Vega Probo, CNN Indonesia |
Rabu, 30/09/2015 20:25 WIB
Putu Oka Sukanta, salah satu
seniman veteran Lekra. (CNNIndonesia/Utami)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di antara sederet pembahasan
tentang Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, boleh dikatakan film dokumenter
bertajuk Cidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas (2010), yang paling
emosional.
Lekra adalah organisasi bentukan Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 17 Agustus 1950, untuk menaungi kalangan seniman. Memasuki era Orde Baru, seniman anggota Lekra diberangus tanpa ampun.
Lekra adalah organisasi bentukan Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 17 Agustus 1950, untuk menaungi kalangan seniman. Memasuki era Orde Baru, seniman anggota Lekra diberangus tanpa ampun.
Namun siapa juga yang bisa membendung gagasan, pemikiran
dan hasil karya seniman? Di antara segelintir veteran Lekra yang masih aktif
hingga kini, Putu Oka Sukanta adalah salah satunya.
Pertemuan pegiat seni M. Abduh Aziz, yang pernah menjabat sebagai Ketua Koalisi Seni Indonesia, dengan Putu Oka mengerucutkan gagasan untuk membuat film dokumenter.
Bersama sutradara Lasja Fauzia Susatyo, Abduh menggarap film dokumenter Cidurian 19 yang tak mengurai kronologi Lekra, melainkan kisah emosional para veterannya yang luput dari pemaparan sejarah.
Di film dokumenter itu, beberapa veteran mengurai pengalamannya berkesenian dan bergabung dengan Lekra di usia muda, termasuk kegiatan di kantor sekretariat di Jalan Cidurian 19, Menteng, Jakarta.
Pertemuan pegiat seni M. Abduh Aziz, yang pernah menjabat sebagai Ketua Koalisi Seni Indonesia, dengan Putu Oka mengerucutkan gagasan untuk membuat film dokumenter.
Bersama sutradara Lasja Fauzia Susatyo, Abduh menggarap film dokumenter Cidurian 19 yang tak mengurai kronologi Lekra, melainkan kisah emosional para veterannya yang luput dari pemaparan sejarah.
Di film dokumenter itu, beberapa veteran mengurai pengalamannya berkesenian dan bergabung dengan Lekra di usia muda, termasuk kegiatan di kantor sekretariat di Jalan Cidurian 19, Menteng, Jakarta.
“Tugas film bukan semata memaparkan sejarah,” kata Abduh saat dihubungi CNN Indonesia via sambungan telepon, pada Rabu (30/9). “Film juga memuat emosi dan impresi.”Dalam film dokumenter Cidurian 19, bagian dramatis dari tragedi era 1965, khususnya yang menimpa kalangan seniman, diutarakan dari sisi berbeda, dalam suasana haru biru yang sarat emosi.
Sementara bagi Lasja, penting untuk membuat film dokumenter yang komunikatif. Ia berharap, masyarakat mengenal veteran Lekra dalam lewat Cidurian 19 sebagai seniman yang punya niat mulia.
“Situasinya kala itu—1965—sangat berbeda, dan kondisinya pun sulit, namun para seniman sanggup bekerja luar biasa dengan bakat mereka yang spesial,” kata Lasja saat dihubungi CNN Indonesia via sambungan telepon, pada Selasa (28/9).Pertemuan dengan veteran Lekra sepanjang menggarap film dokumenter ini membuahkan kekaguman tersendiri bagi Abduh, terutama kecerdasan dan ketajaman daya ingat mereka.
Abduh sendiri mengagumi sastra karya Pramoedya Ananta Toer. Sang sastrawan tak hanya kritis dan piawai menangkap semangat zaman, ia mumpuni menggunakan medium sastra sebagai narasi sejarah.
Tak berbeda dengan Abduh, Lasja pun mengagumi eksistensi veteran Lekra, “Sekalipun kesehatan menurun di usia lanjut, namun semangat berkreasi masih berapi-api.”Lasja berharap, film dokumenter Cidurian 19 menjadi karya yang mampu menebar pengaruh positif bagi banyak pihak, baik sineas, veteran Lekra, pemerintah, dan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar