Jumat, 25/09/2015 10:43 WIB
Kuburan massal korban tragedi 1965 di Semarang, Jawa Tengah. (CNN Indonesia/Damar Sinuko)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam, mendukung
niat pemerintah mengupayakan rekonsiliasi terkait dugaan pelanggaran hak
asasi manusia berat dalam tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965.
“Saya setuju bahwa rekonsiliasi nasional sangat penting, dan itu harus dilakukan dengan bijaksana dan bermartabat,” kata Asvi kepada CNN Indonesia, Jumat (25/9).
Untuk itu, ujar peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
tersebut, ada hal penting yang mesti dilakukan pemerintah menuju proses
rekonsilasi.
“Rekonsiliasi nasional harus didahului pengungkapan kebenaran. Tidak mungkin melakukan rekonsiliasi jika tidak tahu apa persoalannya. Tidak mungkin minta maaf jika tidak tahu apa kesalahannya,” kata Asvi.
“Saya setuju bahwa rekonsiliasi nasional sangat penting, dan itu harus dilakukan dengan bijaksana dan bermartabat,” kata Asvi kepada CNN Indonesia, Jumat (25/9).
“Rekonsiliasi nasional harus didahului pengungkapan kebenaran. Tidak mungkin melakukan rekonsiliasi jika tidak tahu apa persoalannya. Tidak mungkin minta maaf jika tidak tahu apa kesalahannya,” kata Asvi.
Pengungkapan kebenaran juga menjadi tanda pengakuan atas apa yang
terjadi di masa lalu. Forum yang tepat untuk mengungkap kebenaran,
menurut Asvi, ialah melalui pembentukan Komite Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Hasil penyelidikan KKR selanjutnya dapat dibawa ke
Pengadilan HAM Ad Hoc.
Sayangnya, ujar Asvi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. MK menyatakan UU tersebut tak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“UU KKR sudah dirobohkan oleh MK. Sebelum UU itu dibatalkan, pemerintahan terdahulu pun menurut saya setengah hati. Mereka tidak menyerahkan nama-nama calon komisioner KKR ke DPR untuk diuji kelayakan dan kepatutannya,” kata Asvi.
Maka saat ini yang perlu dilakukan Presiden Jokowi, ujar Asvi, ialah membentuk KKR berdasarkan Keputusan Presiden. Ia pun meminta anggota atau Komisioner KKR tak diisi oleh Jaksa Agung atau Panglima TNI karena berpotensi membuat penyelidikan dugaan pelanggaran HAM menjadi bias.
“Yang diangkat menjadi harus mereka yang setidaknya sudah belasan tahun bergerak dalam penegakan hukum sehingga telah teruji menangani masalah HAM di Indonesia,” kata Asvi.
Akhir Mei lalu digelar pertemuan antara Tedjo Edhy Purdijatno yang saat
itu menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jaksa Agung
Prasetyo, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Ketua Dewan Pembina Komisi
Nasional HAM Jimly Asshiddiqie, Komisoner Komnas HAM Nur Kholis,
Marciano Norman yang saat itu menjabat Kepala Badan Intelijen Nasional,
dan Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Mualimin Abdi, untuk membahas
mengenai penanganan kasus HAM masa lalu.
Usai pertemuan, Jaksa Agung Prasetyo menyatakan pemerintah RI sepakat untuk membentuk Komite Rekonsiliasi untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Komite ini, kata dia, berbeda dengan KKR yang UU-nya dibatalkan MK.
“Jika Komisi Rekonsiliasi dibentuk melalui UU dan UU KKR kini telah dibatalkan, maka Komite ini berbeda,” kata Prasetyo.
Menurutnya, Komite Rekonsiliasi berbeda dengan Komisi Rekonsiliasi. Pembentukan Komite Rekonsiliasi tak memerlukan UU sebagai payung hukum seperti Komisi Rekonsiliasi pada pemerintahan sebelumnya.
Komite Rekonsiliasi, ujar Prasetyo, nantinya akan memiliki struktur keorganisasian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Jokowi.
Peristiwa G30S menyusul pembantaian massal sepanjang kurun waktu 1965-1966 adalah salah satu yang menjadi pekerjaan rumah Komite Rekonsiliasi tersebut. (agk)
Sayangnya, ujar Asvi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. MK menyatakan UU tersebut tak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“UU KKR sudah dirobohkan oleh MK. Sebelum UU itu dibatalkan, pemerintahan terdahulu pun menurut saya setengah hati. Mereka tidak menyerahkan nama-nama calon komisioner KKR ke DPR untuk diuji kelayakan dan kepatutannya,” kata Asvi.
Maka saat ini yang perlu dilakukan Presiden Jokowi, ujar Asvi, ialah membentuk KKR berdasarkan Keputusan Presiden. Ia pun meminta anggota atau Komisioner KKR tak diisi oleh Jaksa Agung atau Panglima TNI karena berpotensi membuat penyelidikan dugaan pelanggaran HAM menjadi bias.
“Yang diangkat menjadi harus mereka yang setidaknya sudah belasan tahun bergerak dalam penegakan hukum sehingga telah teruji menangani masalah HAM di Indonesia,” kata Asvi.
Usai pertemuan, Jaksa Agung Prasetyo menyatakan pemerintah RI sepakat untuk membentuk Komite Rekonsiliasi untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Komite ini, kata dia, berbeda dengan KKR yang UU-nya dibatalkan MK.
“Jika Komisi Rekonsiliasi dibentuk melalui UU dan UU KKR kini telah dibatalkan, maka Komite ini berbeda,” kata Prasetyo.
Menurutnya, Komite Rekonsiliasi berbeda dengan Komisi Rekonsiliasi. Pembentukan Komite Rekonsiliasi tak memerlukan UU sebagai payung hukum seperti Komisi Rekonsiliasi pada pemerintahan sebelumnya.
Komite Rekonsiliasi, ujar Prasetyo, nantinya akan memiliki struktur keorganisasian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Jokowi.
Peristiwa G30S menyusul pembantaian massal sepanjang kurun waktu 1965-1966 adalah salah satu yang menjadi pekerjaan rumah Komite Rekonsiliasi tersebut. (agk)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150925104357-20-80869/g30s-asvi-warman-dukung-pemerintah-lakukan-rekonsiliasi/
0 komentar:
Posting Komentar