Selasa, 29 September 2015

Bapa Saya Korban Tragedi 1965


29 September 2015, 13:54  - PETRUS PIT SUPARDI


“Saya ditangkap dan dibawa ke dalam sel. Saya tidak tahu mengapa saya ditangkap. Kemudian, baru saya tahu, bahwa saya dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, saya bukan anggota PKI. Saya pernah diminta meniup suling dalam pesta budaya yang digelar oleh PKI. Karena alasan itulah saya ditangkap. Syukur, saya masuk golongan C sehingga masih selamat. Meskipun banyak teman-teman saya satu sel yang mati,” kisah bapa Karolus Kowan Jilung, setiap kali mengenang peristiwa memilukan yang dialaminya tahun 1965 silam.
Bapa Karolus Kowan Jilung, lahir di kampung Romanduru, Maumere, Nusa Tenggara Timur, 28 Desember 1928. Beliau sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 3 Sekolah Rakyat (SR) di kampung Romanduru.
 “Dulu kami sekolah pakai batu tulis. Setelah pelajaran kami hapus. Makanya, kami belajar untuk hafal pelajaran,” tuturnya.
Setelah kelas 3 SR, ia tidak meneruskan pendidikan karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah lanjutan di Maumere. Karolus kecil mengambil keputusan untuk merantau. Ia berpetualang mengikuti para misionaris sampai di Surabaya dan tanah Jawa.

Itulah alasan mengapa kami anak-anaknya diberi nama seperti orang Jawa. Kakak saya, Simon Subandi, Cecilia Suharti, Maria Sumerni, Yosep Sujono, saya, Petrus Pit Supardi, adik saya Wilhelmina Suwisno dan si bungsu Hendrikus Sukaryo.

Padahal, nama keluar kami adalah Jilung. Saya pernah bertanya mengapa kami diberi nama-nama Jawa. Ia menjawab bahwa dirinya mengagumi orang Jawa yang sopan dan ulet bekerja. Tetapi, ia bercerita bahwa kalau orang Surabaya bicaranya agak kasar. Dirinya lebih tertarik pada orang Jawa. Ia suka bicara bahasa Jawa yang paling halus. Saya kagum padanya.

Setelah merantau ke Surabaya dan Jawa, ia pergi ke Bima, tepatnya di Dompu. Di sana, ia bekerja dengan orang Cina di perusahaan permen karet. Ia bekerja dengan tekun dan ulet. Kejujurannya membuat pemilik perusahaan sangat percaya padanya.

Saat itu, Indonesia mengharuskan setiap perusahaan milik orang asing, perlu dialihkan ke orang pribumi. Bapa saya disiapkan untuk memimpin perusahaan permen karet itu.

Rencana itu tidak pernah terwujud. Tanggal 30 September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para jendral TNI AD. Informasi waktu itu, dalangnya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Orang-orang Cina dicurigai ada di balik PKI.
“Bos saya dan keluarganya ditangkap dan tidak pernah kembali. Saya tidak tahu mereka ada di mana. Saya lihat, orang-orang Cina dan anggota PKI ditangkap. Mereka tidak pernah kembali,” tutur Bapa Karolus.
“Saya juga ditangkap karena saya ikut tiup suling saat pesta budaya yang dilaksanakan oleh PKI. Saya tidak tahu apa-apa tentang PKI. Saya hanya diminta meniup suling. Tetapi, saya dicurigai anggota PKI sehingga ditangkap. Waktu itu, saya masuk golongan C, dicurigai sebagai anggota PKI sehingga masuk di sel sempit. Di situ kami makan, minum, tidur, buang air kecil dan besar. Sangat menderita selama berbulan-bulan. Banyak teman-teman saya yang mati karena tidak bertahan. Saya bersyukur masih bisa bertahan,” ungkapnya dengan nada sedih.
Ia menambahkan: “Anggota PKI ditangkap, dibawa ke suatu tempat lalu dibunuh. Mereka tidak pernah kembali. Saya juga tidak tahu di mana mereka dibunuh. Mereka yang dibunuh itu masuk golongan A dan B,” tuturnya.
Kisah memilukan di dalam sel sempit dan kotor itu berakhir, tatkala ada pengumuman di radio bahwa semua tahanan PKI dibebaskan. 
“Kami yang bertahan hidup di dalam sel bebas setelah ada pengumuman di radio. Kami dengar berita itu dari penjaga sel,” ungkapnya.
Setelah kejadian itu, Bapa Karolus pulang ke Romanduru, Maumere. Di sana, ia menikah dengan Mama saya, Veronika Pona. Dari mereka, kami bertujuh lahir dan tumbuh. Kami hanya lahir di Maumere, jiwa petualangannya membawa kami, pada 9 September 1987 kembali merantau ke Merauke, Irian Jaya (sekarang Papua). Saat itu, kami ikut transmigrasi. Di Merauke, kami ditempatkan di sebuah kampung terpencil. Nama kampung itu, Bersehati, Erom I.

