Ditulis oleh Ayu Ratih
| 30 Sep 2015
Dalam semua tahun yang saya habiskan sebagai mahasiswa di
bawah Suharto, tragedi kemanusiaan tahun 1965 tidak pernah sampai kepada saya
sebagai kisah yang lengkap. Sebagai seorang gadis kecil, saya sering
mendengar orang dewasa di sekitar saya berbicara dalam fragmen yang menakutkan
tentang 'masa-masa itu'. Mereka berbicara dengan berbisik. Sesekali
saya akan mendengar kata 'Gerwani' atau 'PKI' ketika seseorang memaki seseorang
yang menjengkelkan. Tetapi saya tidak tahu apa arti kata-kata itu. (PKI
adalah singkatan dari Partai Komunis Indonesia, Partai Comminist Indonesia,
sementara Gerwani adalah singkatan dari Gerakan Wanita Indonesia, Gerakan
Wanita Indonesia yang berafiliasi dengan PKI). Bahkan film Pengkhianatan
G30S / PKI (Pengkhianatan G30S / PKI), yang saya tonton hampir setiap 30
September bersama sekolah saya, tidak masuk akal sebagai sebuah
cerita. Saya ingat Ade Irma Suryani, putri Jenderal Nasution,
ditembak. Dan teriakan putri Jenderal Panjaitan ketika dia menyeka darah
ayahnya dari wajahnya setelah dia ditembak oleh tentara di depan rumah
mereka. Saya selalu takut pada tentara. Mungkin karena wanita yang
membantu orang tua saya di rumah selalu menakut-nakuti kami jika kami tidak
mematuhinya dengan mengancam, 'Awas, orang-orang berpakaian hijau akan
datang! Mereka akan membawamu pergi '.
Guru sejarah SMP saya yang pertama kali membangkitkan
minat saya di masa lalu. Miss Tridoso adalah pendongeng yang luar
biasa. Tapi saya tidak ingat apa pun yang mungkin dia ceritakan tentang
sejarah Indonesia, apalagi tragedi 1965. Saya belajar tentang sejarah
dunia, sejarah Eropa. Di luar itu, sejarah tidak ada artinya
bagiku. Itu adalah hafalan, upacara bendera, karnaval pada hari
kemerdekaan, dan film-film perang tentang kaum revolusioner dengan tombak bambu
yang tajam melawan tentara Belanda yang selalu mengguntur 'Kowe inlander ...
Godverdomme' ('You darkie ... God damn you'). Saya rasa sebagian besar
anak-anak Indonesia yang belajar sejarah di bawah Suharto memiliki ingatan yang
sama. Dan kemudian saya membaca Bumi Manusia, Novel sejarah hebat
Pramoedya Ananta Toer, pada pertengahan 1980-an. Baru pada saat itulah
saya mulai memahami suasana kolonial tempat Indonesia dilahirkan. Sejarah
tiba-tiba menjadi kumpulan cerita yang kaya dan pencarian pengetahuan yang tak
berkesudahan!
Meski begitu, Soeharto tidak pernah membuat orang mudah
menyukai sejarah. Jika Anda secara khusus tertarik pada mereka yang
kehilangan segalanya sebagai akibat dari tragedi 1965, itu bisa sangat
berbahaya. Mengambil novel Pramoedya, di mata negara pada masa itu, adalah
kesalahan besar. Tiga pemuda ditangkap dan dipenjara di Yogyakarta pada
tahun 1989 hanya karena diam-diam membagikan salinan tetralogi Pramoedya dan
mengorganisir diskusi tentang hal itu. Ibu dari salah seorang teman saya
tidak akan mau meminjamkan saya salinan " Bumi Manusia" ini sampai
ia memotong sudut kanan atas halaman pembuka dengan namanya tertera di
sana. Saya tidak bisa mempercayainya. Jika dia sangat takut, mengapa
dia memiliki salinan buku terlarang ini? Dan dari mana dia mendapatkannya?
