Rabu, 30 September 2015

G 30 S: Untuk Perwira Tak Simpatik


PETRIK MATANASI - Rabu, 30 September 2015

Beberapa orang pengunjuk rasa dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) kota Bandung berunjukrasa menentang PKI di depan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Senin (31/8). Dalam aksinya DDII menyampaikan aspirasi menentang bahaya laten komunis, menolak kerjasama dengan Tiongkok karena mendatangkan imigran Tiongkok ke tanah air yang akan mengancam tenaga kerja pribumi. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/15

Orang-orang sering bicara kejamnya pasukan Tjakrabirawa yang menculik para jenderal pemimpin Staf Umum Angkatan Darat (SUAD).  Tapi tak pernah bertanya, Mengapa Pasukan Untung Tega Membunuh Yani?

Jelang 30 September 1965, Batalyon II Kawal Kehormatan pimpinan Letnan Kolonel Untung dibariskan dalam sebuah apel. Pasukan Kompi Doel Arif dikumpulkan.  Pasukan yang dikumpulkan tidak banyak tak lebih dari satu kompi. Bahkan hanya sekitar 60 orang saja. Meski begitu, merekalah ujung tombak misi penangkapan. “Dini hari, semua pasukan dikumpulkan. Kira-kira pukul satu dini hari baru ada pemberitahuan dari masing-masing komandan pasukan. Intinya, tugas kami adalah melakukan penangkapan,”  Sersan Kepala Bungkus dalam sebuah wawancara dengan D&R.

Selain karena Untung komandan Tjakrabirawa, menurut Bungkus: “karena lebih taktis, bisa langsung akses ke Istana. Sedangkan pasukan lain bertugas melindungi di garis luar.” Pasukan bergerak dari pukul tiga dinihari, dan harus sudah di Lubang Buaya sebelum pukul enam pagi. Perintah jelas, “tangkap hidup atau mati.” Pasukan itu sukses membawa target yang harus ditangkap. Setelah misi sukses pasukan penculik itu, gerakan Letnan Kolonel Untung mulai berantakan.  Rupanya, tak ada jatah makanan untuk menjaga perut pasukan juga. Logika gerakan pun mandeg setelah logistik tak terpenuhi.

Pasukan yang dibawa Untung untuk gerakannya adalah pasukan yang dipimpin Letnan Satu Dul Arif.  Untung sudah bersama pasukan itu sejak lama, sebelum Untung dan pasukannya itu dimasukan dalam Tjakrabirawa. Dulunya, Untung adalah Komandan Batalyon 454 Banteng Raider Diponegoro yang  bermarkas di Srondol, Semarang.  Pasukan Banteng Raider sendiri didirikan Ahmad Yani ketika operasi penumpasan DI/TII Jawa Tengah, ketika pangkat Yani masih Letnan Kolonel.

Tentu saja pasukan itu sering berubah formasinya. Orang-orang Jawa Timur seperti  Jaharup, Bungkus, dan Dul Arif dari pasukan Anjing Laut pun kemudian masuk. Meski berganti formasi, harusnya ada tradisi lisan soal sejarah pasukan atau sejarah Batalyonnya. Dimana ada cerita soal siapa pendiri pasukan Banteng Raider.  Harusnya, sebagai pendiri Banteng Raider, seharusnya Yani adalah tokoh yang dihormati pasukan eks Batalyon 454 yang ditempatkan di Tjakrabirawa.  Tentara memang bertindak berdasarkan perintah, jika perintahnya hanya menangkap, harusnya pasukan penculik yang  Letnan Jenderal Yani, lebih bisa bersabar menghadapi Yani yang keras pada bawahan.

Tak menutup kemungkinan Yani tergolong perwira tak simpatik bagi banyak prajurit bawahan. Toch, Yani bukan perwira macam M Jusuf—Panglima ABRI era orde baru yang begitu disayang oleh prajurit TNI rendahan. Ketika Yani menempeleng salah anggota Tjakrabirawa yang menangkapnya, Raaswad langsung beri perintah pada Giyadi untuk menembak sang Jenderal. 
Raaswad dan lainnya barangkali sudah tak sabar pada Yani. Apakah pasukan penculik terpengaruh pada isu Dewan Jenderal—julukan bagi sekelompok jenderal yang tidak loyal pada presiden akan yang akan melakukan kudeta pada Sukarno? Hingga mereka tak merasa ragu untuk kejam kepada Yani.

Setelah terbunuhnya para jenderal, awan hitam dan mimpi buruk adalah milik Untung dan pasukannya yang berantakan. Setelah para jenderal tewas, konon Untung hanya membisu. Dia merasa hilang kontrol atas gerakannya. Nampaknya dia tak mengerti hingga kenapa Jenderal yang terbawa hidup-hidup terbunuh semua.
Dalam waktu singkat mereka dihabisi. Pasukan Untung yang dari Tjakrabirawa ditangkapi. Sementara  Dul Arif selaku pemimpin eksekusi terhadap para Jenderal pun hilang. Padahal Dul Arif adalah mata rantai yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di lubang buaya.

Selanjutnya, kemalangan milik Untung . Setelah melompat  dari bus, karena merasa akan ditangkap oleh tentara yang sedang naik bus yang ditumpanginya. Orang-orang yang melihat Untung lompat dari bus mengira Untung copet hingga dia dikejar lalu digebuki hingga babak belur. Hansip lalu ambil alih dan membawa Pahlawan Operasi Mandala itu ke Polisi Militer. Setelah pengadilan, Untung dieksekusi mati. G 30 S pun makin kabur, sudah pasti terus menjadi isu nasional yang membuat Mayor Jenderal Suharto—yang merupakan rival terseblubung Yani—naik bintangnya.

Hingga belakangan, setelah Suharto lengser dari kekuasaan, ada yang menuduh Suharto adalah dalang G 30 S. Pendapat ini meragukan karena sebelum 1965 Suharto yang pernah kena kasus di Jawa Tengah dan konon nyaris ditampar Yani adalah perwira yang jauh dari politik macam Yani. Bintang Yani yang diatas Suharto tentu membuat Suharto tak berani macam-macam.

Dalam Mahkamah Militer Luar Biasa yang mengadili Untung, pernah menyebut bahwasanya alasan ekonomi (baca: kesejahteraan prajurit) juga pernah dibahas ketika Untung dan kawan-kawannya menyusun gerakan.
Barangkali banyak prajurit Angkatan Darat tahu soal Yani yang hidup mewah dan poligami—sementara prajurit bawahan hidup dalam ekonomi yang sulit di masa demokrasi terpimpin.

Diorama di Lubang Buaya begitu gamblang menggambarkan bagaimana pasukan Tjakrabirawa—yang tugas sehari-harinya menjaga keselamatan Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Sukarno—menculik para Jenderal-jenderal Angkatan Darat. Hingga orang-orang terus menyalahkan Tjakrabirawa.

Dan karena ada Syam Kamaruzaman yang dinyatakan sebagai biro khusus PKI—padahal  Biro Khusus  tak ada dalam PKI—yang katanya bertugas membina Perwira Progresif Revolusioner. Hingga jadilah PKI sebagai tersangka, dalang dari peristiwa yang disebut G 30 S—yang kata rezim Orde Baru harus disebut G 30 S/PKI agar orang ingat PKI adalah pelakunya.

0 komentar:

Posting Komentar