Selasa, 22 September 2015

Dr. Liauw Yan Siang: Tak Ada Penyiksaan Terhadap 6 Jenderal (Bagian-2 Selesai)

Dr. Liaw Yan Siang. Foto oleh Alfred Ticoalu

Di sini disebutkan ada saksi-saksi yang mengidentifikasikan mayat-mayat tersebut. Seperti misal Jenderal Yani dikatakan bahwa ‘Majat diidentifikasikan oleh Major CPM Soedarto […]’. Identifikasi itu terjadi pada saat…,?
Sebelum pemeriksaan dimulai. Karena saya harus memeriksa mayat yang ada identification-nya. Waktu saya ke sana semua mayat itu masih belum di-identified. Baru setelah mayat pertama dikeluarin tuh, nah saya ingat ada yang untuk menentukan oh ya ini bener ini si anu.
Nah saya nggak kenal tuh semua orang-orang yang identify the generals. Kalau saya sih nggak bisa, saya nggak kenal jenderal-jenderal itu. Saya nggak kenal Mayor CPM Soedarto. Orang-orang militer tuh…, jangan katakan Soedarto, Suharto sendiri kalau datang ke situ waktu itu saya nggak tahu siapa.

Tapi ada kemungkinan Suharto itu sebenarnya datang sesuai perkataan Dr. Lim[25] Tapi Oom nggak mengenali?
Ada kemungkinan dia ada di situ. Oh ya, waktu itu nggak ada satu yang saya kenal, kecuali si Frans Pattiasina. Kertopati saya nggak kenal. Rasanya istrinya yang saya kenal, tapi Kertopati-nya ya belum pernah ketemu ingetan saya itu.
Waktu itu ada keluarga-keluarga dari jenderal-jenderal apa tuh. Udah…, wah, pokoknya yang nutupin mulut, lihat-lihat ini, mau buru-buru. Nah itu ingatan saya udah serawutan gitu tuh. Nggak tahu siapa-siapa deh yang datang di situ. Tahu-tahu ada jenderalnya, atau kapten, atau apa, nggak inget, atau mayor [tertawa].

Jadi saksi-saksi ini datang, waktu mereka mengidentifikasikan, Oom ada di sana nggak?
Ada. Saya nggak inget lagi detilnya deh. Tapi saya inget ada yang datang sebelum saya mulai, memeriksa dulu. Itu saya inget.

Mengenai jenazah-jenazah tersebut, apakah Oom masih ingat siapa yang Oom kerjakan? Maksudnya yang Oom lakukan otopsi siapa saja?
Ya semua jenderal-jenderal menurut ingatan saya.

Oom berani kasih jaminan tentang hal tersebut? Oom mengatakan saya sendiri berarti pribadi tanpa bantuan orang lain?
Ya.

Nah, saat itu yang melakukan otopsi siapa saja jadinya? Karena laporan ini mengatakan bahwa kelima-limanya melakukan otopsi.
Karena saya nggak lihat aslinya ini [menunjuk kopian laporan otopsi]. Jadi yang melakukan otopsi itu cuma saya sendiri. Dan itu Tendean, Dr. Lim sendiri yang periksa. Yang lain nggak.

Sekarang begini. Dr. Lim waktu diwawancara oleh majalah D&R bilang bahwa Jenderal Suharto hadir pada saat otopsi. Dia mengatakan Professor Sutomo pun hadir. Bahkan Roebiono pun hadir di otopsi ini dan mengatakan dia ikut melakukan otopsi tersebut. Komentar Oom bagaimana?
Prof. Sutomo saya tahu pasti tidak, karena kesehatannya sudah mundur. He was not in a condition to do any kind of work like that.

Jadi Roebiono pun nggak?
Ohhh, Roebiono itu bukan patolog!
Saya ingat Roebiono, istrinya saya kenal. Ko-asisten bersama-sama. Nggak inget nama istrinya. Yang saya inget karena kita sama-sama ko-asisten tuh. Kalau ko-asisten kan nginepnya tuh malem tuh rame-rame situ. Kalau lagi makan kumpul…, kita ngobrol deh di situ. Nah makanya dengan istrinya Aidit, saya kenal. Boleh bilang ya kenal baik juga tuh. Kalau waktu jam makan kita rame-rame di ruangan ko-asisten [ketika mereka semua sebagai ko-asisten fakultas kedokteran Universitas Indonesia].
Tapi ini yang mengerjakan cuma saya berdua. Dengan Dr. Lim Joe Thay.

Walau saya pernah dengar dari seseorang bahwa dia (maksudnya Roebiono Kertopati) itu mungkin ahli kedokteran kehakiman.. Apa betul dan apa Oom pernah dengar hal itu?
Kertopati? Tidak!

Kalau boleh tahu, apakah ada surat perintah? Apakah Oom dapat surat secara resmi yang menunjuk Oom untuk mengerjakan ini?
Di sana [Indonesia] nggak pakai formil seperti di sini [Amerika]. Pokoknya diminta oleh Prof. Sutomo untuk mengerjakan itu. Ya sudah.

Jadi Oom dipilih oleh Prof. Sutomo sendiri untuk melakukan ini. Apakah Prof. Sutomo juga melakukan otopsi?
Oh nggak. Waktu itu dia sudah ada penyakitnya. Jadi dia nggak bisa. Kan dia nggak lama kemudian kan meninggal. Entah penyakit apa. Dia pernah ke Amerika Serikat juga untuk berobat. Penyakit apa saya nggak tahu tuh. Saya nggak berani nanya [tertawa].[26]
Waktu yang pertama dia masih di situ. Dia lihat saya lagi mengerjakan, lagi dictate, segala apa. Terus nggak lama lagi dia pulang. Dia nggak bisa diem di situ terus.

Kalau Frans Pattiasina ada juga di sana?
Kalau Frans Pattiasina sampai terakhir dia ada di RSPAD. Tapi dia tidak mengerjakan.

Yakin 100%?
Ya terang dong [tertawa], saya yang mengerjakan semua, bagaimana…, Frans Pattiasina sewaktu-waktu muncul lantas ngilang lagi.

Apakah Oom ditunjuk ini ada unsur pemaksaan? Asumsi kami kelompok ini secara khusus dibentuk dan pikiran kami mungkin ada pemikiran matang di balik penunjukkan anggota kelompok ini.
Lho, itu kan sudah tugas kok. Saya kan dosen fakultas kedokteran. Jadi otomatis bagian kedokteran kehakiman itu. Kalau nggak siapa yang harus kerjakan? Professor Sutomo itu kan atasan saya. Jadi kalau dia yang menyuruh saya…, kan saya nggak bisa bilang, ah nggak mau.
Professor Sutomo yang dapat tugas untuk pemeriksaaan ini. Tapi karena saya tahu Professor Sutomo itu kesehatannya tidak mengijinkan, maka dia ajak saya untuk periksa mayat-mayat ini. Dan lagian dia tahu bahwa saya dengan Dr. Lim satu-satunya yang competent untuk pemeriksaan ini. Kita yang memang dikirim ke luar negeri. Otomatis tentu kita berdua yang ditugaskan untuk ini.

Apakah Oom ada gambaran perintah ke Professor Sutomo itu kira-kira keluar dari siapa?
Cuma tahu tentu dari bagian militer, tentu yang berkuasa waktu itu. Nggak tahu siapa.

Kan Frans Pattiasina hadir dan dia dari Angkatan Darat juga. Menurut Oom bagaimana itu?
Oh, kita nggak ada ngomongin-ngomongin siapa yang kasih perintah ini dan itu. Nggak ada waktu untuk begitu.

Apakah diburu-buru?
Bukannya mereka yang buru-buru. Kita yang buru-buru mau lekas selesai. Karena keadaan sudah begitu bau. Kondisi mayat-mayat itu demikian. Kalau mau lama-lama tanya ini-itu, sedangkan sudah waktu saya pulang ke rumah. Ini Tante nih [istri beliau; beliau menunjuk ke arah istrinya duduk saat itu]. Kalau mau tukeran ke kamar mandi harus lewatin kamar tidur. Udah saya di kamar mandi, udah tukeran apa. Balik-balik Tante bilang aduh kok masih bau amat nih kamar. Karena baunya itu mayat tuh nggak hilang. Bagaimana mau tunggu-tunggu lagi?

Kalau boleh sekarang bicara sedikit tentang kondisi mayat. Waktu pertama kali Oom tiba, tadi Oom bilang masih di dalam peti. Apakah ada komentar secara umum atau spesifik? Apa yang melintas di kepala Oom waktu itu?
Yang saya inget yang pertama itu iya ada di dalam peti. Peti terbuka. Nah itu mayatnya sudah melembung, keluar gas-gas campur darah itu. Karena Oom sudah biasa ya, mayat ya mayat saja.
Saya tahu bahwa di surat-surat kabar itu jenderal-jenderal itu disiksa, dianiaya segala. Disiksa apa itu. Dari sebab itu saya mau cari apa benar ada bukti-bukti itu atau nggak. Antara lain matanya dicukil segala. Nah waktu itu saya lihat kok nggak ada yang dicukil matanya?

Oom bisa tahu dan ambil kesimpulan itu bagaimana?
Karena bukan pertama kali saya periksa mayat yang sudah busuk begitu. Jadi saya tahu keadaan mayat yang sudah busuk itu seperti apa organ-organnya. Jadi kalau ada mata yang dicukil itu kan kelihatan meski sudah busuk juga. Jadi kalau sudah stadium apa, tuh, dia kempes lagi karena gasnya sudah keluar. Nah itu kulit yang ngelotok itu berapa lama. Setelah sekian lama nyoplok semua. Yang keluar apa. Semua kan ada tanda-tandanya.
[Ketika berbicara di telepon beberapa hari kemudian, Oom Yan Siang menjelaskan lebih lanjut komentar soal mata tidak dicukil itu. Kalau mata dicukil bisa terlihat ada tergores di tulang sekitar rongga mata (socket) atau bola mata ada cacatnya. Tidak demikian situasinya dengan mayat-mayat tersebut. Seingat dia semua bola mata ada dan lengkap. Kalau tidak ada atau hilang karena dicukil, harus dinyatakan di laporan otopsi tersebut.]

Sekalian kita omong agak mendetil sedikit. Katanya mereka dapat siksaan. Ada yang matanya dicongkel keluar, digunakan pisau atau silet dipotong-potong badannya. Diberet-beret. Bahkan ada yang mengatakan sampai kemaluannya dipotong. Sesuai laporan yang saya baca ini nampaknya tidak ada hal-hal demikian.
Nggak ada.

