Rabu, 30/09/2015 11:10 WIB
Anggota Sekretariat Utama Lekra Oey Hay Djoen yang jadi tahanan politik nomor 001 di Pulau Buru. (Dok.Keluarga)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Membekas di ingatan Jane Luyke saat beberapa tentara
dari Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Timur menjemput suaminya,
Oey Hay Djoen, di kediaman. Kala itu sekitar dua pekan setelah pecah
tragedi Gerakan 30 September 1965, peristiwa penculikan dan pembunuhan
enam jenderal Angkatan Darat.
Pertengahan Oktober 1965, beberapa tentara berseragam itu datang menangkap Oey. "Mereka mengaku dari Kodim Jakarta Timur," kata Jane.
Memang sempat ada perkiraan Oey bakal dituduh terlibat dalam gerakan yang disebut sebagai bentuk percobaan kudeta itu. Pasalnya, selepas peristiwa penculikan jenderal, Partai Komunis Indonesia disebut sebagai dalangnya.
Posisi Oey saat itu sebagai salah satu anggota DPR dari PKI dan petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Meski tak memiliki hubungan struktural, Lekra kerap disebut sebagai organisasi sayap PKI. Selain itu, banyak anggota Lekra juga adalah kader partai pimpinan Dipa Nusantara Aidit itu.
Setelah penjemputan oleh tentara, Jane lalu mencari tahu keberadaan suaminya. Karena tentara mengaku dari Kodim Jakarta Timur, Jane lantas menuju kantor para tentara itu di kawasan Jatinegara untuk mencari tahu keberadaan Oey.
"Di sana suami saya ditahan bersama teman-temannya yang lain, dalam satu
ruangan sempit berdesak-desakan tidur di lantai," kata Jane saat
ditemui CNN Indonesia.
Namun saat itu Oey tak mengeluh. Kepada keluarga Oey menurut Jane juga tak pernah bercerita soal penyiksaan fisik yang diterimanya. Padahal saat membesuk ditahanan, Jane sempat melihat jempol kaki dan tangan suaminya membiru.
"Dari muda dia memang tak pernah cerita soal yang tidak enak," ujar Jane.
Di Kodim Jakarta Timur, Oey tak lama. Ia selanjutnya dipindah ke beberapa, Salemba salah satunya. Pada Agutus 1969, anggota Sekretariat Pusat Lekra itu dipindahkan ke Pulau Buru bersama para tahanan politik lainnya. Ia masuk dalam gelombang pertama tapol yang ditahan di pulau ini.
Di Pulau Buru inilah, Oey mendapat baju dengan nomor urut 001. Soal "nomor punggung" suaminya, Jane mengaku tak tahu penyebabnya.
Di Pulau Buru, Oey ditempatkan di Unit III yang juga dikenal sebagai unit die hard. Unit ini khusus disediakan bagi tahanan politik yang sulit ditaklukan.
Padahal di PKI, Oey menurut Jane bukan masuk dalam jajaran pimpinan.
Ketua Umum PKI saat itu adalah DN Aidit. Sementara Ketua I Commitee
Central adalah Lukman dan Ketua II Commitee Central PKI adalah Nyoto.
Tiga orang ini tak ditahan melainkan langsung ditembak mati.
Oey dilahirkan di Malang, 18 April 1929. Sejak kecil, Oey gemar membaca buku. Oey kecil gemar berkunjung ke toko buku ARC Salim di mana ia mengenal sastra dunia.
Sementara untuk buku-buku politik, Oey mengenalnya di toko buku milik Pak Kliwon, seorang aktivis Serikat Rakyat yang pernah di buang ke Boeven Digul. Pemilik toko buku yang melihat semangat belajar Oey, menawarkan berangkat ke Jogja untuk Oey belajar di Marx House.
Di Marx House inilah Oey banyak belajar soal paham sosialis. Ia berdikusi langsung dengan tokoh-tokoh saat itu seperti Alimin, Amir Syarifuddin dan Sjahrir.
Kembali ke Malang, Oey ikut bergerilya memerangi Belanda. Tugasnya saat itu memasok logistik untuk para pejuang.
Oey selanjutnya pindah ke Surabaya. Di sinilah saat mengurus percetakan Sin Tit Po, Oey kenal dengan Nyoto, salah satu tokoh partai komunis.
Ia sempat menjadi pengusaha dalam bidang distribusi tembakau dan menjadi Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Nasional (Gaperon). Jane mengatakan, saat menjadi Ketua Gaperon inilah ia ditawari untuk menjadi anggota DPR dari Fraksi PKI.
