Rabu, 30/09/2015 10:35 WIB
Maryam Labonu (74),
salah seorang korban tahanan politik tahun 1965 memangku foto mendiang
suaminya, Abdul Rahman Dg Maselo yang hingga kini tidak diketahui
keberadaannya di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (22/5). (AntaraFoto/ Basri
Marzuki)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Lembaga pengawas Hak Asasi Manusia (HAM)
internasional, Amnesty International (AI), meminta pemerintah Indonesia
untuk memberikan korban 65 akses terhadap kebenaran, keadilan dan
reparasi. Hal ini disampaikan AI mengingat Indonesia akan menandai
peringatan ke-50 tahun peristiwa pelanggaran HAM 1965.
AI mengatakan organisasi HAM telah mendokumentasikan serangkaian pelanggaran HAM dalam konteks kudeta 1965 termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, perbudakan, penangkapan, penahanan semena-mena dan kerja paksa.
AI mengatakan organisasi HAM telah mendokumentasikan serangkaian pelanggaran HAM dalam konteks kudeta 1965 termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, perbudakan, penangkapan, penahanan semena-mena dan kerja paksa.
Menurut catatan AI sekitar 500 ribu hingga 1 juta orang tewas dibunuh
dan ratusan ribu lainnya ditahan hingga lebih dari 14 tahun tanpa adanya
dakwaan atau peradilan. Selain itu, banyak korban dan keluarga korban
menghadapi pelanggaran atas hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal itu
bahkan terus terjadi sebagai praktik diskriminatif hingga hari ini.
Pemerintah Indonesia, setelah masa-masa 1965, juga dinilai secara esensial mengabaikan seluruh generasi dari para korban dengan meninggalkan mereka tanpa kebenaran, keadilan serta reparasi yang menjadi hak mereka di bawah hukum internasional. Bagi AI, dalam semua kasus, kecuali beberapa, para pelaku pelanggaran HAM masih bebas berkeliaran.
AI mencontohkan dalam beberapa pertemuan internal atau kegiatan publik tentang peristiwa 1965 yang diselenggarakan oleh para korban telah dibubarkan atau diganggu oleh para kelompok tertentu. Polisi, menurut pandangan AI, telah gagal untuk mengintervensi.
AI melanjutkan sebuah investigasi tiga tahun terhadap pelanggaran HAM atas kasus 1965 telah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan selesai pada Juli 2012. Saat itu, Komnas HAM menemukan bukti adanya pelanggaran HAM yang meluas dan dilakukan di segala penjuru negeri antara 1965 dan 1966. Pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut terus berlanjut di tingkat bawah hingga akhir tahun 1970-an.
Menurut Komnas HAM, temuan-temuan ini memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat yang termasuk ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pada Juli 2012, Komnas HAM menyerukan kepada Jaksa Agung untuk memulai sebuah penyidikan berdasarkan temuan-temuannya dan membawa pelakunya ke ranah hukum. Komnas juga menyerukan pihak berwenang untuk membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk melakukan suatu pernyataan maaf resmi kepada para korban dan keluarga mereka.
Namun, menurut AI, hingga saat ini tidak ada indikasi Jaksa Agung akan memulai sebuah investigasi. Tak hanya itu, upaya untuk membentuk sebuah komisi kebenaran di tingkat nasional berhenti karena minimnya kemauan politik.
Pada Oktober 2014, Presiden Joko Widodo mulai menjabat di Indonesia. Jokowi, menurut catatan AI, berkomitmen untuk menghormati dan melindungi HAM di Indonesia, termasuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia.
Namun, pada Agustus 2015, Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan memperingati Hari Kemerdekaan, mengumumkan dia akan membentuk sebuah mekanisme non yudisial untuk menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui komite rekonsiliasi. Komite ini akan mencakup pelanggaran HAM 1965 dan 1966.
Saat itu, Jokowi mengatakan rekonsiliasi nasional diperlukan agar generasi ke depan di Indoensia tidak akan terus memikul beban sejarah masa lalu.
Keputusan pemerintah Indonesia untuk memilih jalur non yudisial atau melalui mekanisme rekonsiliasi dinilai AI bisa merendahkan kebenaran dan keadilan serta hak dari para korban.