Secara detil, bagaimana dengan hal pemotongan kemaluan?
Nggak ada. Semua utuh.

Saat ini pembicaraan terhenti sejenak karena anak perempuan Oom Yan Siang mengajak kami semua makan siang.

Maaf tadi terputus sebentar. Kembali ke soal kemaluan.
Nggak. Semua utuh.

Oom lihat sendiri?
Oh iya dong! Kita periksa kan nggak bisa, apa…, sebagian aja kan. Seluruhnya dari kepala sampai ke ujung kaki.
Yang ini…, yang setelah saya baca lagi [laporan otopsi] salah satu itu yang kakinya patah atau itu…, [yang dimaksud Jenderal S. Parman]. Nah itu. Itu saya lupa sama sekali tuh. Soal itu tuh. Kok kakinya…, kakinya patahnya bagaimana itu, tapi ada description-nya di sini. Cuma patah…, itu saya sudah banyak yang sudah nggak inget deh tuh.

Apa mungkin patah karena dipukul?
Nggak tahu tuh. Atau kegiling atau apa. Saya lupa tuh. Waktu saya baca kok ada yang kakinya patah nih ya waktu itu. Karena sekaligus sekian banyaknya mayat yang saya dictate itu, nggak bisa keingatan semua. Waktu baca lagi juga pun nggak inget.
Sambil melihat laporan Letnan P. Tendean.
Tuh ada tiga luka karena kekerasan tumpul.
Nampaknya beliau melihat laporan otopsi yang lain namun saya tak bisa melihat secara jelas yang mana dari posisi saya saat itu.
Oh ya, ada yang kepalanya lagi…, nggak tahu dipukul atau apa ya nggak tahu tuh. Juga ada yang kepalanya pecah tuh…,

Kan misalnya Jenderal Pandjaitan. Itu kan ditembak pas di kepalanya. Apakah itu yang Oom maksud pecah?
Nggak tahu [tertawa], nggak inget. Karena itu pemeriksanaan luar tuh jadi kita nggak bisa trace kalau ada, misalnya, ada peluru. Kan peluru juga nggak masuk terus tembus keluar begitu. Tergantung bagaimana traject-nya, bisa sampai yang tembakan keluarnya itu bikin pecah. Itu juga bisa. Dari itu kalau ngak ada pemeriksaan dalam ya kita cuma bisa sebut oh ya ini…,

Jadi Oom mengatakan sekarang bahwa tidak ada pemeriksaan dalam?
Tidak.

Mengapa tidak ada, Oom?
Di sana (Indonesia] lain . Pemeriksaan itu…,
Saat ini pembicaraan terhenti sejenak karena beliau diperlukan oleh istrinya.

Kita lanjutkan lagi, maaf tadi terputus. Tadi kita ngomong mengenai masalah tidak dilakukannya pemeriksaan dalam. Mengapa?
Di Indonesia itu memang alasan-alasan dari keluarga. Pihak keluarga itu biasanya karena agama itu tidak mengijinkan mayat itu dipotong. Jadi hanya pemeriksaan luar saja yang harus dilakukan. Maka kita, sebagai patolog, nggak punya kekuasaan untuk melakukan pemeriksaan dalam.

Jadi itu sudah merupakan sebuah peraturan? Atau apakah ada dapat perintah hanya pemeriksaan luar? Pemeriksaan dalam tak perlu, begitu?
Bukannya nggak perlu. Pemeriksaan dalam setiap pemeriksaan forensik itu harus pemeriksaan dalam. Tapi sering kali kalau pihak keluarganya tidak setuju, kita tidak bisa meneruskan.

Dalam hal kasus otopsi tujuh korban ini, itu yang terjadi apa? Apakah memang ada permintaan dari keluarga? Atau inisiatif dari Oom sendiri sebagai seorang patolog? Atau memang dapat perintah tak perlu?
Oh, memang sudah diberitahukan oleh Dr. Frans Pattiasina. Sebagai dokter RSPAD dia sebenarnya yang dikuasakan untuk memeriksa. Tapi karena dia bukan forensic pathologist…, saya…, itu dugaan saya ya, maka minta Professor Sutomo sebagai ahli untuk memimpin pemeriksaan itu. Dan dari termula udah diberitahukan hanya pemeriksaan luar.

Apakah Oom ada rasa curiga?
Bukannya curiga sih. Memang sudah kebiasaan di sana itu…, kalau ada yang berpangkat, policy tidak berkuasa lagi. Jadi itu yang berpangkat itu yang menguasai apa yang boleh, apa yang tidak boleh.
Sedangkan dengan keadaan-keadaan yang biasa pun ya, waktu masih di fakultas kedokteran tuh, misalnya kecelakaan lalu-lintas…, ya itu hanya orang biasa yang tersangkut. Kalau famili kata nggak mau pemeriksaan dalam, hanya luar, ya kita nggak bisa memaksakan. Karena siapa yang mau menjamin…, menjamin dokter yang memeriksa mayat kalau ada kejadian apa-apa. Kalau mereka menentang…, dia ngamuk, kita yang diserang. Siapa yang mau membela [tertawa]?

