Selasa, 29 September 2015

Peristiwa 1965/1966 dan Kita

29 Sept 2015 
Penulis: Hendra Pasuhuk*

Di bawah kekuasaan otoriter Suharto pada sebuah era yang disebut Orde Baru, berbicara mengenai peristiwa pembantaian 1965/1966 bisa berakibat seseorang dijebloskan ke penjara. Oleh Hendra Pasuhuk.  

 
Ada masanya ketika hanya satu versi cerita tentang tahun 1965/1966 yang boleh diceritakan kepada publik di Indonesia. Siapa yang melanggar prinsip itu, akan berhadapan dengan tentara, para intel dan kemungkinan besar para interogator aparat keamanan yang sudah dilatih untuk menyiksa dan mematahkan "perlawanan" tawanannya.

Sekarang, 50 tahun setelah peristiwa hitam dan gelap dalam sejarah kemanusiaan dan perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia itu, terbuka ruang untuk membicarakannya.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan..?

Kita, pertama-tama adalah kami, DW Indonesia. Sebagai media Jerman yang berbahasa Indonesia, DW tentu tak lepas dari "latar belakang Jerman"-nya. Di negara ini juga pernah terjadi kejahatan kemanusiaan yang begitu mengerikan. Sekarang, di sekolah-sekolah kejahatan rejim Nazi selalu diajarkan dan dipelajari bersama. Setiap pimpinan negara dan pemerintahan Jerman, setiap tahun akan meminta maaf atas kekejian yang dilakukan rejim fasis Jerman saat itu.

Kanselir Jerman saat ini, Angela Merkel, yang secara pribadi tidak terkait dengan kejahatan rejim Nazi, juga menundukkan kepala kepada para korban dan mengulang lagi permohonan maaf resmi dari pemerintah, sambil menegaskan: Hal ini tidak boleh terjadi lagi! Jerman harus dan akan bertanggung jawab untuk itu. 
Itulah salah satu alasan, mengapa DW Indonesia sejak setahun lalu mengangkat tema peristiwa 1965/1966 dalam pemberitaannya. Kejahatan kemanusiaan tidak boleh ditutup-tutupi.

Kita, adalah juga manusia-manusia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Kita yang punya kaitan dekat dengan Peristiwa 1965, karena peristiwa itu begitu dominan membentuk pandangan politik generasi yang lahir setelahnya. 
Pertengahan September, DW Indonesia memuat tulisan berjudul "Membuka Tabir Gelap Sejarah Kita" dari Arif Saifudin Yudistira. Artikel itu hingga tulisan ini dibuat sudah dibaca lebih 12.000 orang. Ketika di posting di Facebook, tulisan itu dibagikan lebih 200 kali dan mendapat lebih 500 tanggapan hari itu juga.

Dengan 700 ribu "fans" di Facebook, pembaca DW Indonesia tentu hanya irisan kecil dari publik Indonesia. Tapi statistik kami dengan jelas menunjukkan adanya ketertarikan kuat publik di Indonesia yang ingin mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi ketika itu.

Tentu saja, pro dan kontra juga sangat banyak. Dan hingga kini, belum ada yang tau pasti, apa yang sebenarnya terjadi pada hari-hari sekitar 30 September 1965. Mungkin saja, semuanya tidak akan pernah terungkap. Di lain pihak, ketakutan dan fobia terhadap tiga huruf P-K-I masih begitu besar di kalangan masyarakat, seperti yang berulangkali terlihat dari reaksi publik di Indonesia.

Memperingati 50 Tahun Peristiwa 1965/1966, kami mengumpulkan sejumlah opini dan tulisan dari berbagai sudut pandang. Bahwa semua tulisan ini bernada kritis terhadap rejim Suharto, adalah bentuk dari upaya mencapai keseimbangan informasi. Sebab selama puluhan tahun, Suharto dan rejimnya hanya mengijinkan suara dan narasi mereka sendiri tentang peristiwa mengerikan ini. Kinilah saatnya suara-suara lain muncul, agar publik bisa menarik kesimpulannya sendiri.
 
http://www.dw.com/id/peristiwa-1965-1966-dan-kita/a-18741913 

0 komentar:

Posting Komentar