AI menilai kegagalan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM 1965-1966 menjadi penanda budaya impunitas yang lebih luas di Indonesia. Oleh karena itu, pada 23 September 2015, Amnesty Internasional menyelenggarakan sebuah kegiatan publik berjudul "Mengenang Mereka yang Terlupakan" di Inggris untuk memeringati 50 tahun peristiwa tragedi 1965.
Tak hanya itu, AI juga mengorganisir kegiatan lainnya di beberapa negara untuk menyerukan kepada pihak berwenang di Indonesia untuk menyediakan para korban 65 hak untuk mengakses kebenaran, keadilan dan reparasi.
(utd)
Pemerintah Indonesia, setelah masa-masa 1965, juga dinilai secara esensial mengabaikan seluruh generasi dari para korban dengan meninggalkan mereka tanpa kebenaran, keadilan serta reparasi yang menjadi hak mereka di bawah hukum internasional. Bagi AI, dalam semua kasus, kecuali beberapa, para pelaku pelanggaran HAM masih bebas berkeliaran.
AI mencontohkan dalam beberapa pertemuan internal atau kegiatan publik tentang peristiwa 1965 yang diselenggarakan oleh para korban telah dibubarkan atau diganggu oleh para kelompok tertentu. Polisi, menurut pandangan AI, telah gagal untuk mengintervensi.
AI melanjutkan sebuah investigasi tiga tahun terhadap pelanggaran HAM atas kasus 1965 telah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan selesai pada Juli 2012. Saat itu, Komnas HAM menemukan bukti adanya pelanggaran HAM yang meluas dan dilakukan di segala penjuru negeri antara 1965 dan 1966. Pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut terus berlanjut di tingkat bawah hingga akhir tahun 1970-an.
Menurut Komnas HAM, temuan-temuan ini memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat yang termasuk ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pada Juli 2012, Komnas HAM menyerukan kepada Jaksa Agung untuk memulai sebuah penyidikan berdasarkan temuan-temuannya dan membawa pelakunya ke ranah hukum. Komnas juga menyerukan pihak berwenang untuk membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk melakukan suatu pernyataan maaf resmi kepada para korban dan keluarga mereka.
Namun, menurut AI, hingga saat ini tidak ada indikasi Jaksa Agung akan memulai sebuah investigasi. Tak hanya itu, upaya untuk membentuk sebuah komisi kebenaran di tingkat nasional berhenti karena minimnya kemauan politik.
Pada Oktober 2014, Presiden Joko Widodo mulai menjabat di Indonesia. Jokowi, menurut catatan AI, berkomitmen untuk menghormati dan melindungi HAM di Indonesia, termasuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia.
Namun, pada Agustus 2015, Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan memperingati Hari Kemerdekaan, mengumumkan dia akan membentuk sebuah mekanisme non yudisial untuk menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui komite rekonsiliasi. Komite ini akan mencakup pelanggaran HAM 1965 dan 1966.
Saat itu, Jokowi mengatakan rekonsiliasi nasional diperlukan agar generasi ke depan di Indoensia tidak akan terus memikul beban sejarah masa lalu.
Keputusan pemerintah Indonesia untuk memilih jalur non yudisial atau melalui mekanisme rekonsiliasi dinilai AI bisa merendahkan kebenaran dan keadilan serta hak dari para korban.
AI menilai kegagalan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM 1965-1966 menjadi penanda budaya impunitas yang lebih luas di Indonesia. Oleh karena itu, pada 23 September 2015, Amnesty Internasional menyelenggarakan sebuah kegiatan publik berjudul "Mengenang Mereka yang Terlupakan" di Inggris untuk memeringati 50 tahun peristiwa tragedi 1965.
Tak hanya itu, AI juga mengorganisir kegiatan lainnya di beberapa negara untuk menyerukan kepada pihak berwenang di Indonesia untuk menyediakan para korban 65 hak untuk mengakses kebenaran, keadilan dan reparasi.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150928203936-12-81457/amnesty-internasional-minta-ri-beri-korban-65-keadilan/
0 komentar:
Posting Komentar