Jika kita baca laporan ini, ada bagian kesimpulan. Menurut Oom sendiri apakah kesimpulan itu cukup conclusive menyatakan apa penyebab kematian?
Kalau banyak yang masuk lukanya, kemana-kemana kita nggak tahu. Misalnya sini ada luka masuk, ini ada lagi, sini ada lagi, atau di sini ada luka-luka keluar (sambil menunjuk beberapa posisi di tubuh beliau sendiri), jadi hubungannya satu dengan yang lain dengan pemeriksaan luar saja tidak bisa kita menentukan dengan pasti. Jadi sebab matinya ya by exclusion. Tadinya sehat ya ditembak ya udah [tertawa]. Dus it was the way, by exclusion.
Kalau memangnya tadinya sakit berat, nah itu…, kalau ada liver damage karena penyakit, ya itu lain lagi. Tapi kalau tadinya orangnya sehat, ya ada luka-luka tembak…, yang dipentingkan pada waktu itu ya penganiayaan itu.

Bicara soal penganiayaan, kalau dikatakan mereka dapat siksaan, pendapat Oom sendiri setelah melakukan otopsi tersebut dan melihat secara mendetil, pandangan Oom bagaimana?
Ya kalau nggak ada luka tusuk, nggak ada luka iris, nggak ada cungkilan-cungkilan apa, mutilasi, nggak ada, ya konklusi saya ya nggak ada juga. Hanya yang itu, yang luka tumpul, nah itu saya nggak tahu.

Ada dari beberapa laporan ini jelas mengatakan ada luka tusuk. Di bagian abdomen perut, di belakang bagian tubuhnya. Kami berpikiran itu kemungkinan bayonet…,
Ada kemungkinannya…,

Apakah Oom ingat bahwa luka tusuk itu ada? [merujuk laporan otopsi Jenderal M.T. Harjono]
Nggak. Cuma saya ingat waktu membaca ini. Tapi udah nggak inget lagi apa bener ada luka tusuk itu. Tapi kalau menurut di sini, ya tentu seharusnya ya ada [tertawa].

Oom berani kasih jaminan, kalau ada di sini, karena Oom yang melakukan otopsi itu pasti benar-benar ada?
Lho ini kan salinan…, kalau membaca lagi ini menurut saya sih pasti ada luka tusuk itu. Luka tumpul, kekerasan tumpul juga ada. Tapi apa yang menyebabkan itu [luka tumpul] nggak tahu itu, karena keadaan sudah busuk begitu.

Jadi kalau ditanyakan penyebabnya apa [luka tumpul], Oom nggak bisa jawab. Tapi kalau ditanyakan eksistensi luka-luka tersebut, Oom berani mengatakan ada.
Oh iya.

Kalau sekarang ditanyakan, mereka mati gara-gara disiksa. Pendapat Oom bagaimana?
Nggak tahu. I don’t know.

Kalau sekarang ditanyakan, mereka mati karena ditembak? Menurut Oom bagaimana?
Oh iya. Kalau ada luka tembak ya karena ditembak [tertawa].

Kalau sekarang saya tanyakan ke Oom, mungkin nggak mereka disiksa dulu baru ditembak berdasarkan pengamatan Oom?
Sampai di mana penyiksaan itu…, karena penyiksaan itu kan bisa juga dengan, apa tuh…, sesuatu yang tidak tampak setelah orangnya meninggal. Bisa kan. Kalau misalnya pakai listrik, apa itu…, mayatnya sudah busuk mana ada tanda-tanda lagi? Jadi tergantung penyiksaan caranya bagaimana. Kalau matanya dicukil ya kelihatan kan. Tapi kalau, penyiksaan dengan alat-alat yang tidak menyebabkan tanda, ya nggak bisa dibilang.[ saat ini beliau mengulas teori forensik secara umum, dia tidak menyatakan para korban disiksa dengan listrik.]

Kalau sekarang kita ambil versi resmi militer saja ya, yang mengatakan penyiksaan ada sebagai berikut: dipukuli, matanya dicukil, kemaluan dipotong, tubuhnya dipotong-potong, dibeset-beset dengan pisau silet atau pisau kecil. Begitu. Ini versi resminya mereka. Kalau menurut Oom?
Kalau dipukulin aja lantas ditembak ya, tanda-tandanya nggak kelihatan dong. Ini tergantung interval itu dari waktu dipukulnya sampai ditembaknya. Kalau hanya dalam 1-2 menit, itu pemukulan itu nggak menyebabkan pendarahan di bawah kulit kan. Tapi kalau melewati beberapa jangka waktu itu baru ada pendarahan di bawah kulit yang kelihatan. Jadi itu interval itu juga kita nggak tahu. Apalagi kalau sudah busuk, semuanya warnanya sudah hampir hitam. Jadi seandainya ada pendarahan, sudah nggak bisa dilihat deh.

Untuk kepastiaan…, soal siksaan. Yang matanya dicukil, digunakan pisau atau silet dipotong-potong badannya, kemaluannya dipotong. Ada tidak?.
Nggak ada.