Saya mulai belajar sejarah di sekolah pascasarjana.
Teman-teman saya dan saya secara sembunyi-sembunyi berusaha mencari tahu
sejarah yang tidak pernah diceritakan sekolah dan media massa. Kami
membuka-buka koran bekas yang masih bisa kami temukan di Perpustakaan Nasional.
Kami menyelundupkan buku-buku terlarang dari luar negeri. Kami memfotokopi
materi bacaan terlarang dari teman-teman dengan minat yang sama (belum ada
internet). Kami mulai menulis tentang apa yang kami baca dan bicarakan. Yang
lebih penting bagi kami adalah pertemuan pertama kami dengan mantan tahanan
politik seperti Pramoedya, jika mereka tidak terlalu takut melihat kami. Kami
berbicara dengan orang-orang tua ini tentang sejarah, politik, budaya, dan kehidupan
sehari-hari mereka sendiri diperlakukan sebagai paria di negara yang
kebebasannya telah diperjuangkan. Tidak ada yang menyebut mereka 'korban' -
pemerintah Suharto menganggap mereka sebagai penjahat. Kami menyebut
orang-orang ini, yang pernah menjadi perintis bersejarah, orang lama, atau orla
(orang-orang dari masa lalu). Percakapan kami dengan orla ini akan terbukti
sangat berpengaruh ketika kami kemudian mulai melakukan penelitian tentang
tragedi 1965. Mereka memberi tahu kami siapa orang yang benar-benar penting,
peristiwa mana yang harus kami perhatikan dan kisah mana yang perlu kami ungkap
lebih lanjut.
Kami menyadari sejak awal betapa pentingnya kisah-kisah
orla itu. Ini bukan semacam romantisme di pihak kami tentang kemuliaan
masa lalu. Dengan mendengarkan dan bertukar pandangan dengan aktor-aktor
bersejarah ini, kami mulai memahami bukan hanya bagaimana pemerintah Suharto
mencoba membasmi semua orang yang mereka anggap komunis, tetapi bagaimana hal
itu telah menghancurkan sebagian besar cita-cita berpikir dan progresif yang
telah melahirkan Indonesia dan menjadikannya negara yang hebat. Sepanjang
semua diskusi sembunyi-sembunyi ini, kami membangun kembali jembatan
pengetahuan antar generasi yang telah dihancurkan oleh represi.
Kami harus menunggu sampai Soeharto diturunkan pada Mei
1998 sebelum kami dapat memperluas pekerjaan kami lebih jauh. Kemudian kami
mulai menjangkau lebih banyak aktor bersejarah. Kami menjalin pertemanan
baru di antara generasi yang lebih muda. Dan kami mendirikan sebuah
institut sebagai rumah bagi apa yang kami sadari telah menjadi pekerjaan nyata
kami.
Kelahiran ISSI
Pada pertengahan tahun 1998 kami berkenalan dengan pria
dan wanita muda di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK, Tim Relawan untuk
Kemanusiaan). Mereka bergabung bersama untuk menyelidiki kerusuhan
anti-Cina yang terjadi di Jakarta pada 13-14 Mei, dan untuk membantu para
korban. Mereka mengajari kami kata 'korban' dan betapa pentingnya berada
di pihak korban. Kami memulai diskusi rutin di sekretariat TRK, dan
memberi tahu mereka apa yang telah kami pelajari tentang tragedi
1965. Kami memutuskan untuk memulai Proyek Sejarah Lisan (OHP) untuk
mewawancarai para korban tragedi 1965, terutama mereka yang tidak
terkenal. Kami menyebut mereka 'pangkat dan ajukan orang'.
