkembangannya sejak masa kerajaan, kolonial, dan juga awal-awal kemerdekaan.
Pada bagian pertama buku ini, menyorot tentang awal mula masuknya etnis Tionghoa ke Indonesia. Mengutip Groneveldt, orang Tionghoa yang pertama kali menginjakkan kaki ke nusantara adalah Faxian, seorang peziarah Budhis, yang diperkirakan terjadi pada tahun 413 M (hal.2). Setelah itu, gelombang kedatangan orang-orang Tiognhoa makin masif, terutama pada abad ke-15 dan abad ke-16. Dimana kebanyakan wilayah yang dituju adalah Jawa dan Sumatra.
Pola migrasi orang Tionghoa yang ke Jawa dan ke Sumatra atau Kalimantan sangat berbeda. Jika di Sumatra dan Kalimantan, migrasi orang Tionghoa cenderung berkelompok dan berjumlah besar. Sedangkan yang ke Jawa, pola migrasinya dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan kebudayaan dan tradisi dari etnis Tionghoa itu sendiri. Jika di Sumatra yang kehidupan orang Tionghoanya berjumlah besar, mereka mampu mempertahankan budaya maupun bahasa Mandarin sampai beberapa generasi. Sedangkan yang bermigrasi ke Jawa, karena berkelompok kecil, mereka berupaya untuk berbaur dengan penduduk setempat. Sehingga pada generasi selanjutnya, kebanyakan dari mereka sudah kehilangan bahasa Mandarinnya (hal.5).
Sedangkan migrasi orang Tionghoa ke Blambangan (Kerajaan yang berada sebelum Kabupaten Banyuwangi berdiri), diperkirakan pertama kali pada abad ke-14. Saat itu, pasukan Laksamana Cheng Ho melakukan perjalananannya ke Kerajaan Majapahit dan Blambangan. Kedatangannya ke Blambangan terjadi pada tahun 1405 M (hal. 39). Dalam Babad Notodiningratan, menyebutkan bahwa etnis Tionghoa mulai menetap di Blambangan berkisar pada tahun 1631 M. Namun dalam perpindahannya yang masif ke Blambangan diduga kuat terjadi pada tahun 1740. Dimana pada tahun itu, etnis Tionghoa banyak mengalami pembantaian di Batavia dan merambat sampai ke Semarang (hal.49).
Motif kedatangan orang Tionghoa di Banyuwangi, maupun di Indonesia secara keseluruhan, sebagian besar karena faktor ekonomi dan politik. Demi untuk berlindung dari kebijakan politik yang tidak aman mereka melakukan migrasi. Juga mereka melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang menuntut mereka untuk berdiaspora dari tanah kelahirannya.
Kegiatan ekonomi etnis Tionghoa tidak melulu dalam sektor perdagangan sebagaimana jamak kita ketahui saat ini. Ada beragam profesi yang ditekuninya, seperti pertukangan, arsitektur dan pertanian. Sebagaimana di Banyuwangi, etnis Tionghoa banyak juga yang menekuni dunia pertukangan. Asal usul nama Kelurahan Tukangkayu di Banyuwangi erat kaitannya dengan profesi etnis Tionghoa tersebut.
Dimana Kelurahan Tukangkayu dan Kelurahan Karangrejo (tempat berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio), merupakan bekas daerah Pecinan. Kelurahan Tukangkayu dikenal dengan daerah Pecinan Kulon (Barat) yang banyak dihuni oleh imigran yang berprofesi sebagai tukang kayu. Dan Pecinan Wetan (Timur), yang saat ini dikenal dengan Kelurahan Karangrejo (hal. 54).
Klenteng Hoo Tong Bio
Klenteng adalah tempat ibadah layaknya masjid bagi umat Islam, gereja bagi umat Kristiani atau pura bagi umat Hindu. Klenteng diperuntukkan untuk tempat memuja dan melakukan upacara-upacara keagamaan penganut Kong Hu Cu. Yang unik, istilah klenteng sendiri bukan berasal daari Tiongkok, namun asli dari model penamaan masyarakat Nusantara. Dalam dialek Hokkian, klenteng di Tiongkok dikenal dengan sebutan miao.Adapun nama klenteng itu diduga berasal dari cara masyarakat Indonesia mengidentifikasi tempat tersebut dari suara genta raksasa yang menjadi salah satu tradmark klenteng. Genta yang mengeluarkan bunyi “klenteng” itu lamban laun dijadikan nama tempat pemujaan tersebut (hal. 35-36).