Tahun 1958 memboyong Jane dan anaknya Mado dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi wakil rakyat. Di Jakarta, Oey juga aktif di Lekra. Maklum sejak kecil, Oey memang menyukai seni. Dari mulai fotografi hingga menulis puisi dan cerpen.
Di Lekra, Oey Tak hanya sekadar aktif. Ia terjun total bersama Nyoto untuk membesarkan lembaga ini. Saking totalnya Oey juga merelakan rumahnya di Jalan Cidurian, Menteng, Jakarta Pusat untuk menjadi markas Lekra.
Jane menuturkan, saat itu ia seperti tak punya privasi di rumahnya
sendiri. Setiap hari, tak mengenal waktu tamu selalu datang. Bukan hanya
seniman Lekra dan orang-orang PKI, beberapa anggota organisasi yang
dekat dengan PKI seperti Gerakan Wanita Indonesia, Pemuda Rakyat, dan
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia juga kerap singgah di sini.
Meski sedikit merasa terganggu karena harus berbagi rumah dengan banyak orang, Jane akhirnya bisa menerima. Oey sejak muda memang punya jiwa sosial yang tinggi. Selalu memberi tanpa mengharapkan pamrih.
"Kalau ada orang main ke rumah, bilang buku dia (Oey) bagus, langsung ditawarkan 'Mau buku ini, kalau mau ambil saja'," kata Jane.
Rumah tersebut akhirnya ditinggalkan keluarga Oey dan benar-benar menjadi markas Lekra. Oey kemudian mengajak Jane dan Mado pindah rumah ke kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.
Tuduhan terlibat G30S membuat Oey harus dipenjara selama 14 tahun, paling lama di Pulau Buru. Ia baru dibebaskan pada pembebasan massal tahun 1979. "Dibebaskan paling terakhir bersama Pram (Pramoedya Ananta Toer), Hasjim Rachman, Tumiso dan Edi Abdurahman," kata Jane.
Namun Oey cs ternyata tak langsung bebas. Dari Pulau Buru kapal mereka sandar di Surabaya dan tidak melanjutkan ke Tanjung Priok. Di Surabaya mereka diculik lagi dan dibawa ke Magelang.
Selama sebulan ia ditahan lagi di Magelang sebelum dibawa pulang melalui Tanjung Priok dan dibebaskan melalui Kodim Jakarta Timur.
Setelah bebas, Oey memulai hidupnya lagi dari nol. Usaha distribusi cengkeh sudah lama ia tinggalkan. Status pernah jadi anggota DPR seakan tak diakui sehingga tak mendapat uang pensiun.
"Tapi memang pada dasarnya dia itu tak bisa diam, dia cari uang dengan menjual bahan bangunan," kata Jane.
Oey berkeliling menawarkan batu bata, pasir dan bahan bangunan lainnya ke proyek-proyek bangunan. Ada kalanya ia menerima order pembuatan tas kecil untuk keperluan tentara.
Oey juga memanfaatkan kemampuannya berbahasa Belanda dan Inggris untuk menerjemahkan buku dan naskah asing. "Saat itu yang penting ada makan untuk keluarga," kata Jane.
Perlahan namun pasti, kehidupan mulai membaik. Order untuk menerjemahkan terus datang. Selain itu, mulai ada tawaran untuk bekerja di sebuah penerbitan. Pulang dari Pulau Buru, Oey harus tetap lapor ke Koramil setempat setiap bulan. Ia juga harus lapor jika ingin berpergian ke luar kota.
Meski dalam masa pengawasan militer itu, tak lantas membuatnya takut. Di rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur, ia kerap kedatangan para aktivis muda untuk sekadar berdikusi dan berbagi pengalaman.
"Di rumah ini tak telat makanan, meja makan selalu tersedia meja makan kalau sewaktu-waktu ada aktivis yang datang," kata Jane.
Gaya penyampaian Oey menurut Jane sangat disukai para aktivis muda. Jika Oey sudah bercerita, para aktivis hanya bisa terdiam mendengarkan. Saat bertemu para aktivis ini pula, kata Jane, Oey banyak bercerita soal G30S yang selama masa orde baru selalu dituduhkan pada PKI.
Oey sudah dianggap sebagai bapak, guru sekaligus teman diskusi yang mengasyikan bagi para aktivis muda. Menurut Jane kadang ada aktivis yang kekurangan uang meminta bantuan Oey.