Ada yang dilaporkan patah tulang. Kami berteori mungkin karena dimasukkan atau dijatuhkan ke dalam sumur yang dalamnya 12 meter. Kalau dibilang itu gedung, setidaknya itu dua, tiga sampai empat lantai. Apakah itu bisa menyebabkan patah tulang tersebut?
Nggak tahu lagi ya. Patah tulangnya kok, kenapa…, Wah saya sudah ngak inget deh tuh patah tulangnya. Nggak ada itunya sih tuh ya, X-ray-nya tuh. Seandainya kalau dia dilempar dari atas dia jatuh, kok kenapa cuman…, rasanya cuma satu kakinya yang patah tuh [saat ini beliau merujuk ke hasil pemeriksaan Jenderal S. Parman]. Itu anehnya. Apa waktu saya baca lagi ini, apa dia kegiling mobil? Tapi nggak ada tanda-tandanya. Yah sudah busuk sih ya, nggak ada tanda-tanda.

Kalau ditanya dalam konteks ‘mungkin’ [apakah mungkin karena jatuh ke dalam sumur]?
I don’t want to commit myself, in that case.
[dalam perbincangan kami yang sesudahnya lewat telepon, saya menyentuh kembali soal patah atau remuk tulang ini. Khususnya saya ingatkan beliau hasil laporan otopsi Jenderal Soeprapto, S. Parman, dan Soetojo. Beliau menekankan kembali bahwa masalahnya tidak dikerjakan x-ray saat itu. Karenanya dia tidak bisa tahu patah tulangnya itu seperti apa persisnya. Melihat dan menganalisa hasil x-ray kemungkinan dapat membantu lebih memperjelas keadaan.]

Mengenai kasus Jenderal M.T. Harjono, di perut dan punggung ada luka tusuk. Kalau Oom memikirkan lebih dalam, luka ini apakah mungkin disebabkan oleh silet?
Di sini beliau menggelengkan kepala, dus penulis berkata, “Gelengan kepala Oom saya maksudkan sebagai tidak, ya?” dan kemudian dia memberikan anggukan kepala.
Nggak. Nggak mungkin.

Kalau misalnya seperti belati atau bayonet?
Kalau itu sih mungkin aja. Kalau bayonet, kalau luka tusuknya itu. Segimana lebarnya ini? Kasih lihat itunya, ukurannya apa.
Saat ini kami tarik keluar halaman otopsi Jenderal Harjono dan membaca bagian pemeriksaan luka tusuk itu: bagian pemeriksaan luar, nomor 6.
Oh bekas operasi dong…,
Beliau sedang berbicara sendiri tentang penjelasan bagian pemeriksaan luar, nomor 5. Nampaknya dia mulai membaca dari bagian itu di halaman tersebut. Baru kemudian dia mulai membaca nomor 6.
Berukuran tiga setengah centimeter, pinggir luka. Tiga setengah centimeter tuh…, dalamnya bagaimana ya [maksudnya kedalaman luka]. Nah itu tuh susahnya tuh ya. Cuman ukuran, cuman satu. Keluar jaringan usus besar, mestinya masuk ke dalam. Kalau luka silet ya…, kalau luka silet tentu lebih luas panjangnya sampai keluar ususnya. Kalau ini luka tusuk ya bisa juga bayonet atau pisau. Tiga setengah centimeter segini…,
Beliau menggunakan ruas-ruas jari telunjuknya untuk memperkirakan kelebaran tiga setengah centimeter itu.

 Dokumen visum et repertum. Koleksi oleh Alfred Ticoalu

Kalau Oom diminta mengambil kesimpulan dari keadaan luka ini. Apakah mungkin ini mati karena disiksa dengan silat atau pisau kecil yang mengakibatkan luka tersebut. Mungkin tidak?
Nggak.

Walaupun kita sekarang agak sedikit kurang data mengenai kedalaman luka, kalau kita lihat secara umum?
Silet sih nggak mungkin ini.

Saya gunakan kata ‘silet dan pisau kecil’ tersebut karena itulah yang digunakan di media massa. Seperti contohnya artikel di koran Api Pantjasila,[27] Gerwani ‘dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet’, seperti demikian. Hal tersebut juga dibahas dalam tulisannya Professor Ben Anderson. Asumsi kita pisau kecil itu ya…, pisau silet seperti silet merek gillette ya.
Beliau celetuk, “Pisau kecil, seperti pocket knife.”

Jadi bisa dikatakan bahwa luka sebesar itu tidak mungkin disebabkan oleh senjata yang sebesar itu?
Kalau silet rasanya sih nggak tuh. Tapi kalau pisau kecil…, apa ada orang perempuan yang nusuknya demikian kuatnya pakai pisau kecil [tertawa]?
Oh iya, tadi ada telepon dari…,

Bincang-bincang terhenti sejenak karena beliau pergi sebentar untuk menanyakan sesuatu ke istrinya di ruangan belakang.

Apakah Oom setuju kalau dikatakan, selain Jenderal Haryono, mereka semua tewas karena luka tembak?

Kalau menurut kedokteran kehakiman, kita nggak memberi sebab kematian kalau hanya periksa luar. Tapi kalau menurut logika ya, selain itu ya apa lagi yang bisa menyebabkan kematiannya? Selain luka tembak. Kan ya nggak ada ya. Dus berdasarkan logic ya memang matinya karena itu. Karena luka tembak. Tapi kalau menurut…, scientifically you have to do a complete examination to determine the cause of death.

Yang mana, pada saat otopsi itu dilakukan, apakah hal tersebut terjadi? Pemeriksaan secara keseluruhan yang sangat conclusive untuk meyimpulkan kematiannya?
Karena mereka tidak memerlukan waktu itu. Yang diperlukan itu apa ada penganiayaan atau nggak, menurut dugaan saya sih. Dan menurut anggapan mereka itu sudah, it’s obvious. Dengan hasil-hasil pemeriksaan itu sudah jelas sebab matinya itu karena luka tembak. Mereka tidak memerlukan lagi pemeriksaan dalam [‘mereka’ di sini maksudnya yang berwenang saat itu, dus pihak atasan militer yang ada di RSPAD saat itu].

Jadi kesimpulannya, sekali lagi, apakah ada penyiksaan?
Saya nggak bisa buktikan ada penganiayaan. Jadi menurut saya nggak ada.

Oom mendengar berita mengenai penyiksaan itu sebelum atau sesudah otopsi?
Sebelum otopsi. Di surat kabar-surat kabar, sudah diberitakan.

Jadi maksud Oom sebelum tanggal 4 Oktober kan? Atau 4 Oktober pagi? Mungkin tanggal 3? Tanggal 2?
Wah, saya nggak tahu. Nggak inget. Karena apa, Bung Karno itu minta ini [laporan otopsi] selekas mungkin. Ingatan saya itu karena adanya berita-berita penganiayaan jenderal-jenderal itu. Makanya dia mau menentang desas-desus ini. Bahwa tidak terjadi penganiayaan. Entah apa…, Karena Bung Karno kan kasih pidato sesudah itu kan. Atau pengumuman, atau pidato. Pokoknya mengatakan bahwa penganiayaan itu nggak ada.

Karena kalau melihat kembali ke dokumentasi media massa yang ada, dan kebetulan ada saya bawa di sini, secara umum bisa dikatakan begini. Setelah tanggal 1 Oktober, surat kabar yang masih beredar itu adalah dan hanya surat kabar militer: Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Dan praktis surat kabar lainnya semua ditutup, mulai dari Kompas, Sinar harapan, dan lain-lainnya. Satu surat kabar, Harian Rakjat – yang ada afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia – memang sempat mengeluarkan pernyataan pada tanggal 2 Oktober namun itu tidak ada sangkut-pautnya dengan berita penyiksaan dan sebagainya.
Kebetulan saya ada fotokopinya ini beberapa yang saya bawa. Sebagai contoh saya ambil ini dari Kompas, yang mana mulai tanggal 2 sampai 5 Oktober itu tidak boleh terbit. Terbit kembali pada tanggal 6 Oktober, satu hari sesudah penguburan jenazah-jenazah yang disebut sebagai korban G30S atau Gestapu. Di sini ada berita mengenai penyiksaaan.
Ada juga Sinar Harapan, hal yang sama terjadi koran ini, juga dilarang terbit, dari tanggal 2 sampai 7 Oktober. Terbit tanggal 8 Oktober ini ada kopiannya, Oom bisa lihat.
Beliau berkata, “Aduh, nggak bisa lihat deh. I’m sorry. Too small. Sorry.” Dus penulis bantu bacakan.

Ini koran awam ya, bukan koran militer. Sinar Harapan. Halaman pertama, korban teror Gerakan 30 September dan ada 5 foto jenazah yang diambil dari Lubang Buaya. Foto pertama ada fine print-nya, ada title-nya [ket: judulnya Korban Terror “Gerakan 30 September”]. Dikatakan Jenderal Anumerta A. Yani yang kedua matanya dicungkil, jenazahnyanya diikat jadi satu dengan Mayjen Anumerta Soetojo. Kedua korban ini mukanya telah dirusak. Lalu ada tulisan, yang selanjutnya, jenazah Kapten Anumerta Pierre Tendean matanya juga dicungkil dan pada dada kiri dan perut sebelah kanannya terdapat luka besar. Ajudan Menko Kasab ini lehernya juga dirusak. Dan ini keluar tanggal 8 Oktober, sesudah penguburan, sesudah otopsi, dan yang pasti bukan sebelum otopsi.
Dan ini makanya saya hendak mintakan komentar dari Oom. Tadi Oom mengatakan bahwa di media massa sudah tersebar-sebar begitu. Sementara kalau koran umum baru keluar beberapa hari sesudahnya. Komentar Oom mengenai ini?
 [Tertawa] Mungkin saya salah itunya tuh, tanggalnya. Ada kemungkinan juga. Atau kepastian…, karena saya inget di surat-surat kabar itu ada berita-berita yang mayat itu dianiaya.

Ini saya ambil contoh lain. Ini Berita Yudha, ini milik Angkatan Darat. Tanggal 4 Oktober dia sudah mengeluarkan penyataan bahwa mereka ini diculik. Nah, bahkan memberikan bagian dari Harian Rakjat dan Warta Bhakti yang memberikan dukungan kepada gerakan Kolonel Untung [ket: faksimili/cetak ulang rupa dari halaman pertama masing-masing surat kabar tersebut]. Tanggal 5 Oktober baru ditulis mengenai keadaan yang sudah dirusak dan ada 6 foto dari pada korbannya itu. Dan tanggal 6 Oktober juga ada dibahas mengenai penganiayaan/penyiksaan, terfokus pada Ahmad Yani.
Juga ada koran Angkatan Bersendjata, tanggal 4 Oktober, mengatakan ditembak mati, mana kuburnya, dan rakyat menuntut.
Apakah saat itu Oom ada akses ke media ini? Apakah langganan koran-koran ini?
Wah, nggak inget deh. Kalau langganan sih nggak. Yang saya langganan cuma apa ya, Sinar Harapan kalau nggak salah.

Kalau dikesampingkan dokumentasi media massa ini. Di luaran sendiri bagaimana menurut Oom? Masyarakatnya itu. Apakah ada kayak kabar-kabar burung?
[Tertawa] Oh boy… How do I remember those things. Cuman saya inget di luaran desas-desusnya itu, cuman…, penganiayaan, cungkil mata. Nah itu cuman yang saya inget.

Tapi kapan dengarnya?
Wah itu udah ngawur deh tuh [tertawa]. Sudah ngawur deh, I don’t remember [tertawa].

Apa Oom pernah dipanggil oleh pihak yang berkuasa, militer, yang berwenang pada saat itu untuk membahas hal ini?
Oh, nggak pernah deh.

Nah tanggapan Oom sendiri, pandangan Oom sendiri atas suasana saat itu? Karena menurut wawancara dengan Dr. Lim [majalah D&R], menyatakan bahwa itu penuh ketakutan, kerahasiaan. Seperti ada kesan dipaksa, terburu-buru [Dr. Lim menyatakan ini juga ketika penulis berbicara di telepon dengan beliau]?
Perasaan yang diburu-buru itu cuman karena de groote bung yang mau kepastian tuh. Nah itu menurut Frans Pattiasina kepada saya tuh. Bung Karno mau secepat mungkin hasil pemeriksaan ini supaya dia tahu apa bener ada penganiayaan atau nggak.

Antara Oom dan Dr. Lim ada kontak nggak untuk mendiskusikan laporan ini? Dalam waktu dekat itu, dalam masa persiapan laporan ini [saat draft dibahas, yang dibawa Frans Pattiasina ke rumah beliau]?
Nggak [tertawa]. Nggak ada diskusi apa-apa dengan Dr. Lim.

Mengapa tidak ada? Bukankah lebih baik, karena kan mengerjakannya bersama-sama. Ada tukar pikiran, begitu?
Kalau ada yang questions, atau questionable itu, mungkin dia tanya itu. Eh ini bagaimana…, tapi ini semua sudah…, apa, facts ya. Apa yang kita lihat, itu yang kita lapor. Bukan seperti in the clinical part [maksudnya membahas sebuah penyakit yang diderita pasien]. Rasanya sih nggak ada discussion apa-apa dengan Dr. Lim

Dan juga dengan orang-orang yang lainnya?
Oh ya pasti. Dengan orang-orang yang lain sih pasti nggak dah.

Bagaimana dengan orang-orang yang disebut menandatangani ini?
Saya nggak tahu mereka dimasukkan di situ! I was sure that I was the only one responsible untuk memeriksa. Dan setelah selesai pemeriksaan itu saya bilang ke si Frans, Frans you are responsible, you sign the…, before…., Nah itu saya masih inget. Karena saya takut nanti kebawa-bawa…, saya komunis lagi [maksudnya beliau khawatir dicap komunis]. Nanti mau menutupi itu apa, penganiayaan apa. Untuk membela komunis-komunis. Udah jadi saya nggak…, kasih tahu si Frans supaya dia yang teken [tanda tangan].

Seperti yang kita ketahui, laporan ini ditemukan di berkasnya Heru Atmodjo. Digunakan di pengadilan. Apakah Oom pernah misalnya dipanggil sebagai saksi? Untuk meyakinkan bahwa ini yang Oom kerjakan.
Nggak pernah. Dari selama itu tuh sampai sekarang, sebelum saya lihat ini lagi [laporan otopsi] masih saya anggap Frans Pattisiana yang nandatangani. Waktu baru saya baca ini kok semua namanya ada di sini. Mereka ini nggak mengerjakan apa-apa.

Kami berpikiran ada seperti indikasi untuk merahasiakan laporan ini. Apakah Oom pernah diminta atau mungkin dipaksa secara verbal untuk tutup mulut?
Nggak. Nggak ada. Oh…, kalau tutup mulut sih itu…, apa…, rahasia jabatan saya. Nggak boleh ngomong apa-apa. Itu bukannya perintah dari atas. Itu memang rahasia jabatan. Jadi bukannya perintah dari atas. Waktu itu saya nggak pernah mengeluarkan pernyataan saya yang memeriksa mayat-mayat itu. Keluarga saya juga tahu kok apa yang saya kerjakan itu rahasia jabatan. Nggak perlu diceritakan ke orang-orang.

Oom sebelumnya pernah bilang pindah ke Amerika tahun 1970 ya. Sesudah itu pernah ke Indonesia lagi?
Sudah. Tahun 1978 saya kembali ke Jakarta, jalan-jalan.

Pernah nggak Oom ketemu dengan orang-orang ini lagi pas di Jakarta? Roebiono, Sutomo, Frans, …,
Nggak sih. Prof. Sutomo sudah meninggal waktu saya ke sana, tahun 1978 ya. Yang saya ingat setelah selesai pemeriksaan ini, Professor Sutomo antara lain mengatakan tidak percuma saya kirim si Liauw ke Amerika Serikat. Dia baik sekali. Dia lihat hasilnya itu pemeriksaan saya bagus [ket: maksudnya setelah proses otopsi tersebut]. Waktu saya masih ada di sana dia meninggal [‘disana maksudnya di Jakarta, Indonesia]. Saya lupa tuh kapan pastinya.[28]

Jadi secara umum bisa dikatakan bahwa Oom tidak ada kontak dengan mereka ya sejak itu?
Nggak.

Bagaimana dengan Dr. Lim?
Oh ya…, sama Dr. Lim saya masih pergi makan-makan segala waktu itu tahun 1978. Dia traktir [tertawa].

Ngomong-ngomong nggak dengan Oom Lim soal otopsi ini saat itu?
Oh nggak…,

Sebelum Oom pindah ke Amerika, selain saat Frans Pattiasina datang koreksi draft bersama Oom, apakah pernah ada yang tanya-tanya soal ini atau datang menanyakan? Bagaimana dengan Sutomo Tjokronegoro, Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina sendiri? Apakah mereka sempat tanya lagi?
Oh nggak. Nggak pernah. Nggak pernah disebut-sebut lagi.

Oom ada gambaran tidak laporan ini kemudian perginya ke mana?
No idea!

Jadi sejak itu sehabis Oom kerjakan, that’s the end, buat Oom. Habis perkara buat Oom?
Ya…, iya.

Dipakai untuk pengadilan? Ada punya pandangan, ada pasti atau mungkin digunakan untuk bahan bukti?
Kalau menurut saya sih that’s obvious. Visum et repertum ini tujuannya kan untuk dipakai di pengadilan.

Terima kasih banyak untuk kesempatan bincang-bincang yang Oom berikan ini. Apa boleh kami gunakan materi ini [maksud penulis hasil dan informasi yang didapat dari bincang-bincang dengan beliau tersebut]?
Oh ya. You can use these materials, ya.
Coba tanya nanti Oom Joe Thay lagi. Apa bener dia periksa sedemikian banyak. You can tell him. Menurut perasaan saya, ingatan saya, dia hanya mengerjakan Letnan Pierre Tendean. Mungkin saya salah [tertawa]. Tapi ingetan saya dari dulu sih, Dr. Lim Joe Thay periksa cuma satu [tertawa]. I might be wrong.

Nanti kita lakukan studi banding lagi ya.[29] Bagi saya kesediaan Oom untuk membantu sungguh sudah luar biasa. Sudah sangat bermanfaat sekali bagi kita, begitu. Yang pasti mendapatkan komentar dari orang yang melakukannya.
Saya rasa untuk saat ini sudah cukup dulu, begitu. Mungkin nanti ada perkembangan selanjutnya. Mungkin nanti bisa telepon lagi atau conference call. Terima kasih banyak untuk waktunya. Maaf rencana Oom ke Cleveland [kota di negara bagian Ohio] jadi batal gara-gara hal ini.
[Tertawa] Ayuk dah. Thank you very much.

***

Catatan: Sesuai pernyataan Dr. Liauw, dia tidak melakukan otopsi jenazah Kapten (Anumerta) Pierre Tendean. Dus perlu diperhatikan secara terpisah pernyataan Dr. Lim di majalah D&R bahwa dia tidak menemukan bukti adanya penyiksaan di jenazah Tendean.

———-
[25] Lihat artikel majalah D&R untuk pernyataan ini.
[26] Lihat Memoirs of Indonesian Doctors and Professionals 2, halaman 35. Salah satu bekas murid beliau yang lain, Sutisna Himawan (Thee Kian Hong) menyatakan dia terkena penyakit yang misterius. Di Amerika diperkirakan sesuatu yang seperti collagen disease (penyakit kolagen) tapi tak jelas tipe yang mana. Untuk lebih banyak tentang penyakit ini bisa dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Collagen_disease.
[27] Edisi 6 November, 1965.
[28] Menurut beberapa narasumber yang penulis dapatkan, beliau meninggal 6 Mei, 1969. Lahir tahun 1907 dus berusia 62 tahun saat meninggal [lihat juga Tjien Oei (2010), Memoirs of Indonesian Doctors and Professionals 2. Xlibris Corporation: hal. 35].
[29] Kami sudah rencanakan untuk mewawancarai Dr. Lim Joe Thay secara lebih mendalam. Karena penulis tak dapat ke Jakarta saat itu, dia meminta bantuan rekannya (Stanley Adi Prasetyo) untuk melakukan hal tersebut berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan penulis. Ketika penulis menghubungi Dr. Lim lewat telepon, dia menyatakan bersedia dan silahkan Stanley kontak beliau langsung. Berapa minggu kemudian penulis menerima kabar dari Stanley yang intinya mengatakan bahwa Dr. Lim nampaknya berubah pikiran dan tidak mau melakukan hal itu lagi. Ketika ditelepon Stanley, Dr. Lim terdengar agak bimbang atau cemas. Stanley berpikiran apakah mungkin beliau takut karena ada intimidasi dari pihak tertentu. Hal itu tidak dapat kami selidiki atau pastikan karena sejak itu penulis tidak dapat menghubungi Dr. Lim lagi. Berbagai alasan diterima penulis, antara lain sedang tidur, sedang tidak ada di rumah, sedang sakit, dan lain-lain.

0 komentar:

Posting Komentar