Sekitar lima belas orang bergabung dengan tim OHP pertama
itu. Mereka berpartisipasi dalam pelatihan intensif dan sesi diskusi untuk
membantu mereka melakukan wawancara. Pada akhir tahun 1999 tim pertama
pergi ke berbagai kota di Jawa, Bali, Lampung dan Sulawesi
Tengah. Beberapa dari mereka mengalami saat-saat tidak nyaman. Di
kedua sisi meja wawancara muncul pertanyaan: seberapa jauh kita bisa
mempercayai orang-orang ini? Para korban yang tidak pernah membicarakan
pengalaman mereka takut akan konsekuensi dengan berani
berbicara. Pewawancara yang hanya tahu sejarah mereka dari buku teks
sekolah bertanya-tanya apakah cerita para korban benar dan valid sebagai sumber
sejarah. Tetapi kebanyakan dari mereka segera membangun hubungan dengan
para korban dan pulang ke rumah dengan kisah-kisah yang sangat kaya penuh
nuansa manusia. Pengalaman mereka sebelumnya berbicara dengan para korban
Mei 1998 memudahkan mereka untuk memenangkan simpati dan kepercayaan diri para
korban tragedi 1965. Mereka segera berhenti menuntut 'objektivitas' yang
telah dimasukkan ke dalam mereka dalam sistem pengajaran universitas Indonesia.
Setidaknya dua pewawancara pria bertemu dengan wanita
korban perkosaan atau kekerasan seksual lainnya. Wanita yang biasanya
tutup mulut dalam pertemuan yang didominasi oleh pria yang lebih tua tiba-tiba
diminta untuk berbicara secara pribadi dengan pewawancara. Ketika para
wanita ini menumpahkan kesedihan dan kepahitan mereka tentang apa yang telah
mereka alami, pewawancara merasa bingung. Bukankah seharusnya mereka
melakukan sesuatu selain mendengarkan? Bukankah para sejarawan lisan juga
siap membantu korban mengatasi masalah mereka? Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu terus menghantui kami di awal perjalanan kami. Pewawancara
yang memiliki pengalaman mendukung korban dalam kasus pelanggaran HAM lainnya
merasa sangat kuat bahwa mereka harus bertindak serta melakukan
penelitian. Namun, kami akhirnya sepakat bahwa kami harus memisahkan peran
penelitian kami dari peran kami sebagai pendukung korban, dan kami dapat
melakukannya tanpa mengorbankan kebutuhan korban. Kami biasanya merujuk
korban ke teman-teman di organisasi lain yang memiliki kapasitas lebih untuk
advokasi dan dukungan.
Pengalaman kami mendengarkan kisah-kisah perempuan
membuat kami sadar bahwa korban perempuan seringkali membutuhkan ruang khusus
untuk membuka diri. Di ruang yang didominasi pria, mereka tidak
mendapatkan peluang yang mereka butuhkan. Bahkan ketika mereka berbicara,
para pria yang hadir sering tidak dapat menahan diri untuk tidak berkomentar
atau mengoreksi mereka. Jadi kami memutuskan untuk fokus secara intensif
pada cerita-cerita wanita, di kamar yang terpisah. Bersama dengan
teman-teman dari organisasi hak asasi manusia Elsam, kami membentuk Lingkar
Tutur Perempuan (Lingkaran Bercerita Wanita) khususnya untuk memfasilitasi
pertemuan dan wawancara perempuan. Ini mendorong kami untuk berhasil mendorong
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) mengadakan
audiensi dengan para wanita korban operasi pemerintah untuk melenyapkan dugaan
anggota PKI dan komunis lainnya pada tahun 1965-1966. Komisi menerbitkan
laporannya pada tahun 2007 dan menyerahkannya kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
OHP kami juga menyelidiki insiden kekerasan yang terjadi
di lokasi tertentu. Setelah setidaknya 400 wawancara kami mulai melihat bahwa
metode yang telah digunakan untuk menganiaya orang yang diduga komunis
bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Meskipun secara keseluruhan
militer, terutama tentara, mengendalikan seluruh operasi pemusnahan, tindakan
kekerasan yang dipelopori oleh pasukan dukungan militer setempat mengklaim
banyak korban. Kelompok-kelompok paramiliter menyerbu rumah-rumah,
menjarah barang-barang di rumah-rumah, toko-toko dan kantor-kantor, dan
membunuh orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh negara dan bangsa. Investigasi
lokal kami mengungkap pola penganiayaan, dan lebih luas lagi sejarah khusus
suatu daerah. Ini membantu memperkuat kesadaran sejarah para
peneliti.
