29.09.2015
Menjelang berlangsungnya IPT 1965 di Den Haag, muncul berbagai argumen
yang membenarkan pembunuhan serta kekejaman terhadap mereka yang dituduh
PKI pada 1965-67. Oleh: Soe Tjen Marching
Salah satu argumen yang paling populer adalah: “Bila PKI tidak diberantas, maka kamilah yang binasa”. Lihatlah apa yang terjadi di Rusia selama pemerintahan Stalin dan Kamboja selama pemerintahan Pol Pot. Mereka adalah penguasa komunis yang telah menewaskan jutaan orang di Negeri mereka sendiri! Apakah Anda mau Indonesia menjadi seperti itu - diperintah oleh orang-orang seperti Stalin atau Pol Pot? Pembunuhan massal ini diperlukan untuk menyelamatkan bangsa Indonesia, mereka menambahkan.
Sayang, mereka tidak menyadari bahwa argumen seperti ini telah banyak digunakan oleh berbagai diktator di seluruh dunia untuk membenarkan kampanye pembunuhan massal mereka.
Pol Pot selama hidupnya menyatakan beberapa kali: "Saya ingin kalian mengetahui bahwa semua yang saya lakukan, adalah untuk Bangsa dan Negara." Dan apa yang Pol Pot lakukan, tepatnya? Ia melaksanakan pemberantasan berdarah untuk menyingkirkan orang-orang yang menentangnya dengan memenjarakan atau langsung membunuh siapa pun yang dicurigai berkhianat.
Argumen yang berdasarkan nasionalisme juga didengungkan oleh Stalin ketika ia melaksanakan pembunuhan massal di Ukraina selama tahun 1932-1933, dengan membiarkan orang-oran mati kelaparan. Orang-orang Ukraina menuntut untuk mandiri dari Soviet, tapi Stalin tidak rela melepaskan daerah dengan tanah yang begitu subur itu, sehingga ia mengambil hasil panen dari Ukraina dengan paksa. Jutaan orang meninggal karena kelaparan dan Stalin menyatakan orang-orang Ukraina sebagai "musuh rakyat."
Jadi, genosida terbesar pemimpin Soviet pada awalnya tidak ada hubungannya dengan ideologi komunis. Genosida itu dilancarkan demi perebutan wilayah dan kekuasaan. Orang-orang Ukraina bahkan telah berjuang untuk kemerdekaan mereka sejak zaman para Tsar Russia, jauh sebelum Partai Komunis mengambil alih pemerintahan negeri itu. Jadi, Stalin bisa dibilang hanya melanjutkan wilayah yang dipertahankan oleh jaman Kerajaan Russia. Stalin bahkan tidak segan-segan untuk menghancurkan partai komunis di Ukraina dan organisasi komunis lain yang mengritiknya.
Pol Pot, Stalin dan Suharto sama-sama kejam
Baik Pol Pot, Stalin maupun Suharto, menggunakan alasan serupa: memberantas musuh-musuh mereka, demi menyelamatkan bangsa dan Negara. Rasa patriotisme dan nasionalisme menjadi senjata para diktator untuk mengklaim hak mereka dalam melakukan apa saja. Itu sebabnya tidak ada gunanya untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika Indonesia diperintah oleh orang seperti Pol Pot. Jika Anda melihat otoritarianisme dan berbagai pembunuhan massal yang terjadi, negeri ini sebenarnya sudah diperintah oleh seorang yang jauh lebih buruk daripada Pol Pot, karena Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaannya jauh lebih lama dari diktator Kamboja (yang hanya berkuasa kurang dari tahun tiga tahun, dari 25 Oktober 1976 sampai 7 Januari 1979). Bahkan sekarang pun, antek-antek Soeharto masih berkuasa di Indonesia.
Sekarang, perkenankan saya bercerita tentang pertemuan saya dengan warga Kamboja di awal 1990-an yang menyatakan bahwa Pol Pot bukanlah pembunuh massal tetapi seorang patriot besar yang mencintai negaranya. Warga Kamboja ini menekankan: "Jika Pol Pot tidak menghukum kaum kapitalis, kita pasti sudah hancur karena orang seperti Presiden Anda, Soeharto!"
Tentu saja, Pol Pot bisa dengan mudah menggunakan kasus di Indonesia untuk membenarkan genosida berdarah atas instruksinya: "Lihatlah apa yang terjadi pada para komunis di Indonesia, ini bisa terjadi pada kita, jika kita tidak membasmi orang-orang yang menentang komunisme!"
Jika Anda mendukung genosida komunis di Indonesia karena alasan ini, berarti dengan tidak langsung, Anda juga membenarkan pembunuhan massal di mana saja. Bagaimana Anda bisa begitu pasti bahwa membunuh seseorang adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidup Anda?
Dan bagaimana orang bisa yakin bahwa jika komunisme tidak diberantas di Indonesia, PKI akan berkuasa? Partai Nasional Indonesia (PNI) mungkin saja masih berkuasa jika Soeharto tidak mengambil alih. Kemungkinan lain adalah Masyumi, Partai berbasis Islam, akan menang dalam Pemilu selanjutnya.
Karena partai ini adalah pemenang kedua (setelah PNI) dalam pemilihan terakhir sebelum rezim Orde Baru. PKI berada dalam urutan keempat pada Pemilu terakhir semasa Sukarno. Dan juga ada kemungkinan terbentuk koalisi, karena Sukarno seringkali mendengungkan konsepnya tentang persatuan nasionalisme, komunisme dan agama.
Tentu saja, ada banyak sekali kemungkinan, tetapi retorika "membunuh atau dibunuh" telah membuat mustahil bagi orang untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain ini.
Propaganda licik
Banyak orang juga gagal untuk memahami bahwa jika komunis di Indonesia benar-benar siap dengan pemberontakan, mengapa begitu mudah untuk membunuh mereka secara massal? Jutaan orang dibantai dengan darah dingin, dikubur hidup-hidup, dipenjara, disiksa dan diperkosa hampir tanpa ada yang perlawanan serius dari para korban ini.
PKI adalah salah satu partai komunis terbesar di dunia pada tahun 1960, dengan sekitar tiga juta anggota. Jika jutaan manusia ini benar-benar bersenjata dan siap untuk memberontak, seperti yang dipropagandakan oleh Soeharto, tidakkah mereka akan melawan pembunuhan besar-besaran anggota mereka? Namun cuci-otak yang disebarkan oleh rezim Orde Baru telah menghambat orang untuk berpikir jernih tentang masalah ini.
Seorang pemimpin Partai Nazi, Hermann Goering, sangat mengerti tentang strategi untuk membuat orang tidak lagi bisa berpikir kritis dan menyetir mereka. Dengan menyebar ketakutan, maka massa bisa digerakkan untuk mendukung pembunuhan massal: "Orang-orang tidak ingin perang, tapi mereka selalu bisa disetir untuk mengikuti kehendak pemimpin mereka. Ini mudah,” Begitu Goering sempat menyatakan: "Yang harus Anda lakukan adalah memberitahu mereka bahwa negeri dan rakyat sedang diserang, dan mencela para pencinta damai karena kurangnya jiga patriotisme mereka karena tidak bersedia bertindak saat negara dalam bahaya. "
Banyak orang Indonesia telah jatuh ke dalam perangkap ini pada tahun 1965 dan masih belum bebas dari propaganda licik itu hingga kini.
http://www.dw.com/id/kalau-pki-tidak-diberantas-kitalah-yang-binasa/a-18749872
0 komentar:
Posting Komentar