Pengalaman tinggal di sel sempit sangat dirasakan Bapa Karolus. Ia selalu bercerita kepada kami, anak-anaknya bahwa dirinya ditangkap tanpa alasan yang jelas.
“Saya bisa tiup suling, makanya diminta untuk bantu tiup suling di pesta budaya, kok malah ditangkap? Apa salah saya?” Tidak ada yang bisa menjawabnya. Kami hanya mendengarkan kisah pilu itu.
Waktu itu, kami masih anak-anak. Kami hanya tahu bahwa PKI itu kejam. Mereka iris-iris dan cungkil mata para jendral di lubang buaya. Kami tahu semua itu dari nonton film G 30 S/PKI. Biasanya setiap tanggal 30 September, orang-orang di kampung kami, berkumpul di rumah keluarga yang ada TV. Di situ malam harinya, kami nonton film G 30 S/PKI yang diputar di TVRI Nasional.

Belakangan, setelah kami dewasa dan kuliah, barulah kami mulai tahu tentang peristiwa 30 September 1965. Ternyata, PKI tidak sekejam yang diceritakan. Film G 30 S/PKI yang diputar dan kami nonton itu rekayasa dari Soeharto.

Saya menuliskan kisah ini berdasarkan cerita dari Bapa Karolus. Memang tidak lengkap menyebutkan tempat dan juga orang Cina bosnya itu. Beliau masih trauma dan tidak berani bercerita lebih mendalam. Saya memakluminya, karena sampai Pemilu tahun 1997, di kampung kami, Bersehati Erom I, setiap warga diwajibkan pilih Golkar. Kalau pilih PDI dianggap PKI. Sesudahnya, mulai ada kebebasan bicara, tetapi Bapa Karolus tidak banyak cerita.

Ia hanya bicara bahwa dirinya mengagumi sosok Soekarno. 
 “Soekarno sangat pintar. Dia pintar pidato,” ungkapnya.
Sedangkan, Soeharto tidak terlalu dikaguminya. Pengalaman di sel sempit di Dompu telah mengubah seluruh hidup Bapa Karolus, dari pribadi periang dan humoris menjadi pribadi pendiam dan tidak banyak bicara.

Saya tidak bisa bertanya lebih banyak lagi kepadanya seputar pengalamannya saat tinggal di sel sempit itu. Beliau sudah pergi menghadap Penciptanya pada 8 Maret 2013 silam. Jasadnya sudah dibenamkan dalam rahim ibu bumi di kampung kami, Bersehati, Erom I pada 10 Maret 2013.

Refleksi

Kisah yang dialami Bapa Karolus, juga dialami jutaan manusia lainnya. Mereka menderita di sel-sel sempit. Ada yang diasingkan ke pulau-pulau kosong. Sebagian lainnya langsung dibunuh tanpa proses apa pun. Bahkan mereka dibenamkan dalam liang lahat tanpa seutas doa mengirinya.

Kisah pilu itu terjadi lima puluh tahun silam. Ironisnya, sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum buka suara soal pembantaian itu.

Pemerintahan Jokowi saat ini juga tidak berniat meminta maaf dan merehabilitasi nama baik para korban. Jerit-tangis jutaan nyawa manusia tidak dihiraukan. Atas nama harga diri bangsa mereka dipenjara, disiksa dan dibunuh secara keji.

Waktu itu, Soeharto bikin tuduhan PKI dalang penculikan dan pembunuhan terhadap para jendral. PKI dianggap mau kudeta. Tuduhan sepihak, tanpa bukti, telah menelan jutaan nyawa manusia. Ironisnya, ada juga lembaga agama yang ikut mendukung bahkan memobilisasi umatnya untuk bunuh para anggota PKI dan keluarganya.

Padahal, sampai saat ini belum ada bukti otentik bahwa PKI terlibat dalam pembunuhan para jendral itu. Apa lagi hendak melakukan kudeta terhadap presiden Soekarno.

Terlepas dari semua argumen, saya hendak mengajak kita semua untuk berefleksi bahwa peristiwa 30 September 1965 merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini harus diusut dan diselesaikan melalui mekanisme yang tepat dan memenuhi rasa keadilan bagi para korban. Apa pun alasannya, negara dalam hal ini pemerintahan presiden Jokowi harus mengambil inisiatif untuk memulai suatu penelitian dan kajian serius tentang peristiwa tersebut. Sesudahnya, perlu ada upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi para korban.

Kisah Bapa Karolus dan refleksi singkat ini, mengantar kita semua untuk merajut kembali serpihan kisah tentang korban kekejaman negara terhadap rakyatnya sendiri. Bukan untuk membangkitkan amarah dan dendam, melainkan untuk membuka ruang-ruang dialog, rekonsiliasi dan saling memaafkan. Saya yakin permintaan maaf yang tulus dari negara adalah jalan menuju rekonsiliasi yang sesungguhnya. Dan rekonsiliasi mendapatkan kepenuhannya tatkala negara merehabilitasi para korban yang telah dibantai dan dikucilkan dalam peristiwa tersebut.

[Abepura, 29 September 2015; pk 08.02 WIT.
Mengenang 50 tahun tragedi kemanusiaan:
30 September 1965 - 30 September 2015]

PETRUS PIT SUPARDI 
Menulis untuk Perubahan
Saya lahir di Ohe, Sikka, Flores, NTT dan besar di Merauke, Papua. Menyelesaikan pendidikan SD-SMA di Merauke. Kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura. Saat ini aktif dalam gerakan pemberdayaan masyarakat kampung bersama program LANDASAN Papua di Kabupaten Asmat.

0 komentar:

Posting Komentar