Pada tahun 2003 kami menerbitkan satu set esai
berdasarkan wawancara yang telah kami lakukan selama tiga tahun
sebelumnya. Pada saat yang sama kami mulai berpikir untuk membangun
infrastruktur untuk menyimpan dengan aman semua rekaman wawancara dan dokumen
yang telah kami kumpulkan. Setelah berkonsultasi dengan teman-teman yang
telah mendukung kami sejak awal, kami memutuskan untuk membentuk Institut
Sejarah Sosial Indonesia (ISSI, Institut Sejarah Sosial Indonesia), yang
berbasis di Jakarta. Kami sepakat bahwa ISSI tidak hanya menjadi
repositori, tetapi pusat penelitian, perpustakaan, dan arsip institusional yang
akan menjaga materi kami secara profesional dan permanen.
Tahun ini ISSI memasuki tahun kedua belas, tetapi
penelitian kami tentang tragedi 1965 telah berlangsung selama 16
tahun. Kami telah mewawancarai sekitar 500 orang di kota-kota di Sumatra,
Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Semua wawancara kami direkam secara
digital. Kami juga telah membuat salinan digital dari banyak foto dari
koleksi pribadi, yang kami gunakan untuk menyiapkan bahan pengajaran sekolah
menengah tentang para korban tragedi 1965.
Mendengarkan dan
mendongeng sebagai tindakan politik
Melalui OHP, para peneliti muda kami, yang sebelumnya
tidak pernah bertemu dengan seorang korban 1965, telah melakukan jauh lebih
dari sekadar merekam kisah mereka. Mereka menentang demonisasi yang
dilakukan pemerintah Suharto terhadap mereka yang dianiaya. Beberapa dari
mereka kemudian mengatakan bahwa mereka menemukan korban di keluarga mereka
sendiri yang lebih luas. Orang-orang yang dikecualikan yang tidak pernah
mengatakan sepatah kata pun tentang pengalaman mereka mencari kerabat muda
mereka yang bertanya tentang sejarah. Berkumpul dengan korban lain dan
menceritakan kisah mereka telah membantu banyak korban perempuan untuk memahami
tingkat penindasan yang telah mempengaruhi begitu banyak orang. Para
wanita yang lebih tua ini juga berharap bahwa dengan menceritakan kisah mereka
itu akan membantu menyelesaikan ketegangan yang timbul ketika orang-orang muda
menyalahkan ibu mereka karena menyebabkan mereka begitu malu dan menderita.
Mengirimkan ingatan antar kelompok dan antar generasi
seperti ini sangat penting bagi masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Masyarakat telah dipaksa untuk melupakan bagian paling dalam
dari sejarah bangsa. Untuk waktu yang sangat lama sekarang, ingatan bangsa
tentang hal-hal ini telah dipenuhi dengan ketakutan dan kewaspadaan yang tidak
dapat dipahami, seperti tentang 'bahaya laten komunisme' atau 'munculnya PKI
baru'. Setiap langkah untuk belajar tentang sejarah adalah langkah yang
ragu-ragu. Pandangan kami tentang sejarah dibekukan. Apa yang telah
dilakukan ISSI sedikit demi sedikit selama 16 tahun terakhir adalah melelehkan
es, terutama tentang tragedi 1965. Pada saat yang sama telah membangun
kesadaran sejarah baru bahwa orang-orang yang terdesak ke samping untuk
membangun Indonesia yang kita tinggali hari ini ada rahasia yang harus kita
ketahui.
Ayu Ratih
(gunggaratih@gmail.com) adalah direktur Institut Sejarah Sosial Indonesia
(ISSI). Situs web lembaga ini ada di http://www.sejarahsosial.org/ .
Sumber: Inside Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar