Minggu, 06 September 2015

Dharmawan Isaak: "Penjelengaraan IPT 65 adalah usaha jang luar biasa dan patut dihargai"


Dalam realisasinja lebih landjut, sangat diperlukan ikut tjampur PBB.
Di negara2 lain keputusan IPT lantjar bisa dilaksanakan seperti sebagai tjontoh di Kambodja, karena di sana sudah ada perubahan kekuasaan.


Sedangkan di Indonesia menurut saja seorang awam, sekalipun Suharto sudah dilengserkan, tetapi hakekat kekuasaan, masih di tangan pelaksana2 genosid itu sendiri, djadi satu2nja djalan jang harus diusahakan memang dengan menggunakan ikut tjampurnja PBB.

Hakekat kekuasaan belum berubah

Sebagai hasil perlawanan rakyat yang dipelopori mahasiswa Suharto sebagai gembong rejim fascist terpaksa turun, tapi ini tidak berarti hakekat kekuasaan di Indonesia sudah sudah beralih sepenuhnya ke tangan kekuasaan sipil dan Indonesia sudah kembali secara utuh menjadi negara hukum.


Dengan digulirkan politik "reformasi" di satu pihak memberikan kesempatan kepada Rakyat untuk dengan "bebas" mengutarakan pendapatnya dan membentuk organisasinya sendiri. 
Inipun mempunyai dampak memberikan ilusi seolah-olah sudah ada demokrasi yang sesungguhnya. Di pihak lain memberikan kesempatan kepada anak-anak Suharto yang menguasai D[P]R (P: baca Penipu) untuk mengokohkan kekuasaan militerisme secara "demokrasi" melalui RUU dan UU yang mereka sahkan. Lihat RUU dan UU tentang intelejen, kamnas, organisasi dan lain-lainnya. Dalam penipuannya mereka membikin bermacam RUU dan UU, ada juga diantaranya secara tertulis baik lihat UU Perlidungan Anak-anak dan Perempuan.

Bedanya UU yang "baik" pelaksanaannya tersendat sendat, bahkan terdapat berita di media ada hambatan dari alat2 negara, sedangkan RUU yang anti Rakyat, belum disahkan telah dilaksanakan dengan lancar sekali, lihat peristiwa2 Achmadiah, syiah, penindasan terhadap buruh dan tani di mana saja.


Tentang dipertahankannya kekuasaan militer terutama TNI/AD, masih adanya struktur pertikal/kekuasaan teritorial TNI/AD dari MBAD sampai desa?BABINSA, satu kenyataan tidak seluruh kebutuhan TNI/AD tergantung pada anggaran negara, sehingga TNI/AD masih tetap sebagai negara dalam negara.


Padahal kegagalan mutlak sistim pertahanan pertahanan teritorial yang kuat, telah dibuka kebobrokanya, dengan gebragan pertama metri kelautan ibu Susi Pujiastuti, bahwa Indonesia sudah kecolongan milyaran kekayaan lautnya.


Perbedaan militerisme dalam praktek dulu dan sekarang:
Dulu hakekat kekuasaan ditangani langsung oleh bekas kopral2 KNIL/tentara Belanda dan bekas daidanco tentara jepang, yang senapang di pundak dan kelewang di tangan. Cara mereka melaksanakan dan mempertahamkan kekuasaannya dengan 3 B (Bui, Buang dan Bunuh) tentu saja termasuk cara teror lainnya, seperti penculikan.


Sekarang hakekat kekuasaan ditangani oleh beberapa gelintir perwira anggota badan interlejen TNI AD dan POLRI, mereka ini murid yang baik dan setia dari CIA dan MI6. cara mereka melakukan dan mempetahankan kekuasaannya, sangat tepat sesuai dengan ajaran dan praktek dari CIA dan MI6. ialah dengan menciptakan ketidak tenangan, dengan bantuan organisasi2 preman buatannya yang berjubah maupun tanpa jubah, seperti MUI,FPI,FUI, Pemuda Pancaslia dan organisasi2 lokal sebangsanya, tentang ini bisa dilihat buku pensiunan TNI Kivlan Zen, dukumen Wikileak, dan banyak lagi media cetak maupun electronik. Juga bisa kita cermati kegiatan Prabowo dengan KMPnya ahir2 ini. 


Dari sini tidak salah kalau kita berpendapat, tugas utama perjuangan Rakyat Indonesia tetap melawan kekuasaan militerisme yang terselubung, dengan mendorong pemerintah Jokowi disamping dia dengan konsekwen melaksanakan programnya yang pro Rakyat, mencoba dengan cermat memperbaiki kekurangannya dengan melaksanakan janji2nya, juga tidak kurang pentingnya berusaha menegakan Indonesia sebagai negara hukum yang utuh dan tranparan, tak ada campur tangan militer alam ranah menegakan hukum dan politik.


https://www.facebook.com/ypkp.enamlima/posts/10208355911713047?ref=notif&notif_t=like_tagged&notif_id=1470197556937441

0 komentar:

Posting Komentar