Kamis, 24 September 2015

'Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM 65-66 Lebih Penting dari Minta Maaf'

Rabu, 23 September 2015 09.51 WIB

Keluarga korban menuntut pengusutan dan pengungkapan kasus tragedi pembunuhan 1965-66, pasca G30S. (Foto: komnasham.go.id)
KBR, Jakarta - Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 (YPKP 65) menyatakan penyelesaian hukum kasus pelanggaran hak asasi manusia pasca peristiwa 65/66 jauh lebih penting ketimbang permintaan maaf dari pemerintah. 

Ketua YPKP 65 Bedjo Untung khawatir jika kasus tragedi kemanusiaan itu tidak dituntaskan, akan semakin sulit diungkap dan untuk menyeret pelaku. Apalagi, saat ini banyak keluarga korban dan saksi yang sudah meninggal.

"Permintaan maaf menurut saya tidak terlalu penting. Yang penting kemauan politik dari Jokowi untuk menyelesaikan kasus ini. Permohonan maaf itu hanya norma-norma tahapan, karena ini sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM. Jokowi juga harus berani keluar dari sejarah. Karena jika korban dan saksi sudah mati semua, itu sudah susah dilacak," kata Bedjo Untung dalam perbincangan di KBR Pagi, Rabu (23/9).

Sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nasir bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu, PP Muhammadiyah meminta klarifikasi mengenai kabar yang bersliweran tentang rencana pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban 65. 

Dalam pertemuan itu, Jokowi mengatakan pemerintah tidak akan minta maaf kepada korban Gerakan 30 September 1965. 

Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga mengatakan Presiden Joko Widodo belum pernah membahas soal permohonan maaf kepada korban peristiwa pelanggaran HAM 65. Pramono mengatakan saat ini Presiden masih fokus menghadapi masalah ekonomi nasional. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sejak 2008 telah melakukan penelitian terhadap kasus 65. Peristiwa yang jadi sorotan Komnas HAM adalah adanya pembunuhan dan penangkapan besar-besaran pasca G30S terhadap anggota atau simpatisan PKI dan keluarganya, hingga orang-orang yang tidak terlibat PKI sekalipun. 

Peristiwa pembantaian dan pembersihan PKI dimulai tahun 1966 atau setahun sebelum Presiden Soekarno dilengserkan oleh MPRS.

Setelah empat tahun mengkaji, pada 2012, Komnas HAM menyatakan menemukan ada pelanggaran HAM berat pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sejumlah kasus yang ditemukan antara lain penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, penghilangan paksa hingga perbudakan.

Dugaan pelanggaran HAM berat itu terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Papua. Para korban rata-rata merupakan orang yang dituduh sebagai pengurus Partai Komunis Indonesia, simpatisan dan penduduk sipil yang sama sekali tidak terkait dengan afiliasi politik.

Komnas HAM juga menyatakan pelanggaran HAM berat dilakukan secara sistematis oleh lembaga pemegang otoritas keamanan saat itu yakni Kopkamtib. Tidak ada keterangan resmi jumlah korban pembantaian pasca G30S. Namun beberapa sumber menyebut ada sekitar 500 ribu orang dibunuh dan jenazah dibuang ke sungai.

Namun sampai saat ini kasus pembantaian itu tidak terselesaikan. Berkas penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini mandeg di Kejaksaan Agung.


Editor: Agus Luqman 

0 komentar:

Posting Komentar