Heyder Affan
Wartawan BBC Indonesia | 29 September 2015
Pada siang nan terik di awal pekan
kedua September, di salah-satu sudut hamparan hutan jati yang meranggas
di pinggiran Kota Pati, Jateng, pria ringkih itu terlihat tenang ketika
tangannya menunjuk sebuah gundukan tanah.
"Di sini, 10 orang dalam keadaan terikat, ditembak dari belakang, dan dimasukkan lubang."Radimin, pria ringkih berusia 80 tahun itu, mengungkapkan kejadian horor itu yang dia saksikan pada sebuah malam kira-kira 50 tahun silam.
Dia kemudian melangkah beberapa meter ke arah timur, dan menunjuk sebuah gundukan tanah lainnya. Di dalamnya ada 15 jasad manusia, katanya.
"15 orang lainnya (dipaksa) lari-lari dari mobil, (dipaksa) masuk lubang. (Dan) ditembak di dalam lubang," ujarnya, datar.
Gundukan tanah, yang di atasnya tumbuh ilalang kering, adalah kuburan massal 25 orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia, PKI - atau orang-orang yang cuma dikait-kaitkan.
Dari 10 lubang yang digali, 25 orang itu dikubur dalam tiga lubang terpisah. Tiga lubang lainnya dibiarkan menganga hingga sekarang, dan empat lubang lainnya ditanami pohon pisang oleh warga.
"
Saya dipaksa melihat dari dekat
"
Ketika saya datangi, lokasi pembantaian yang terletak di hutan Jeglong, milik Perhutani, Desa Mantup, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terlihat agak senyap.Hanya terdengar suara nyaring Radimin dan suara gesekan sepatu dan rumput kering, serta sayup-sayup kicau burung di kejauhan.
Tapi di malam jahanam pada Desember 1965 lalu, Radimin dipaksa menyaksikan tindakan brutal -yang barangkali sulit dia lupakan seumur hidupnya.
"Saya dipaksa melihat dari dekat, nggak boleh jauh-jauh".
"Saya dipaksa melihat dari dekat, nggak boleh jauh-jauh," ungkap petani yang tinggal di desa tidak jauh dari lokasi pembantaian.
Dari percakapan diantara para pelaku pembantaian, dia mendengar bahwa orang-orang naas itu -yang ditutup matanya- dianggap anggota atau simpatisan PKI.
"Orang-orang itu dicap jahat, PKI, pengkhianat, pokoke (pokoknya) dianggap mau menjatuhkan pemerintahan," tambahnya kepada saya, sesekali dengan menggunakan bahasa Jawa.
Mengenali satu korban
Tidak diketahui siapa-siapa yang jasadnya terkubur di hutan jati itu, tetapi salah-seorang korbannya diketahui oleh Radimin sebagai kenalannya."Orang itu bernama Jaiz. Radimin mengenalinya, karena secara tak sengaja penutup mata korban terbuka, ketika dia terjatuh setelah berupaya lari," kata Radimin, seperti ditirukan Supardi, eks tahanan politik Pulau Buru, salah-satu orang pertama yang mengungkap kuburan massal "Jeglong".
Lainnya? Supardi mengangkat bahu. Tidak tahu. "Semua itu rahasia, tertutup. Mereka belum pasti dari Pati. Mereka biasanya diambil malam hari. Istilahnya dibon," ungkapnya.Menurutnya, pemerintah yang wajib mengungkap siapa yang dibunuh dan dikubur di hutan jati itu.
Benarkah yang dikubur itu orang 'jelek'? Benarkah orang-orang yang dibunuh itu bersalah? Pemerintah harus mengungkap kebenarannya.
"Benarkah yang dikubur itu orang 'jelek'? Benarkah orang-orang yang dibunuh itu bersalah? Pemerintah harus mengungkap kebenarannya," kata Supardi.
Bersama organisasi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 cabang Pati, Supardi dan kawan-kawan sejak awal tahun 2000 telah melacak setidaknya ada delapan kuburan massal di wilayah Pati.
Komnas HAM turun ke Pati
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ungkap Supardi, juga telah mendatangi lokasi kuburan massal tersebut sekitar tahun 2008."Termasuk telah mendengarkan kesaksian Pak Radimin dan Pak Karmain, saksi lain yang ikut mengubur korban pembantaian di hutan Jeglong
Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan kekerasan pasca 1965 yang menimpa orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI.
Dalam kesimpulannya, mereka menyatakan ada pelanggaran HAM berat terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa para simpatisan PKI.
"Tetapi untuk melakukan itu diperlukan konsensus nasional dulu, kalau tidak upaya-upaya itu hanya akan menimbulkan masalah baru"
"Apabila sudah ditemukan kebenaran, harap kuburan itu dibongkar dan tulang-tulangnya di kembalikan ke masyarakat," tandas Supardi.Dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan pengungkapan kuburan massal merupakan salah-satu upaya pengungkapan kebenaran.
"Tetapi untuk melakukan itu diperlukan konsensus nasional dulu, kalau tidak upaya-upaya itu hanya akan menimbulkan masalah baru," kata Nur Kholis.
Kebenaran tetap terkubur?
Dia kemudian merujuk pada sejumlah kasus penolakan sebagian anggota masyarakat terhadap aktivitas atau diskusi yang dikaitkan dengan latar peristiwa 1965."Saat ini harus diakui, di lapangan, diskusi-diskusi itu (soal kekerasan pasca 1965) masih kadang-kadang dibubarkan," jelasnya.Di Blitar, 13 tahun silam, upaya penggalian Gua Tikus, tempat kuburan massal simpatisan PKI juga ditolak oleh Bupati Blitar, karena alasan "meresahkan masyarakat".
[Foto: YPKP 1965 Pati]
Nur Kholis menganalisa, penolakan itu disebabkan adanya "distorsi
informasi" yang berkembang masyarakat, bahwa seolah-seolah penyelidikan
Komnas dalam kasus '65 itu akan berujung pada rehabilitasi PKI.
Upaya pencarian kebenaran yang dilakukan Supardi dan kawan-kawan, tampaknya, masih akan terkubur lama di bawah hutan jati Jeglong yang sepi itu.
"Ini tidak menyangkut dengan ideologi. Misalnya presiden harus menyatakan penyesalan kepada partai tertentu (PKI), tidak. Dalam konteks korban-korban anak bangsa itulah, Presiden menyatakan penyesalannya," tandas Nur Kholis.Pernyataan Nur Kholis itu, bagaimanapun, menyiratkan bahwa upaya pengungkapan kebenaran kasus kekerasan pasca 1965, termasuk pembongkaran kuburan massal, sepertinya bakal memakan waktu lama.
Upaya pencarian kebenaran yang dilakukan Supardi dan kawan-kawan, tampaknya, masih akan terkubur lama di bawah hutan jati Jeglong yang sepi itu.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar