Rabu, 30 September 2015

Arena Berkesenian Lekra di Jalan Cidurian 19


Prima Gumilang, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 21:23 WIB

Jane Luyke, istri mendiang Oey Hay Djoen anggota Sekretariat Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). (CNN Indonesia/Suriyanto)

Jakarta, CNN Indonesia -- Suatu hari di era 1960-an, aktor kawakan Soekarno M. Noer berlatih seni peran di sebuah rumah di Jalan Cidurian 19, Cikini, Jakarta Pusat. Ayah Rano Karno itu sedang menyiapkan peran dalam sebuah film berjudul Buih dan Kasih karya Bachtiar Siagian.

Bukan hanya Soekarno M. Noer, aktris Laila Sari pun pernah berlatih tari di sana. Selain keduanya, sejumlah seniman nasional kala itu juga tak jarang berkesenian di rumah nan jembar. Beberapa di antaranya Fifi Young, Mak Wok, dan Hamid Arief.

Rumah di Jalan Cidurian 19 yang kemudian disebut Rumah Cidurian adalah markas para seniman. Tempat itu merupakan Sekretariat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang kerap dicap sebagai kepanjangan tangan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang budaya.

Pemilik rumah tersebut adalah Oey Hay Djoen, anggota sekretariat Lekra yang juga kader PKI. Jean Luyke, istri Oey, menuturkan bahwa banyak seniman dibesarkan di sana. Mereka berlatih drama, ludruk, bermain musik, diskusi sastra, melukis, dan kegiatan seni lainnya. Bahkan banyak pula yang tinggal di rumah itu.
"Kalau mereka mau pentas, latihannya di sana. Soalnya ruangan di rumah saya kan besar," kata Jane saat ditemui CNN Indonesia di rumahnya di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, pada Rabu (30/9).
Meskipun itu sekretariat Lekra, namun tidak semua orang yang datang adalah anggota Lekra. Jane selalu terbuka kepada siapa pun yang ingin mengasah kesenian di rumah itu. 
"Enggak semua anggota Lekra, tapi kalau ada yang tanya, ya Lekra," kata Jane.
Para seniman Lekra, menurut Jane, mengerjakan karya-karyanya dengan didasari pada persoalan kehidupan sehari-hari. Mereka berkarya dengan muatan pesan untuk lebih mendekatkan pada realitas sosial.
"Kesenian yang dibangun dekat dengan kehidupan sehari-hari, nasionalis, enggak aneh-aneh," tutur Jean.
Lekra dibentuk setelah lima tahun Negara Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Para pendiri Lekra menganggap revolusi Indonesia telah gagal. Berbeda dengan pernyataan Bung Karno ketika itu, yang menganggap revolusi belum selesai.

Karena itu, Lekra dibentuk untuk merebut kedaulatan dengan cara-cara kebudayaan. Oey sendiri memaknai kebudayaan sebagai usaha sadar manusia untuk emansipasi dan memenuhi kebutuhan hidup.

Jane mengaku senang dengan keakraban para seniman di rumahnya. Jika ada seniman yang datang dari daerah lain, Jean menyambut hangat. Dia selalu menyediakan makanan bagi setiap tamu yang datang. 
"Saya senang, mereka bersahabat. Teman banyak datang. Tapi lama-lama terlalu banyak yang datang," kata Jean.

"Memaknai kebudayaan sebagai usaha sadar manusia untuk emansipasi dan memenuhi kebutuhan hidup." Jean Luyke, istri petinggi Lekra Oey Hay Djoen
Biasanya para pelukis yang ingin menggelar pameran transit di rumah Cidurian. Mereka menyiapkan lukisan sekaligus bermalam. Bahkan ada tamu yang harus tidur di atas meja atau di dalam gudang, lantaran tak mendapat tempat. 

"Kalau mereka belum dapat penginapan, menginap di tempat kita," katanya.
Saat peristiwa G30S pecah, Lekra ikut diseret sebagai pihak yang dituduh bertanggung jawab. Rumah Cidurian 19 yang dijadikan kantor Lekra, kata Jean, telah dirampas oleh tentara. Begitu juga dengan anggota dan para seniman yang dicap dekat dengan Lekra.

Jean menyayangkan organisasi kebudayaan yang selama ini berjalan kompak dan akrab, harus dilenyapkan karena kepentingan politik.
"Organisasinya (Lekra) kompak. Waktu saya dengar ada yang ditangkap, dibunuh, aduh kasihan," ujar Jane dengan mata berkaca-kaca. (Prima Gumilang/vga)

0 komentar:

Posting Komentar