Bukan hanya aktivis muda yang kerap mampir makan di rumah Oey, Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga kerap datang ke rumah Oey. Ia dan Gus Dur, kata Jane saling mengagumi melalui tulisan masing-masing.
"Bapak itu bisa membaca karakter orang dari tulisannya, ia juga sangat ahli menganalisis,” kata Mado, putri tunggal Oey.
Oey Hay Djoen meninggal dunia pada 18 April 2008 pada usia 79 tahun. Semangat mudanya masih terus menyala meski tubuhnya sudah ditopang tongkat bahkan di kursi roda saat itu. Ini cerita soal Oey: tahanan politik 001. (sur/sip)
Pertengahan Oktober 1965, beberapa tentara berseragam itu datang menangkap Oey. "Mereka mengaku dari Kodim Jakarta Timur," kata Jane.
Memang sempat ada perkiraan Oey bakal dituduh terlibat dalam gerakan yang disebut sebagai bentuk percobaan kudeta itu. Pasalnya, selepas peristiwa penculikan jenderal, Partai Komunis Indonesia disebut sebagai dalangnya.
Posisi Oey saat itu sebagai salah satu anggota DPR dari PKI dan petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Meski tak memiliki hubungan struktural, Lekra kerap disebut sebagai organisasi sayap PKI. Selain itu, banyak anggota Lekra juga adalah kader partai pimpinan Dipa Nusantara Aidit itu.
Setelah penjemputan oleh tentara, Jane lalu mencari tahu keberadaan suaminya. Karena tentara mengaku dari Kodim Jakarta Timur, Jane lantas menuju kantor para tentara itu di kawasan Jatinegara untuk mencari tahu keberadaan Oey.
|
Namun saat itu Oey tak mengeluh. Kepada keluarga Oey menurut Jane juga tak pernah bercerita soal penyiksaan fisik yang diterimanya. Padahal saat membesuk ditahanan, Jane sempat melihat jempol kaki dan tangan suaminya membiru.
"Dari muda dia memang tak pernah cerita soal yang tidak enak," ujar Jane.
Di Kodim Jakarta Timur, Oey tak lama. Ia selanjutnya dipindah ke beberapa, Salemba salah satunya. Pada Agutus 1969, anggota Sekretariat Pusat Lekra itu dipindahkan ke Pulau Buru bersama para tahanan politik lainnya. Ia masuk dalam gelombang pertama tapol yang ditahan di pulau ini.
Di Pulau Buru inilah, Oey mendapat baju dengan nomor urut 001. Soal "nomor punggung" suaminya, Jane mengaku tak tahu penyebabnya.
Di Pulau Buru, Oey ditempatkan di Unit III yang juga dikenal sebagai unit die hard. Unit ini khusus disediakan bagi tahanan politik yang sulit ditaklukan.
|
Oey dilahirkan di Malang, 18 April 1929. Sejak kecil, Oey gemar membaca buku. Oey kecil gemar berkunjung ke toko buku ARC Salim di mana ia mengenal sastra dunia.
Sementara untuk buku-buku politik, Oey mengenalnya di toko buku milik Pak Kliwon, seorang aktivis Serikat Rakyat yang pernah di buang ke Boeven Digul. Pemilik toko buku yang melihat semangat belajar Oey, menawarkan berangkat ke Jogja untuk Oey belajar di Marx House.
Di Marx House inilah Oey banyak belajar soal paham sosialis. Ia berdikusi langsung dengan tokoh-tokoh saat itu seperti Alimin, Amir Syarifuddin dan Sjahrir.
Kembali ke Malang, Oey ikut bergerilya memerangi Belanda. Tugasnya saat itu memasok logistik untuk para pejuang.
Oey selanjutnya pindah ke Surabaya. Di sinilah saat mengurus percetakan Sin Tit Po, Oey kenal dengan Nyoto, salah satu tokoh partai komunis.
Ia sempat menjadi pengusaha dalam bidang distribusi tembakau dan menjadi Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Nasional (Gaperon). Jane mengatakan, saat menjadi Ketua Gaperon inilah ia ditawari untuk menjadi anggota DPR dari Fraksi PKI.
Tahun 1958 memboyong Jane dan anaknya Mado dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi wakil rakyat. Di Jakarta, Oey juga aktif di Lekra. Maklum sejak kecil, Oey memang menyukai seni. Dari mulai fotografi hingga menulis puisi dan cerpen.
Di Lekra, Oey Tak hanya sekadar aktif. Ia terjun total bersama Nyoto untuk membesarkan lembaga ini. Saking totalnya Oey juga merelakan rumahnya di Jalan Cidurian, Menteng, Jakarta Pusat untuk menjadi markas Lekra.
|
Meski sedikit merasa terganggu karena harus berbagi rumah dengan banyak orang, Jane akhirnya bisa menerima. Oey sejak muda memang punya jiwa sosial yang tinggi. Selalu memberi tanpa mengharapkan pamrih.
"Kalau ada orang main ke rumah, bilang buku dia (Oey) bagus, langsung ditawarkan 'Mau buku ini, kalau mau ambil saja'," kata Jane.
Rumah tersebut akhirnya ditinggalkan keluarga Oey dan benar-benar menjadi markas Lekra. Oey kemudian mengajak Jane dan Mado pindah rumah ke kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.
Tuduhan terlibat G30S membuat Oey harus dipenjara selama 14 tahun, paling lama di Pulau Buru. Ia baru dibebaskan pada pembebasan massal tahun 1979. "Dibebaskan paling terakhir bersama Pram (Pramoedya Ananta Toer), Hasjim Rachman, Tumiso dan Edi Abdurahman," kata Jane.
Namun Oey cs ternyata tak langsung bebas. Dari Pulau Buru kapal mereka sandar di Surabaya dan tidak melanjutkan ke Tanjung Priok. Di Surabaya mereka diculik lagi dan dibawa ke Magelang.
Selama sebulan ia ditahan lagi di Magelang sebelum dibawa pulang melalui Tanjung Priok dan dibebaskan melalui Kodim Jakarta Timur.
Setelah bebas, Oey memulai hidupnya lagi dari nol. Usaha distribusi cengkeh sudah lama ia tinggalkan. Status pernah jadi anggota DPR seakan tak diakui sehingga tak mendapat uang pensiun.
"Tapi memang pada dasarnya dia itu tak bisa diam, dia cari uang dengan menjual bahan bangunan," kata Jane.
Oey berkeliling menawarkan batu bata, pasir dan bahan bangunan lainnya ke proyek-proyek bangunan. Ada kalanya ia menerima order pembuatan tas kecil untuk keperluan tentara.
Oey juga memanfaatkan kemampuannya berbahasa Belanda dan Inggris untuk menerjemahkan buku dan naskah asing. "Saat itu yang penting ada makan untuk keluarga," kata Jane.
Perlahan namun pasti, kehidupan mulai membaik. Order untuk menerjemahkan terus datang. Selain itu, mulai ada tawaran untuk bekerja di sebuah penerbitan. Pulang dari Pulau Buru, Oey harus tetap lapor ke Koramil setempat setiap bulan. Ia juga harus lapor jika ingin berpergian ke luar kota.
Meski dalam masa pengawasan militer itu, tak lantas membuatnya takut. Di rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur, ia kerap kedatangan para aktivis muda untuk sekadar berdikusi dan berbagi pengalaman.
"Di rumah ini tak telat makanan, meja makan selalu tersedia meja makan kalau sewaktu-waktu ada aktivis yang datang," kata Jane.
Gaya penyampaian Oey menurut Jane sangat disukai para aktivis muda. Jika Oey sudah bercerita, para aktivis hanya bisa terdiam mendengarkan. Saat bertemu para aktivis ini pula, kata Jane, Oey banyak bercerita soal G30S yang selama masa orde baru selalu dituduhkan pada PKI.
Oey sudah dianggap sebagai bapak, guru sekaligus teman diskusi yang mengasyikan bagi para aktivis muda. Menurut Jane kadang ada aktivis yang kekurangan uang meminta bantuan Oey.
Bukan hanya aktivis muda yang kerap mampir makan di rumah Oey, Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga kerap datang ke rumah Oey. Ia dan Gus Dur, kata Jane saling mengagumi melalui tulisan masing-masing.
"Bapak itu bisa membaca karakter orang dari tulisannya, ia juga sangat ahli menganalisis,” kata Mado, putri tunggal Oey.
Oey Hay Djoen meninggal dunia pada 18 April 2008 pada usia 79 tahun. Semangat mudanya masih terus menyala meski tubuhnya sudah ditopang tongkat bahkan di kursi roda saat itu. Ini cerita soal Oey: tahanan politik 001. (sur/sip)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150929175436-20-81654/oey-hay-djoen-cerita-soal-tahanan-politik-001/
0 komentar:
Posting Komentar