Klenteng sendiri ada beberapa klasifikasi, mulai dari klenteng umum, spesifik, sampai keluarga. Hal ini tergantung dari penggunaannya dan dewa yang disembahnya (hal. 37). Dari klasifikasi tersebut, Klenteng Hoo Tong Bio termasuk klenteng umum. Dimana penggunaanya terbuka untuk pemujaan bagi beberapa dewa yang diyakini oleh tiga kepercayaan; Budha, Tao dan Kong Hu Cu. Dimana ketiganya menyatu dalam ajaran yang disebut dengan Tri Darma.
Keistimewaan klenteng ini adalah adanya dewa lokal yang disembah, yaitu Dewa Tan Hu Cin Jin. Dewa tan Hu Cin Jin juga dijuluki denganKongco diangkat sebagai dewa karena dianggap sebagai leluhur yang menyelamatkan orang Tionghoa di Blambangan pada masa kolonialisme Belanda (hal. 60).
Menurut Claudine Salmon dan Myra Sidharta, berdasarkan pada naskah bertajuk Tjeritanja Kongtjo Banjowangi, menceritakan bahwa Tan Hu Cin Jin (baca: Chengfu Zhenren) atau yang berarti “Manusia Sejati Tan” merupakan seorang juragan perahu sloop yang pertama yang berlayar ke Bali dari Batavia. Namun, dalam perjalanannya, kapal yang dinaikinya pecah dan terdampar di Blambangan. Disinilah Tan Hu Cin Jin dipercaya sebagai arsitek kerajaan Blambangan yang baru di Macan Putih (hal. 60-61).
Awalnya Klenteng Hoo Tong Bio ini dibangun di Lateng, Rogojampi. Bangunan ini masih berupa rumah yang dibangun sebagai bentuk penghormatan terhadap Tan Hu Cin Jin. Rumah penghormatan ini kemudian dipindah ke Banyuwangi setelah adanya perampasan tanah oleh VOC. Dalam cerita yang bersumber pada naskah diatas, menyebutkan penyerobotan lahan ini terjadi pada tahun 1765, namun pada kenyataannya terjadi pada tahun 1767 9hal. 64).
Tak ada tahun pasti kapan klenteng ini pertama kali dibangun. Namun pengelola klenteng menyandarkan tahun berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio pada sebuah prasasti yang berupa panel kayu bertuliskan kaligrafi Tiongkok. Dalam prasasti tersebut tertulis nama Tan Cu Jin dan bertanggalQianlongflacan yang bertepatan dengan tahun 1784 M. Kemudian klenteng tersebut mengalami beberapakali renovasi. Berdasarkan beberapa prasasti menunjukkan klenteng tersebut direnovasi pada tahun 1848 M dan pada musim dingin 1898/99 M (hal. 60).
Dalam perkembangannya, Klenteng Hoo Tong Bio ini menjadi klenteng induk untuk beberapa klenteng yang menyembah Dewa Tan Hu Cin Jin. Klenteng-klenteng tersebut antara lain: Klenteng Tik Liong Tian di Rogojampi (Banyuwangi), Klenteng Poo Tong Bio di Besuki (Situbondo), Klenteng Liong Coan Bio (Probolinggo), Klenteng Kong Co Bio (Tabananan, Bali), Klenteng Leeng Gwan Kiong (Singaraja, Bali), Klenteng Leen Gwan Bio (Kuta, Bali), Klenteng Cung Ling Bio (Jembrana, Bali) dan Klenteng Pao Hwa Kong (Ampenan, Lombok).
Perkembangan klenteng dan juga etnis Tionghoa mengalami masa suram kala memasuki orde baru (1965-1998). Tragedi kemanusiaan pada tahun 1965 yang melimbatkan PKI, membuat pemerintah melakukan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut pemerintah, etnis Tionghoa memiliki peranan dalam pemberontakan PKI. Setidaknya ada delapan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah orde baru yang diskriminiatif terhadap etnis Tionghoa ( hal. 13 – 14).
Peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa itu sangat berpengaruh besar dalam kehidupan sosial budayanya. Termasuk kalangan etnis Tionghoa di Banyuwangi. Etnis Tionghoa tidak bisa leluasa melaksanakan ibadah di klenteng. Perayaan dan pemujaan, seperti Cap Go Meh dan Liang Leong tidak lagi bisa ditampilkan. Yang sangat tragis adalah tentang konversi agama sebagian etnis Tionghoa. Mereka , karena tidak kuat menghadapi diskriminasi, merubah keyakinan agamanya dari Kong Hu Cu menjadi Budha, Katolik ataupun Islam (hal. 92). Adapun yang tetap kukuh mempertahankan kepercayaan Kong Hu Cu-nya, tetap secara administrasi kependudukan ditulis sebagai bagian dari umat Budha. Klenteng juga dipaksa merubah nama. Dari Klenteng Hoo Tong Bio menjadi TITD Nara Raksita (hal. 67).
Perkembangan yang tidak kondusif terhadap etnis Tionghoa juga berimbas pada keberadaan klenteng. Klenteng banyak ditinggal jama’ahnya. Juga tidak bisa melakukan renovasi dan pengembangan. Selain kondisi yang tidak memungkinkan, juga keuangan klenteng yang disokong etnis Tionghoa dalam masa kekurangan (hal. 69). Praktis klenteng diawal orde baru itu tanpak sederhana dan kecil. Klenteng hanya terdiri dari altar Tuhan dan ruang dewa-dewi (hal. 68).
Sebelum tahun 1980, pihak klenteng pernah melakukan pembangunan. Setelah mendapat izin dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, pihak klenteng membangun ruang pemujaan Taoisme dan Kong Hu Cu di sebelah selatan (hal. 69). Setelah tahun 1980, izin untuk perluasan tidak bisa dilakukan lagi.
Baru pada tahun 2003, setelah Instruksi Presiden no. 14 tahun 1967 dicabut oleh KH. Abdurrahman Wahid, sebagai presiden RI kala itu, pembangunan dan segala aktivitas klenteng kembali normal. Mereka bisa melakukan perayaan secara bebas dan dapat melakukan pembangunan klenteng. Klenteng Hoo Tong Bio melakukan renovasi besar-besaran. Tidak hanya menambah beberapa altar untuk melakukan pemujaan kepada dewa-dewi, tapi gedung-gedung penunjang juga dibangun. Ruang serba guna, sarana olahraga, dan gudang juga dibangun dikompleks seluas 70 x 50 meter tersebut. Pembangunan yang masif tersebut menasbihkan klenteng Hoo Tong Bio sebagai klenteng terbesar di ujung timur pulau Jawa.
Kemegahan itu terus bertahan hingga berakhir pada suatu petaka; kebakaran. Api melalap hampir sebagian besar klenteng. Prasasti dan benda-benda bersejarah ikut terlalap si jago merah. Penulis yang juga sebagai koresponden Tempo memuatkan pemberitaan-pemberitaan terkait peristiwa kebakaran tersebut di bagian akhir buku setebal 143 (+ xxv) halaman ini.
Dari buku yang diterbitkan oleh Perempuan Bertutur ini, ada banyak pengetahuan baru tentang kehidupan etnis Tionghoa dan keberadaan Klenteng Hoo Tong Bio sebagai penanda peradaban mereka di ujung timur pulau Jawa. Namun, justru dari desakan informasi itu memunculkan tanda tanya lain yang datang silih berganti. Pertanyaan yang menuntut untuk dilakukannya penelitian lanjutan untuk menguak semakin gamblang peranan etnis Tionghoa di Banyuwangi ini.
Pembabakan antara tahun 1965 sampai 2014, menurut hemat saya, adalah pembabakan berdasarkan produk politik. Sehingga - seyogyanya - sejarah tentang perpolitikan etnis Tionghoa juga harus dikupas. Etnis Tionghoa - sebagaimana dalam buku ini - tidak hanya dinarasikan sebagai obyek politik, tapi bagaimana peranan etnis tersebut sebagai subyek politk. Misalnya tentang bagaimana tentang orentasi politik orang Tionghoa? Apakah partai politik juga melakukan penggalangan massa di klenteng sebagaimana di masjid-masjid kala itu? Dan juga berderet pertanyaan lain.
Saya kira, tanggungjawab Kak Ika Ningtyas sebagai penggiat sejarah dalam Komunitas Sejarah Blambangan (Koseba), telah ditunaikan. Tinggal tugas kita untuk melanjutkan penelitian dan meneruskan pembukuan-pembukuan sejarah Banyuwangi yang masih membelantara ini. Mari...
*Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi.
Sumber: bgreeneration
0 komentar:
Posting Komentar