MF MUKTHI | Minggu 20 September 2015 WIB
Separuh abad tinggal di Korea Utara, orang Indonesia ini jadi saksi pasang-surut hubungan kedua negara.
Gatot Wilotikto berbicara dalam acara “International Symposium: Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 19 September 2015.
Foto: MF Mukthi/Historia.
GATOT Wilotikto tak pernah menyangka kepergianya ke Korea Utara (Korut) pada pengujung 1960 bakal lain dari yang dia bayangkan. Meski kemudian berbuah pahit, dia tak pernah menyesalinya. Banyak hikmah dan kenangan manis yang membanggakannya.
Mulanya, pria kelahiran 18 November 1936 itu kuliah di Jurusan Biologi Universitas Padjajaran, Bandung. Gatot dan seorang temannya terpilih untuk kuliah di Pyongyang atas undangan Liga Pemuda Korea. Dengan sponsor Badan Kesejahteraan Mahasiswa Indonesia, keduanya bertolak pada 11 November 1960.
Perjalanan ke Korut tak mudah. Minimnya hubungan diplomatik negeri itu dengan negara lain membuatnya tak punya akses penerbangan langsung dengan banyak negara. Korut dan Indonesia juga belum membuka hubungan diplomatik, dan hanya membuka kantor perwakilan dagang di Jalan Cimandiri Jakarta. Waktu berangkat, dia hanya berbekal paspor Tiongkok.
“Penerbangan kami mesti melintasi negara-negara sosialis,” ujar Gatot saat menjadi pembicara dalam acara “International Symposium: Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 19 September 2015.
Sepekan dalam perjalanan, Gatot akhirnya tiba di Pyongyang tepat di hari ulang tahunnya. Di Pyongyang dia mengambil Jurusan Tenaga Listrik di Institute Technology Kim Chaik. Korut waktu itu sudah mandiri.
“Pada saat saya datang di Korea Utara itu tingkat kehidupannya jauh lebih baik daripada Korea Selatan. Keadaannya memang demikian,” katanya, menjelaskan cepatnya kebangkitan Korut tak lama setelah perang saudara. Kemajuan itu berkat bantuan negara-negara sosialis-komunis seperti Jerman Timur, Cekoslowakia, Tiongkok, dan Uni Soviet.
Gatot harus sering mondar-mandir Pyongyang-Peking untuk memperpanjang paspor. Hal itu justru memberi berkah baginya. Pada 1961, Kedubes RI di Peking mengundang dia dan temannya untuk ikut menyambut kunjungan Presiden Sukarno.
“Kami berkesempatan untuk bertemu empat mata dengan Bung Karno. Itu kebanggaan. Bung Karno orangnya sangat menghargai,” ujarnya kepada Historia.
Menurut Gatot, delegasi Korut juga datang menemui Sukarno di Peking. Hasil pertemuan itu adalah komunike bersama tentang pembukaan hubungan diplomatik setingkat konsulat jenderal antara kedua negara.
Pada Oktober 1961, Delegasi Kebudayaan di bawah pimpinan Direktur Hubungan Budaya Luar Negeri Mulwanto tiba di Pyongyang. Kunjungan itu menandai kunjungan resmi pertama Indonesia di Korut. Gatot dipercaya menjadi perwakilan pemerintah Indonesia. Karena kedatangan delegasi itu hampir bersamaan dengan Hari Sumpah Pemuda, Gatot mengusulkan kepada Liga Pemuda Demokrasi Korea untuk menyelenggarakan peringatan Sumpah Pemuda di Pyongyang. Gayung bersambut.
“Sehingga (peringatan, red.) itu dilakukan oleh Liga Pemuda Demokrasi, dan kita undang beberapa delegasi mahasiswa asing yang ada di Korut,” kata Gatot.
Kebanggaan Gatot berikutnya ketika Dubes keliling Indonesia Supeni berkunjung ke Tiongkok untuk mempromosikan Ganefo (The Games of the New Emerging Forces). Supeni juga berkunjungan ke Pyongyang untuk menghadiri ulangtahun Korut ke-15. Delegasi Indonesia untuk kali pertama bertemu perwakilan Korut. Gatot menjadi penerjemah Supeni.
Kepadanya, Supeni memerintahkan agar membujuk Korut untuk mengirimkan atlet-atletnya ke Ganefo. Korut tak langsung mengiyakan.
“Buat mereka unifikasi juga penting, persatuan Korea penting buat mereka. Jadi mereka masih ragu,” kata Gatot. Baru setelah Supeni mengatakan Indonesia akan langsung membuka kantor perwakilan diplomatik di Pyongyang begitu Korut ikut Ganefo, Korut mengiyakan permintaan Indonesia. Dua hari setelah informasi Gatot itu, Korut secara resmi mengumumkan keikutsertaannya dalam Ganefo.
Kunjungan Sukarno ke Pyongyang pada 1-4 November 1964 menjadi penanda hubungan baik kedua negara secara resmi.
“Waktu Bung Karno datang, semua rakyat Korea Utara diwajibkan menyanyi lagu Sukarno. Lagu itu masih diingat betul orang Korea berusia 50 tahun ke atas. Mereka sangat mengagumi Sukarno,” kenang Gatot.
Sukarno sedang getol menggelorakan konsepsinya mengenai tata dunia baru. Korut menjadi salah satu negara yang dipandangnya sehaluan untuk membangun New Emerging Forces (Nefos) dan menghancurkan Old Establishing Forces (Oldefos).
“Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, Sukarno mengumumkan poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang antiimperialis,” tulis MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Simbiosis mutualisme kedua negara makin menguat. Sukarno butuh dukungan politik Korut, sementara Korut butuh Indonesia menjadi penghubung dengan dunia luar.
Setelah kunjungan Sukarno, banyak tokoh Indonesia mengunjungi Korut. Di antaranya Arudji Kartawinata dan Chairul Saleh. Kedatangan Chairul terjadi beberapa saat sebelum Prahara 1965. Menurut Gatot, di Pyongyang dia tak sekali pun membahas panasnya suhu politik di Jakarta.
“Malahan dia hanya dansa di sana,” kenangnya. Saat Chairul pulang ke Indonesia, Prahara 1965 sudah pecah; Chairul ditahan dan meninggal dalam tahanan.
Meski beberapa perwakilan pemerintah Indonesia, mulai Adam Malik hingga Harmoko, tetap mengunjungi Korut setelah prahara 1965, hubungan kedua negara tak seharmonis masa Sukarno. Indonesia terkesan meremehkan Korut. Hubungan diplomatik pun bergeser kepada hubungan ekonomi.
“Tidak ada maknanya bila dihitung dari segi ekonomi. Hubungan kita adalah politik. Itu yang menjadi poin penting,” kata Gatot.
Sebaliknya, Korut tetap menaruh hormat pada Indonesia. Mendiang Kim Il Sung bahkan berpesan kepada utusan khusus Presiden Soeharto, yang datang ke Pyongyang untuk mengundang Korut dalam KTT APEC di Jakarta, agar KTT dibarengi dengan peringatan 40 tahun Konferensi Bandung.
Menurut Gatot, orang Korut tak tahu banyak mengenai Prahara 1965.
Perubahan sikap Indonesia pascapergantian rezim ikut menentukan nasib orang-orang Indonesia di Korut. Gatot, yang sejak lulus bekerja sebagai peneliti di almamaternya, harus kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Puluhan tahun dia stateless. Kewarganegaraanya baru diakui pada masa pemerintahan Gus Dur. Setelah pensiun, dia sempat menjadi penerjemah honorer kemudian resmi di KBRI di Pyongyang. Mulai tahun 2011 menetap kembali di Indonesia setelah 51 tahun tinggal di Korut.
Diskriminasi tetap menghinggapinya. “Saya pulang tanpa visa,” ujarnya. Menurutnya, kewarganegaraan Indonesianya tetap masih sebatas pengakuan lisan. Usahanya mengurus surat-surat di kantor imigrasi tetap belum berhasil. Negara hanya mengakui status kewarganegaraan Gatot telah diputihkan –hal yang membuatnya bingung karena tak pernah tahu kapan statusnya dihitamkan.
“Saya merasa di negeri sendiri seperti di negeri orang,” pungkasnya.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar