“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]
SIMPOSIUM NASIONAL
Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan
Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)
MASS GRAVE
Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..
TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]
Judul Buku : Politik
Tanpa Dokumen
Penulis :
Muhidin M. Dahlan
Tahun :
2018
Penerbit : I:Boekoe
No panggil : 300 Dah D
..”jangan pernah mimpi memanen kejayaan peradaban
(indonesia Jaya 2030) jika tak siap berjalan dalam kesunyian merawat, memupuk,
dan menjaga warisan masa silam dengan segenap kesadaran. Bila tidak, aparat
pemerintah hari ini akan dikutuk generasi berikutnya sebagai kutu bagi buku,
rayap bagi dokumen, dan hama bagi padi yang menghancurkan harapan
“petani-petani peradaban.” (Hlm 16)
Arsip selama ini dipahami sebagai kumpulan kertas usang
dan berdebu tanpa dipahami informasi penting yang terkandung di dalamnya. Arsip
sebagai sumber ingatan atau informasi haruslah dikelola secara serius, tidak
asal-asalan apabila kita tidak mau kehilangan jati diri sebagai bangsa karena
tidak mampu merawat rekaman peristiwa masa lalu.
Dalam esai-esainya pada buku berjudul Politik
Tanpa Dokumen ini, Muhidin sangat jeli dalam menggunakan dan memilih
data sebagai referensinya. Ada banyak sekali koran-koran lama yang dijadikannya
sebagai data.
Seperti dalam esainya yang berjudul “Setengah Abad Teror
Kanigoro”, menggunakan kliping di Harian Rakjat edisi 11, 13 Februari
1965 untuk menampilkan narasi lain soal Tragedi Kanigoro. Esai-esai di
buku ini juga ditebari oleh bibliografi media dan tokoh yang tidak hanya kaya
atau terkemuka tapi juga serius: Bintang Timur, Kompas, Tempo, Medan Prijaji,
Doenia Bergerak, Pramoedya Ananta Toer, Tirto Adhi Soerjo, Marco Kartodikromo,
dan banyak nama lain.
Bagi para pecandu buku, membaca buku ini akan menjadi
pengalaman menarik dan mungkin bisa mengubah cara pandang dalam melihat sejarah
Indonesia. Ada banyak peristiwa yang luput atau jarang muncul dalam pembahasan
buku-buku sejarah, ada di buku ini. Namun perlu kehati-hatian saat membaca
setiap esai di buku ini karena pembacaan yang tergesa-gesa dan tidak hati-hati
rawan menimbulkan kesalahan pemahaman.
Melalui esai-esai yang terkumpul dalam buku ini, Muhidin
seolah ingin menebarkan “teror” bagi pembaca. Sepakat dengan editor buku ini
bahwa esai-esai itu dibuat agar orang lain tidak bisa tidur nyenyak. Bagaimana
tidak, separuh buku ini rasanya seperti makian muhidin. Makian-makian itu
dibahasakan sedemikian rupa dan dibumbui data-data. Membuat pembacaan terhadap
buku menjadi cukup eksploratif.
Artikel ini
merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan
edisi September-Oktober 2018.
Kuburan Tanpa Tanda oleh Vannessa Hearman (Shutterstock /
NUS Press)
Presiden Joko “Jokowi” Widodo baru berusia 4 tahun ketika
kudeta yang gagal 30 September yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang sekarang dilarang di tahun 1965 menyebabkan jatuhnya
mendiang presiden Sukarno dan kebangkitan Soeharto sebagai Indonesia. diktator
de facto selama lebih dari 30 tahun.
Jokowi kecil itu mungkin terlalu sibuk bermain kelereng (kelereng)
di sekitar gubuk keluarganya di tepi sungai Surakarta di Jawa Tengah untuk
memahami permainan politik yang mengguncang republik ratusan kilometer jauhnya
di Jakarta.
Bahkan jika beberapa kerabat telah mengendus reformasi yang
dijanjikan oleh 3 juta PKI yang kuat, menginfeksi kepentingan nyata atau yang
dibayangkan dari setiap orang tua-tua pada keturunan mereka adalah
ketidaksenonohan.
Bahwa hinaan itu mendapat daya tarik di antara lawan Jokowi
yang lebih mudah ditipu menunjukkan seberapa baik mesin propaganda Soeharto
bekerja, menanamkan lebih dari dua generasi kebencian yang tak berkedip
terhadap ideologi politik yang saat ini menggerakkan negara terpadat di dunia.
Ini ironi: Cina komunis sekarang merupakan pasar ekspor dan
impor terbesar Indonesia dan kekuatan angkatan laut yang mengkhawatirkan di
laut sekitar. Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar orang Indonesia
berpikir baik tentang negara yang membantu membiayai program infrastruktur
besar-besaran bangsa mereka.
Namun Soeharto mengaitkan Cina dengan kudeta dan memutuskan
hubungan diplomatik - yang baru dibangun kembali pada tahun 1990. Tidak
dinormalisasi adalah pemeriksaan yang tak kenal takut terhadap kudeta dan
pogrom mengerikan yang terjadi kemudian.
Alih-alih, wartawan dan akademisi asing dituntut untuk
menggali kembali masa lalu demi kebenaran yang masih sulit dipahami oleh
pemerintah.
Vannessa Hearman adalah seorang sejarawan di Universitas
Charles Darwin Australia, tetapi dia bukan orang asing. Dia lahir di
Indonesia dan telah menjadi ahli terkemuka tentang kengerian yang menimpa
jutaan orang Indonesia yang dituduh sebagai bagian dari PKI tidak lama setelah
upaya kudeta yang diduga gagal. Doktornya secara bersama-sama dianugerahi
PhD terbaik dalam Studi Asia.
Buku terbarunya Unmarked Graves, menyelidiki
pembunuhan pasca-kudeta di Jawa Timur. Pada saat itu, sekitar 22 juta
orang tinggal di provinsi itu dan sekitar 200.000 orang dibantai dan ribuan
lainnya dianiaya lama setelah PKI dihancurkan.
Para guru dijadikan sasaran dengan sekitar 25.000 ditangkap,
diinterogasi dan sering dipenjara. Karier mereka tercabik-cabik dan
keluarga hancur.
Dalam satu kasus yang dihadapi oleh Hearman, pasangan itu
diburu empat tahun setelah kudeta. Mereka terus bergerak tetapi dikecam
dan akhirnya dipenjara, terpisah dari anak-anak mereka. Keturunan mereka
tidak pernah sepenuhnya pulih.
Fakta bahwa penulis menggunakan nama samaran menunjukkan
bagaimana dekade ini tidak menghilangkan rasa sakit dan stigma.
Bersamaan dengan kisah memilukan para korban, Hearman
berfokus pada peristiwa yang kurang diketahui - upaya PKI berkumpul kembali di
Blitar Selatan, sekitar 800 km tenggara ibukota.
Sekretaris Jenderal PKI Sudisman ditangkap pada tahun 1966
dan diadili. Dia membantah komunis telah mendukung putsch tetapi
dieksekusi pada tahun 1968. Sisa-sisa partai melarikan diri dari Jakarta untuk
mencari tempat perlindungan yang terpencil.
Banyak orang kota yang merasa sulit menjalani kehidupan
pedesaan, tetapi bahkan bertelanjang kaki dan lapar lebih baik daripada peluru
atau batangan. Seorang pencari suaka pragmatis, tercemar karena dia
belajar teknik di Bulgaria, beralasan: "Lebih baik menolak daripada mati
tanpa alasan."
Bagian selatan Blitar adalah bentang alam yang tersiksa dan
gersang seluas 3.200 km persegi antara sungai Brantas dan laut
selatan. Diperkuat dengan gunung-gunung, dilubangi dengan gua-gua batu
kapur, surga bagi gerilyawan yang melawan Belanda antara tahun 1945 dan 1949.
Hidup itu keras dan mendasar. Kursi itu langka dan
sepeda lebih jarang.
Kemiskinan adalah terlalu sederhana penjelasan bagi petani
yang mendukung kebijakan komunis. Faktor-faktor lain termasuk kepemilikan
tanah dan pembagian agama santri (saleh) - abangan (sinkretisme).
Penelitian Hearman itu sulit.
Selain menemukan korban yang siap untuk mengingat, dia juga
ditanyai oleh polisi ketika dia mengunjungi monumen yang ditampilkan di sampul
buku.
Rincian yang dia temukan mengerikan. Tentara telah
menyebarkan mitos bahwa komunis perempuan menyembunyikan tato, yang memberi
izin kepada tentara untuk menelanjangi tersangka. Militer menggunakan
penduduk desa sebagai mata-mata dan memerintahkan mereka untuk membunuh,
menciptakan rasa bersalah dan permusuhan yang abadi.
Operasi Trisula (Operasi Trident) selama dua
bulan untuk menghancurkan para pengungsi PKI melibatkan 5.000
tentara dan 3.000 milisi. Ia mengklaim telah menangkap atau membunuh 2.000
tetapi hanya menemukan 34 senjata api tua dan beberapa sumpit.
Taktik itu mirip dengan Perang Vietnam, dengan orang-orang
menggali terowongan dan pemboman tentara mencurigai tempat persembunyian dan
membantai orang tak berdosa.
Strategi lain termasuk pagar betis (pagar
betis) untuk menyisir hutan, membakar gubuk, merobek sayuran, mendeportasi
penduduk desa ke daerah lain dan menggunakan penduduk setempat untuk mengubur
tahanan yang terbunuh.
Para pemenang mengukir sejarah, tetapi waktu dan kebenaran
mengikis citra mereka yang terpahat. Patung itu menggambarkan
kontra-pemberontakan sebagai kampanye kerja sama yang penuh kemenangan antara
tentara yang disiplin dan warga sipil yang bersedia untuk mengalahkan
komunis. Beasiswa Hearman mengungkapkan patung-patung lain yang banyak
orang ingin tetap terselubung.
Anak-anak dan cucu-cucu tapol (tahanan
politik) yang tidak berdosa masih terlihat menyamping meskipun
Jokowi berjanji akan melakukan pelanggaran HAM tahun 2014.
“Pada tahun 2016, Presiden menunjuk seorang mantan jenderal
angkatan darat, Wiranto [untuk menangani] kasus 1965,” tulis Hearman dalam buku
itu.
“Setelah didakwa oleh [Perserikatan Bangsa-Bangsa] pada
tahun 2003 atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur pada
tahun 1999 selama masa pemerintahannya sebagai komandan angkatan bersenjata
Indonesia, Wiranto hampir tidak mungkin menjadi sosok yang mengejar pelaku
pelanggaran hak asasi manusia.
"Kantor Kejaksaan Agung, pada saat penulisan, terus
menolak untuk membuka penyelidikan [...] tentang kekerasan 1965-66."
Penelitian Hearman dengan berani menyuarakan pertanyaan yang
paling memberatkan: Bagaimana bisa bukti-bukti yang membakar yang dia tangkap
diabaikan kecuali beberapa orang yang bersalah masih memiliki kekuatan besar di
Indonesia yang demokratis sekarang ini?
__________
Kuburan Tanpa Tanda:
Kematian dan Kelangsungan Hidup dalam Kekerasan Anti-Komunis di Jawa Timur,
Indonesia
Kawan saya pelukis Handogo Sukarno menulis di status FB
nya secara singkat."Dulu.....ada kartu bebas G30S. Sekarang.....perlu
kartu bebas HTI. #Bahaya laten HTI".
Saya selaku mantan tapol. Salah seorang korban akibat
dibubarkannya Partai Komunis Indonesia ( PKI ) pada peristiwa '65. Merasa
tersentuh alias tergelitik oleh imajinasi yang tersunting di balik ungkapan
kata dalam tulisan statusnya itu.
Bisa jadi, di luar anggapan. Mungkin hanya sekedar
permainan kata "guyon" atau "kelakar canda" semata. Yang menandai
perkembangan situasi yang sedang hangat di tengah masyarakat dewasa ini. Maka
konten persoalan sebenarnya cukup menarik untuk menggugah pikiran kita.
Terbayang di benak saya. Meski sepintas lalu seakan ada
kesamaan nasib. Yang mengilhami tulisan kawan saya itu untuk menarik garis
keadilan secara linier. Namun, kesepadanan yang mungkin ia bayangkan. Terasa
jauh panggang dari api dalam pengamatan saya. Justru terkait dengan pengalaman
langsung yang pernah saya terjuni.
Sebab larangan buat Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI )
sekarang ini, jauh sangat berbeda. Ketimbang dengan larangan terhadap
keberadaan PKI di masa lalu. Sangat tidak sama dan tidak adil. Tak serupa,
apalagi untuk dikatakan seimbang.
Jika dalam peristiwa '65, semua tokoh-tokoh pimpinan dan pengurus
PKI beserta ormasnya dari pusat hingga ranting di daerah-daerah. Diciduk dan ditahan
dalam kamp-kamp dan penjara. Untuk waktu tak terbatas dan terukur.
Seluruh pimpinan topnya dihukum mati melalui pengadilan
Mahmilub, di samping terbunuh. Ribuan lainnya dibuang ke Pulau Buru. Sebagian
terbanyak dilenyapkan nyawanya melalui pembantaian massal (genosida).
Kemudian sesudah dibebaskan. Mantan tapol PKI diberi KTP
bertanda ET (Eks Tapol) dan OT (Organisasi Terlarang) buat wajib lapor sekian
tahun. Ditambah nasibnya masih entah sampai kapan dikenai diskriminasi dan
stigmatisasi yang relatif tak terpulihkan.
Maka pada HTI pengalaman tragis seperti tersebut di atas
tak pernah ada dan tak akan dilaluinya. Karena waktu dan sikon -situasi dan kondisi- nya; juga sangat berlainan.
Kalau larangan terhadap PKI sebagai partai yang
dibubarkan melalui Tap. MPRS No. XXV/1966. Di bawah kekuasaan rezim otoriter
Orba Suharto yang tidak demokratis. Karena dianggap terlibat perkara peristiwa
G30S 1965 yang sangat berdarah. Di bawah atmosfer situasi politik "Perang
Dingin" dikotomi global dunia.
Maka larangan terhadap HTI selaku ormas yang dibubarkan.
Atau dicabut secara resmi status badan hukumnya. Melalui keputusan Kementerian
Hukum dan HAM pemerintahan RI, pada tgl 19 Juli 2017. Yang semakin dikukuhkan
oleh pengesahan keputusan pembubaran ormas lewat pengadilan PTUN pada tanggal 7 Mei
2018.
Karena dengan alasan dianggap mengusung khilafah yang
bertentangan terhadap Pancasila dan NKRI. Pada saat-saat pemerintahan Jokowi
berkuasa yang terpilih melalui Pemilu di bawah sistem demokratis. Berlaku sejak
tenggang waktu sesudah era Reformasi 1998.
Dengan demikian kita dapat melihat dengan jelas. Di
samping relatif terdapat kesamaaan tipis. Juga sangat menonjol perbedaan yang
sangat tebal di antara PKI dan HTI dalam banyak hal dan berbagai segi.
Terutama dalam setting risiko dan konsekwensi yang
dihadapi pemerintah, negara dan bangsa. Sebagai tanggung jawab atas dampak yang
diakibatkan oleh tekanan nuansa represif dari pembubaran organisasi.
Terhadap kedua mereka selaku golongan masyarakat dengan
paham keyakinan agama dan ideologi yang terisolasi secara sosial dan politik
dalam kehidupan berbangsa.
Tentu saja tidak cukup dengan upaya pencegahan melalui
jaminan pengadilan dan kepastian hukum semata. Namun juga dari segi pendekatan
kemanusiaan yang demokratis. Sesuai dengan kriteria garis-2 haluan negara :
Pancasila, UUD '45, NKRI dan Kebhinnekaan bangsa.
Apalagi terhadap persoalan krusial yang besar telah
mengganjal secara kronis. Bahkan amat permanen terpendam selama setengah abad
lebih. Menimpa salah satu golongan masyarakat di antara keduanya. Yaitu PKI
dengan kaum komunisnya yang hingga kini. Masih tak jelas keberadaan setting
penyelesaian hukum dan sosial politik oleh Negara. Terhadap nasib mereka, dalam
kehidupan berbangsa.
Sedangkan HTI menerima kemalangan nasibnya semacam itu,
baru memulai belum sampai setahun. Betapapun terjadinya berada di bawah naungan
sistem demokrasi pemerintahan Jokowi yang relatif santun, toleran dan
kerakyatan. Yang jauh berbeda dengan nasib PKI yang menjadi korban tindasan
represif kekuasaan rezim otoriter Orba Suharto yang anti demokrasi.
Akhirul kalam, tersisa pertanyaannya yang lama tak
terjawab bagi kita semua. Bagaimana nasib atas keyakinan agama dan ideologi
yang dipegang teguh suatu golongan masyarakat. Melalui badan organisasi massa
PKI dan HTI tersebut. Yang terlarang oleh karena bertentangan dengan kriteria
garis-garis haluan Negara RI.
Namun, kita tahu relatif sulit diberantas dengan cara
apapun oleh siapa saja, termasuk kekuasaan Negara. Baik secara persuasif,
maupun dengan kekerasan represif.
Tatkala Negara kita menyemai kehidupan berbangsa yang
demokratis.
Memayungi kebebasan paham agama dan ideologi semua
golongan masyarakat dari warga negaranya. Dalam kebersamaan kerukunan nasional
yang penuh toleransi. Saling harga menghargai dan hormat menghormati satu sama
lain.
Apakah dimungkinkan akan diterima kembali melalui
rekonsiliasi dan rehabilitasi oleh Negara. Ketika terjadi proses penyesuaian
dari loyalitas ketaatan pihak bersangkutan terhadap garis-2 haluan Negara ?
Bagi mereka sungguh tak terbayangkan sebelumnya.
Akumulasi waktu begitu bertimbun terserak menapak perjalanan derita selama
setengah abad lebih. Hingga kini harapan masih redup terselubung
ketidakpastian. Tanpa pertanda sinyal terang secuwilpun.
Inilah jalan panjang tak berujung yang ditempuh oleh
sebuah partai. Jika kita rentangkan waktu, maka telah menapak usia selama 88
tahun (1920 - 2018). Penuh lika-liku rona duka derita perjuangan. Hingga kini,
entah dimana dan bagaimana keberadaan nasibnya. Sejak ia terbenam dalam misteri
kegelapan. Tanpa identitas yang pasti dan resmi.
Sedangkan HTI baru memulai menerjuni oase pembubaran
orrnas khilafahnya. Masih dalam skala alam demokrasi di bawah kekuasaan
pemerintahan Jokowi yang moderat dan toleran. Jauh lebih ringan ketimbang
dengan tantangan duka derita yang ditanggung PKI. Yang hingga kini tetap
diberantas dengan tegas. Tanpa boleh berkutik sedikipun.....
Amir Sjarifoeddin, tokoh yang perjuangannya dikubur
dalam lubang hitam sejarah karena peristiwa Madiun 1948, adalah
pelaku sejarah Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 27-28 Oktober 1928.
Kongres yang melahirkan ikrar “Sumpah Pemuda” ini
merupakan tonggak sejarah yang penting bagi kelahiran Indonesia. Sungguh
menakjubkan, di masa sebelum ada gadget dan google, anak muda
dari berbagai suku, agama, ras dan aliran politik bisa berkumpul bersama,
meleburkan ide dan cita-cita, dan berikrar: satu nusa, satu bangsa, satu
bahasa: INDONESIA.
Di panggung Kongres sejarah itu, peran Amir bukan di
pinggiran, bukan tukang sorak, tetapi sangat strategis: bendahara. Dia duduk
sebaris dengan Ketua Kongres, Soegondo Djojopuspito, dan Sekretaris Kongres,
Mohammad Yamin.
Malahan, seperti dicatat Hans Van Miert dalam Dengan
Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia 1918-1930, Amir
punya peran sangat penting di Kongres itu. Diceritakan, ketika Yamin membuat
konsep resolusi Kongres, yang kelak dinamai Sumpah Pemuda itu, dia
terlebih dahulu meminta paraf Ketua Kongres, Soegondo, lalu kepada Amir.
“Soegondo membaca surat itu, memandang ke arah Yamin yang
tersenyum manis, membubuhkan parafnya, dan menyodorkan ke Amir Sjarifoeddin.
Amir berbuat serupa, dan sesudah dia menyusul para anggota Komite Kongres yang
lain,” tulis Van Miert.
Jadi, Amir termasuk tiga orang pertama yang membubuhkan
tandatangannya di atas draft resolusi Sumpah Pemuda, bersama Soegondo dan
Mohammad Yamin.
Lantas, bagaimana ceritanya Amir bisa mengambi peran
besar di Kongres Pemuda?
Amir, yang lahir pada 27 April 1907 di Medan, sempat
melanjutkan pendidikan di Leiden, Belanda. Dia sempat terdaftar di
sebuah Gymnasium di Leiden. Lalu, pada 1925, dia pindah ke Gymnasium
di Haarlem. Di sini dia aktif di perhimpuan siswa Gymanasium Haarlem.
Sayang, di 1927, karena masalah keluarganya di Medan,
Amir menghentikan studi dan kembali ke tanah air. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya
di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (sekarang Jakarta).
Selama belajar di Jakarta, Amir tinggal di asrama
pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Dia ditampung oleh kawan
sekampusnya, Mohammad Yamin. Saat itu, Yamin sendiri sudah aktif di pergerakan
pelajar, Jong Sumatranen Bond (JSB), dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPPI).
PPPI ini penting dibahas, karena menjadi tenaga penggerak
Kongres Pemuda di tahun 1928. Organisasi pemuda lintas etnik ini terbentuk di
akhir 1926. Didirikan oleh mahasiswa dari Sekolah Tinggi Hukum Jakarta dan
STOVIA.
PPPI hendak menerobos sekat-sekat etnis, yang kerap
memisah-misahkan pergerakan pelajar kala itu. Selain berpandang jauh ke depan,
PPPI juga bersifat politis dan budaya. Cita-cita bersanya adalah menyatukan
(fusi) semua organisasi pemuda kala itu.
Karena tinggal seasrama dengan aktivis PPPI, juga
kampusnya menjadi basis penting organisasi itu, tidak sulit bagi Amir untuk
menjadi bagian dalam PPPI.
Disamping di PPPI, Amir juga menjadi pengurus Jong Batak
atau Jong Bataks Bond. Organisasi ini berdiri di tahun 1925 (?),
setelah kemunduran Jong Sumatranen Bond (JSB), oleh pemuda-pemuda Batak di
Batavia.
Dengan perannya di dua organisasi itu, Amir tentu
menyumbang banyak keringat dan pikiran demi terlesenggaranya Kongres Pemuda
ke-2. Dan karena perannya itu, dia didaulat menjadi Bendahara Kongres mewakili
PPPI dan Pemuda Batak.
Usai Kongres, peranan Amir tidak surut. Dia menjadi
pemimpin redaksi koran Indonesia Raya, milik PPPI, yang memencar-luaskan gagasan-gagasan
Indonesia merdeka.
Tahun 1930-an, Amir makin menceburkan diri dalam
pergerakan politik kemerdekaan. Dia menjadi Propagandis partai nasionalis kiri,
Partai Indonesia (Partindo). Lalu, di akhir 1930-an, dia menjadi tokoh penting
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Dari 1942-1943, Amir memimpin gerakan bawah tanah melawan
fasisme Jepang. Tetapi keburu ditangkap Jepang tahun 1943. Tahun1944, dia
dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang. Namun, berkat campur tangan
Sukarno, eksekusi mati itu tidak dilaksanakan.
Pasca Kemerdekaan, Amir menduduki banyak jabatan politik
penting Republik yang diperjuangkannya, dari Menteri Penerangan (1945-1946),
Menteri Pertahanan (1945-1948), hingga Perdana Menteri (1947-1948).
Presiden Jokowi beberapa hari lalu menyebut adanya
politikus sontoloyo. Menurutnya, politikus macam ini memakai "cara-cara
politik adu domba, cara-cara politik yang memfitnah, cara- cara politik yang
memecah belah hanya untuk merebut sebuah kursi, sebuah kekuasaan, menghalalkan
segala cara."
Tidak sampai dua hari kemudian, ada acara yang namanya
"Aksi Bela Tauhid". Ini adalah aksi untuk mempolitisasi pembakaran
bendera HTI di Garut.
Ada hubungan antara keduanya?
Untuk saya, sulit untuk mengatakan tidak ada hubungan.
Saya memperhatikan apa yang terjadi -- lokasi aksi-aksi serupa; jumlah peserta;
dan isu yang diusung. Saya kira, aksi-aksi yang merespon pembakaran bendera HTI
ini adalah sebuah 'concerted efforts' atau usaha-usaha yang digerakkan secara
bersamaan.
Usaha-usaha ini sangat serius. Saya duga ini melibatkan
pemain besar, dengan kemampuan koordinasi yang bagus, dan tentu saja dengan
dana yang kuat.
Perlu seorang Presiden Jokowi sendiri yang turun tangan
dan berkomentar akan hal ini, saya kira menunjukkan derajat keseriusannya. Saya
kira dia mendapat laporan tentang seriusnya keadaan yang akan dia hadapi.
Banyak yang mungkin tidak sependapat dengan saya. Mereka
akan menunjuk bahwa keadaan di tingkat masyarakat (akar rumput) tetap tenang.
Orang tidak terpengaruh akan apa yang terjadi.
Saya tidak menampik pendapat itu. Benar sekali. Sebagian
besar orang tidak peduli.
Namun Piplres 2019 masih enam bulan lagi. Saat ini bukan
saatnya pergi ke massa. Dalam gerakan, saat ini adalah saat memasang
sekrup-sekrup, membereskan pelumas, membersihkan mesin, dan memastikan mesin
ini bergerak dengan baik pada saatnya nanti.
Orang mungkin juga akan bilang, nggak mungkin ini akan
serius karena ada NU.
Dalam soal ini kita bisa berdebat. Untuk saya, sekalipun
massa NU itu solid (tidak selalu sebenarnya), itu tidak cukup untuk membendung
jika gerakan ini menjadi sebesar Aksi Bela Islam yang menjatuhkan Ahok.
Mungkin juga akan ada yang bertanya: lawan yang dihadapi
kan bukan Kristen?
Saya melihatnya dengan kacamata lain. Pertarungan di
Pilpres ini adalah 'battle for the soul of Islam.' Katakanlah demikian. Yang
akan dieksploitasi adalah visi Islam yang mana yang 'lebih baik dan lebih
benar.'
Dengan demikian, pertarungannya akan menjadi jauh lebih
keras. Saya kira, itulah yang sangat meresahkan untuk Presiden Jokowi. Skenario
paling kotor mungkin sedang disiapkan.
Kemarin saya melihat satu video bagaimana Ketua Banser
NU, Nusron Wahid, di konfrontasi di Luar Batang. Dia ditantang untuk membakar
bendera hitam yang berisi tulisan Tauhid.
Di bagian lain juga terekam bagaimana kebencian
orang-orang yang mengkonfrontasi Nusron Wahid. Tidak saja terhadap Nusron.
Tetapi terhadap versi Islam yang dianggap mewakili dia, yakni Islam Nusantara.
Kata-kata yang dilontarkan oleh mereka yang
mengkonfrontasi Nusron jelas menunjukkan garis tegas antara dua visi Islam yang
hendak dikontraskan.
Saya menangkap di dalam NU sendiri sesungguhnya
pertarungan itu bukannya tidak ada. Banyak orang NU yang tidak lagi
'tradisional' seperti yang kita kenal sebelumnya. Dari pemberitahuan beberapa
kawan, ada juga kiai-kiai NU yang setuju bahwa yang dibakar di Garut adalah
bendera Tauhid. [Dimanakah Ma'ruf Amin berdiri seandainya dia tidak menjadi
calon Wapres-nya Jokowi? Pertanyaan ini menarik untuk dicari jawabannya].
Saya kira, akan ada usaha untuk memisahkan NU yang
tradisional dengan versi yang lebih konservatif dan bermusuhan dengan tradisi.
Ini adalah hal yang mudah sekali untuk dieksploitasi. Dan para pemain-pemain politik
tahu persis ini.
Yang saya kuatirkan adalah, seperti pepatah mengatakan,
"Apakah gajah-gajah bercinta atau berkelahi, rumputlah yang rusak
terinjak-injak."
Massa Aksi Bela Kalimat Tauhid minta pembakar bendera
tidak dilepaskan. (CNN Indonesia/Fachri Fachrudin)
Jakarta, CNN Indonesia -- Massa aksi bela kalimat
tauhid telah berkumpul di depan gedung Kementerian Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Jumat (26/10) siang.
Dari atas mobil komando, salah seorang koordinator aksi massa menyatakan
kecaman keras pada oknum GP Ansor yang membakar bendera. Tak hanya itu, ia juga
curiga pembakaran dilakukan oleh oknum Partai Komunis Indonesia (PKI)
"Siapapun yang membakar kalimat tauhid harus diusut, jangan-jangan ini
bukan Banser tapi PKI," ujarnya.
Ia kemudian menegaskan bahwa siapapun yang anti agama atau anti kalimat tauhid
maka termasuk golongan PKI. Untuk itu, ia meminta agar bersiap melawan PKI.
"Siap lawan PKI!" ujar koordinator aksi massa yang dijawab seruan
siap dari massa.
Ia juga meminta massa aksi menyatukan niat untuk membela kalimat tauhid. Aksi
hari ini tak hanya dilakukan di Jakarta, namun juga sejumlah wilayah lain di
Indonesia.
"Di berbagai daerah membela kemuliaan panji Rasulullah. Mari satukan niat
kita, bulatkan tekad kita, bela kalimat tauhid," ucapnya.
Minta Tersangka Jangan Dibebaskan
Massa aksi bela tauhid juga menuntut agar kepolisian tidak membebaskan anggota
Banser NU yang membakar bendera tersebut.
"Langsung dijadikan tersangka, saya minta kepada polisi yang membakar
bendera jangan dibebaskan," kata salah seorang orator.
Seiring dengan itu, kalimat tauhid 'La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah'
terus digaungkan bersama dengan kalimat takbir.
Pantauan CNNIndonesia.com aksi ini diiikuti oleh masyarakat dari
berbagai usia. Rata-rata mereka mengenakan busana muslim yang mayoritas
berwarna putih untuk laki-laki.
Sementara peserta perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam yang sebagian di
antara mereka gunakan cadar atau penutup wajah. Massa juga membawa bendera
dengan kalimat tauhid. (fhr/DAL)
Urusan Indonesia berkembang dalam cara yang terlihat menggembirakan. Umat Islam membakar kantor pusat PKI di Djakarta semalam dan sepertinya mereka bergerak menyerang orang-orang Komunis di antero negeri… Untuk pertama kalinya, Angkatan Darat tidak mematuhi perintah Soekarno. Jika hal ini berlanjut dan PKI dibersihkan… kita akan memiliki hari baru di Indonesia.(George Ball, Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, 08 Oktober 1965)
Ada “Sebuah Fajar Baru”, ada “Secercah Cahaya di Asia” begitu judul berita yang terbit di New York Times. Sementara majalah Time menulis tentang adanya “berita terbaik untuk Barat dari Asia” setelah bertahun-tahun. Headlines berita di atas adalah respon terhadap konflik yang terjadi di Indonesia setelah peristiwa pembunuhan 6 Jenderal dan 1 Perwira Angkatan Darat pada 01 Oktober 1965. Berbagai negara dan media di Barat (negara Sekutu atau Blok Kapitalis) merayakan peristiwa itu karena menjadi momentum penghancuran revolusi sosialis di Indonesia. Peristiwa 1965 menjadi kesempatan bagi kelas kapitalis dan sekutunya untuk melakukan gerakan kontra-revolusi dengan melakukan kekerasan massal terhadap kaum kiri.
Kekerasan massal yang mengikuti peristiwa 1965, telah melibatkan berbagai akademisi untuk menelusuri sebab musababnya. Berbagai versi dengan perspektif yang lebih luas dan mainstream, menggambarkan peristiwa berdarah itu disebabkan oleh “amuk massa”, aksi spontan, konflik horizontal, dan kekerasan yang dilatarbelakangi faktor budaya[1]. Aksi kekerasan massal ditenggarai terjadi karena tindakan balas dendam terhadap “pemberontakan kaum kiri” dan aksi sepihak yang sebelumnya mereka lakukan. Kondisi itu yang diyakini melecut amuk massa yang bersifat spontan dan memicu konflik horizontal. Penjelasan tentang karakter dan budaya ini telah lama digemari oleh para pejabat Indonesia dan sekutunya serta muncul dalam banyak narasi populer.
Dalam bukunya “Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966”[2], Geoffrey B. Robinson seorang Profesor Sejarah di Universitas California Los Angeles (UCLA) memberikan perspektif berbeda dalam melihat kekerasan pasca September 1965. Bukannya dipengaruhi masalah karakter dan budaya yang memicu spontanitas dan konflik horizontal, Robison melihat ada tindakan terstruktur. Itu karena adanya kesamaan tentang cara penangkapan, interogasi dan eksekusi, sehingga menilai kejadian itu bukan “amuk massa”.
Robinson melakukan penelitian terhadap peristiwa kelam ini sejak tahun 1980an. Narasi baru yang dituliskannya adalah tentang peran utama Angkatan Darat. Selain itu juga tentang keterlibatan Amerika Serikat, Inggris dan negara blok kapitalis lainnya dalam menyokong kekerasan massal. Terakhir, tentang adanya kondisi historis yang turut memicu terjadinya musim menjagal.
Dalang Peristiwa 65 & Rekayasa Narasi Resmi
Pagi buta pada 1 Oktober 1965, tim kecil yang berisi prajurit Angkatan Darat di bawah pimpinan Letkol Untung menculik 7 jenderal dari rumah mereka di Jakarta. 3 orang jenderal melawan penangkapan dan di tembak di tempat, 3 lainnya di bawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma kemudian ditembak. Sedangkan satu jenderal lainnya yaitu Nasution berhasil melarikan diri, tetapi satu ajudannya tewas. Peristiwa itu sangat mengejutkan. Letkol Untung menyebut gerakan yang dilakukannya sebagai Gerakan 30 September (G30S).
Interpretasi terhadap peristiwa G30S tentang siapa dalang dan apa motifnya mengemuka. Gerakan yang dipimpin oleh Letkol Untung menyerah tidak sampai satu hari setelah mendapat serangan. Angkatan Darat di bawah komando Soehato menuding PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai dalang peristiwa itu dengan motif untuk merebut kekuasaan. Propaganda yang terbukti bohong disebarluaskan untuk memicu kemarahan rakyat bahwa kemaluan para jenderal dipotong, mata mereka dicongkel oleh para Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, underbow PKI) sembari menari telanjang dengan lagu genjer-genjer.
Soeharto dan perwira lainnya melakukan mobilisasi dan mengizinkan aksi politik massa dalam bentuk demonstrasi, petisi hingga aksi kekerasan untuk menghancurkan PKI yang dituduh sebagai pemberontak. Dalam menjalankan strategi ini, Angkatan Darat mendapatkan sekutu sipil yang memiliki kepentingan sama, yaitu menghancurkan politik kelas pekerja. Sebagian besar mereka adalah dari kelas menengah terdidik, partai dan tokoh Katolik berpengaruh, Partai NU, Masyumi, dan para intelektual dan budayawan dari spektrum “liberal” (hal. 82-83). Di tingkatan mahasiswa, aksi-aksi itu didukung oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), hingga HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia). Tujuan akhir dari aksi ini tidak sekedar menghancurkan PKI, tetapi juga memukul mundur gerakan revolusi sosialis yang diusung Soekarno, menjadikan rakyat tidak memiliki kapasitas politik, dan menghadirkan kembali kekuasaan kapitalisme di Indonesia.
Robinson dalam bukunya “Musim Menjagal”, menilai narasi resmi dari Angkatan Darat itu bermasalah. Pertama, narasi resmi ini tidak memberi motif yang masuk akal bagi upaya PKI untuk melakukan kudeta. Pada pertengahan 1965, PKI telah mencapai kesuksesan politik yang hampir tidak terbayangkan[3] melalui strategi parlementer yang ditempuh dan kedekatannya dengan Presiden Soekarno. Sehingga kita perlu bertanya, mengapa PKI akan membahayakan semua yang telah diperolehnya dengan mencoba merebut kekuasaan? Apalagi dengan pemberontakan bersenjata? Strategi yang secara eksplisit mereka hindari selama 15 tahun dan tidak mereka siapkan. Para agen hingga duta besar negara Barat dalam telegram dan surat rahasia mereka turut tidak percaya dengan narasi resmi pemerintah. Akan tetapi mereka tidak memperdulikannya dan memanfaatkan itu untuk menghancurkan kelas pekerja di Indonesia.
Kedua, terkait dengan bukti. Penculikan dan pembunuhan pada 1 Oktober 1965 jelas dilakukan bukan oleh anggota PKI. Namun dilakukan oleh prajurit-prajurit reguler di bawah komando perwira-perwira Angkatan Darat berseragam. Terlebih, para pemimpin di Jakarta didukung oleh 2.500 prajurit, sementara di Jawa Tengah didukung oleh sejumlah komando dan satuan Angkatan Darat reguler. Sementara bukti terkait kesaksian dan pengakuan dari para tahanan diperoleh dengan melakukan tekanan, paksaan dan penyiksaan.
Kekerasan massal pada tahun 1965-1966 adalah hasil dari interpretasi tertentu dengan menggunakan pembunuhan para jenderal sebagai batu pijakan. Kekerasan massal yang membunuh antara 500 ribu hingga 2 juta orang seringkali dikaburkan dan ditutupi oleh rezim dan Angkatan Darat dengan memfokuskannya pada peristiwa 1 Oktober 1965 serta tudingan pemberontakan PKI. Hal itu dilakukan agar kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan menjadi terdistorsi dan seolah-olah menjadi tindakan pembenaran dengan dalih “menyelamatkan negara”.
Peran Angkatan Darat dalam Pembunuhan Massal
Kami putuskan mendorong warga sipil anti-komunis untuk membantu kerja kami. Di Solo, kami mengumpulkan para pemuda, kelompok nasionalis, organisasi keagamaan. Kami beri mereka latihan dua atau tiga hari, lalu menugaskan mereka untuk membunuh orang-orang komunis.(Sarwo Edhie, Komandan RPKAD atau Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat)
Penahanan dan pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-1966 kendati terjadi di hampir seluruh pelosok negeri, namun ada variasi dalam hal waktu. Pembunuhan massal pertama dimulai di Aceh dalam hitungan hari setelah dugaan upaya kudeta. Kemudian tetiba berhenti pada November 1965 dengan korban mencapai 10.000 orang. Di Sumatera Utara baru dimulai pada awal November 1965 yang menyasar ke seluruh area perkebunan dan pertanian yang menjadi basis utama PKI. Aksi kejahatan kemanusiaan di Sumatera Utara eskalasinya mulai sangat kecil pada Maret 1966 dengan sekitar 40.000 orang atau mungkin dua kali lipatnya terbunuh.
Di Provinsi Jawa Tengah, pembunuhan massal dimulai sekitar minggu ke tiga bulan Oktober 1965 dan berlanjut hingga pertengahan 1966. Diperkirakan 140.000 orang tewas di Provinsi yang padat penduduk ini. Di sebelahnya yaitu Provinsi Jawa Timur kekerasan secara sistematis meningkat secara dramatis pada awal November 1965 dan berakhir pada pertengahan tahun 1966. Diperkirakan 180.000 orang telah tewas yang berpusat di daerah Kediri, Blitar, Pasuruan, dan daerah pesisir timur.
Awal bulan Desember, setelah dua bulan pasca dugaan kudeta, aksi pembunuhan massal dimulai di Bali. Sekitar 80.000 orang dibunuh dalam sekitar waktu 3 bulan. Pembunuhan bahkan dimulai lebih lama lagi di daerah-daerah lain. Misalnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, pembunuhan massal baru dilakukan pada Februari 1966 dan berakhir pada pertengahan Maret 1966. Sekitar 6.000 orang terduga komunis dibunuh dengan kejam. Sementara di Provinsi padat penduduk seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat yang menjadi basis dari PKI, hampir tidak terjadi pembunuhan secara massal. Yang terjadi adalah penahanan massal.
Luasnya penyebaran geografis kekerasan dan waktu yang berbeda-beda menunjukan bahwa akar konflik itu tidak sepenuhnya bersifat lokal atau permusuhan pribadi atau karena amuk massa yang spontan. Kondisi tersebut terjadi karena peran utama dari Angkatan Darat dalam proses pembunuhan massal, walaupun bukan berarti bahwa Angkatan Darat berbuat sendiri (hal. 203).
Waktu dan intensitas kekerasan yang berbeda dipengaruhi oleh peran Angkatan Darat dan kondisi politik lokal yang berbeda. Sehingga pembunuhan massal tidak merupakan akibat langsung dari ketegangan agama, budaya dan sosial ekonomi di daerah tertentu. Akan tetapi akibat dari kemampuan para komandan Angkatan Darat di setiap daerah untuk menyulut dan memobilisasi ketegangan tersebut demi menghancurkan kaum kiri (hal. 205). Angkatan Darat memanfaatkan kelompok sipil anti-komunis dalam proses pembunuhan itu.
Hubungan erat antara sikap dan kemampuan para komandan Angkatan Darat di daerah tertentu dapat dilihat dalam tiga pola. Pertama, pada daerah dengan komando militer setempat yang bersatu dan memiliki pasukan memadai, pembunuhan massal terjadi secara cepat seperti kasus di Aceh. Panglima Daerah Militer Aceh, Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa dan atasannya langsung Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta memiliki pandangan anti-komunis sehingga bersatu memobilisasi pembunuhan dan menentang Soekarno dan PKI. Sementara di Jawa Barat komando daerah militer di bawah Jenderal Ibrahim Adjie juga bersatu dan kuat. Pembunuhan massal relatif kecil terjadi karena Adjie memiliki loyalitas terhadap Soekarno yang mematuhi himbauan Soekarno untuk tidak menggunakan kekerasan dan menghentikan konflik.
Kedua, di daerah dengan komando Angkatan Darat yang terpecah secara politik, menghadapi perlawanan, atau tidak memiliki pasukan yang memadai, pembunuhan massal tertunda dalam beberapa waktu. Contohnya di Sumatera Utara, Panglima Daerah Militer dan Gubernur Ulung Sitepu bersimpati terhadap kaum kiri. Setelah mereka diganti secara paksa dengan Angkatan Darat yang sangat anti-komunis, eskalasi pembunuhan massal mulai terjadi. Hal yang sama terjadi di Bali.
Ketiga, di daerah-daerah yang kepemimpinan militernya tidak mencapai mufakat atau yang pasukan loyalnya tidak memadai, pembunuhan baru dimulai bersamaan dengan atau tepat setelah kedatangan pasukan Soeharto dari luar daerah itu. Itu seperti yang terjadi di Jawa Tengah, kedatangan pasukan RPKAD yang dimobilisasi dari Jakarta kemudian dengan cepat bergerak menghancurkan kekuatan kaum kiri di Provinsi itu.
Dengan alur peristiwa kejahatan kemanusiaan di atas dan keterlibatan Angkatan Darat, kita dapat memahami prosesnya. Bahwa pertama, kekerasan 1965-1966 dengan variasi dan pola tidak dapat dipahami dengan baik tanpa mengakui peran penting pimpinan Angkatan Darat yang memprovokasi, memfasilitasi serta mengorganisasinya. Kedua, pimpinan Angkatan Darat mengambil serangkaian keputusan dan memberi perintah untuk menahan, mengangkut, menggolongkan, mendaftar, mengintrogasi, serta mendakwa sebagian besar orang. Ketiga, untuk menjalankan tindakannya, Angkatan Darat memobilisasi jaringan kelompok milisi sipil dari Banser NU, Pemuda Marhaen, hingga Pemuda Pancasila. Keempat, setelah proses itu mereka kemudian merebut kekuasaan, pimpinan Angkatan Darat dapat menulis dan menyebarluaskan sejarahnya sendiri terkait kekerasan ini dengan merebut kekuasaan dan membungkam versi alternatif. Itu mengapa kejatahan kemanusian terus berupaya dibenarkan hingga saat ini dan para pelakunya belum diadili.
Negara Sekutu Bukan Penonton, Mereka Terlibat
Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan negara sekutu lainnya (blok kapitalis) dengan tegas menolak bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan massal yang terjadi pasca September 1965 di Indonesia. Mereka menilai kekerasan terjadi karena konflik horizontal yang bersifat lokal dan tidak ada pengaruh dari kekuatan asing. Robinson dalam buku terbarunya secara detail memberi penyangkalan terhadap sikap negara-negara sekutu. Dengan data terbaru dari telegram dan surat rahasia CIA (badan intelegen AS) dan M16 (badan intelegen Inggris) menguatkan argument dari Robinson bahwa mereka pada dasarnya bukan penonton, mereka terlibat dalam kekerasan massal yang terjadi. Kekuatan Barat turut membantu penghancuran kelas pekerja di Indonesia dan terlibat dalam pelengseran Soekarno sebagai Presiden.
Operasi bersama yang dilakukan oleh negara-negara sekutu dalam meluluhlantakan PKI dan melengserkan Soekarno untuk diganti dengan pimpinan Angkatan Darat yang loyal terhadap mereka memiliki tiga unsur utama (hal. 246). Pertama, pola jaminan rahasia kepada pimpinan Angkatan Darat terkait dukungan politik dan sikap tidak ikut campur. Artinya negara-negara Barat tersebut memberi “lampu hijau” untuk menjustifikasi kekerasan berdarah.
Kedua, operasi perang psikologis cangging yang dirancang untuk mencoreng nama PKI dan Soekarno serta memunculkan perlawanan terhadap keduanya. Dan terakhir adalah melalui program bantuan material kepada Angkatan Darat dalam bentuk beras, katun, peralatan militer, perbekalan medis, uang tunai, dan juga senjata untuk kegiatan menghancurkan gerakan kiri di Indonesia.
Sebelum satu dekade dugaan kudeta September 1965 terjadi, Amerika Serikat bersama kekuatan Barat lain telah bekerja dengan berbagai cara untuk melemahkan Soekarno dan PKI. Mereka memberi pendidikan kepada militer agar anti-komunis, memberi bantuan kepada partai-partai yang anti-komunis dan dukungan terhadap pemberontakan militer yang anti-Soekarno. Artinya upaya penghancuran gerakan kiri di Indonesia sudah dijalankan sejak lama. Tujuannya tidak lain untuk membuka kembali cengkeram negara barat di Indonesia.
Konflik Kelas, Depolitisasi Kehidupan & Langkah ke Depan
Kekerasan massal yang terjadi di Indonesia pasca September 1965 adalah konflik kelas sosial yang menghancurkan kelas pekerja. W.F Wertheim sudah menulis pada tahun 1966 bahwa kekerasan massal tersebut tidak hanya menghancurkan PKI, tetapi menghancurkan seluruh aliran pemikiran dan budaya progresif yang telah menjadi bagian sentral dalam revolusi Indonesia. Sehingga peristiwa tersebut sering disebut sebagai gerakan kontra-revolusi yaitu sebuah gerakan yang membawa arah perbaikan menjadi mundur kebelakang. Dari upaya mencapai sosialisme menjadi upaya membangkitkan kembali kapitalisme seperti saat era kolonial.
Robinson dalam bukunya “Musim Menjagal” tidak menjelaskan secara jauh bahwa kebungkaman yang terus berlangsung dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan salah satunya dipengaruhi oleh depolitisasi gerakan rakyat. Rezim Soeharto bersama Angkatan Darat bekerja untuk mendepolitisasi masyarakat agar tidak bergerak dalam ranah politik. Kebijakan “massa mengambang” (floating mass) dijalankan agar masyarakat mendedikasikan dirinya untuk “pembangunan” dibanding terlibat dalam aktivitas politik. Kebijakan yang dijalankan rezim Soeharto dan para sekutunya ini yang turut membuat kebungkaman terhadap kejahatan kemanusiaan pasca September 1965 berlangsung lama. Harapan sempat mengemuka saat Reformasi terjadi, namun masih berkuasanya eksponen yang diuntungkan dari peristiwa 65 dan masih lemahnya gerakan rakyat membuat upaya penyelesaian kasus 65 masih belum terjadi.
Di catatan terakhir bukunya, Robinson menekankan bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan oleh gerakan sosial. Pertama, mendesak pemerintah untuk memperjelas catatan sejarah dengan membuka arsip-arsip mereka dari periode 65 sehingga tidak terjadi pembohongan sejarah. Kedua, menuntut pemerintah untuk mendorong semua tindakan yudisial (yang terpercaya) terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang telah mereka lakukan. Terakhir, kita harus melakukan apa pun untuk menghentikan kebungkaman dan ketidakpedulian mengerikan yang telah membuat kejahatan ini berlalu tanpa disadari juga dihukum selama lebih dari setengah abad.
___________________________________________
[1] Sebuah berita di New York Times pada April 1966 memberikan penjelasan berikut: “orang Indonesia itu lembut dan secara naluriah ramah, tetapi ada ciri Melayu yang aneh yang tersembunyi di balik senyum mereka, rasa haus darah yang terpendam dan penuh kegilaan. Ini telah memberi salah satu dari sedikit kata bahasa Melayu kepada bahasa-bahasa lainnya: ‘amok (amuk)’. Kali ini, seluruh bangsa ini tengah mengamuk”.
[2] Buku dari Robinson “Musim Menjagal” ini dibedah dalam Diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM yang diselenggarakan pada 09 Oktober 2018 dengan pemantik Najib Azca (Dosen FISIPOL UGM) dan Yoseph Yapi Taum (Wakil Direktur PUSDEMA USD).
[3] PKI merupakan partai komunis tertua di Asia yang menjadi partai komunis non-penguasa paling besar di dunia pada tahun 1965. Pada 1963, PKI mengklaim memiliki anggota terdaftar sekitar 3,5 juta orang dan sekitar 20 juta lainnya merupakan anggota organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Sutradara film “Sum” Firman Fajar Wiguna menerima penghargaan.
Film tersebut meraih dua penghargaan di Sodoc Tahun 2018. (Foto :Joko Santoso)
PURBALINGGA- Film
“Sum” karya sutradara Firman Fajar Wiguna produksi Brankas Film
SMA Negeri 2 Purbalingga menyabet dua penghargaan sekaligus diajang Solo
Documentary Film Festival (Sodoc) 2018.
Selain film terbaik kategori pelajar, film berdurasi 15
menit ini juga diganjar film favorit penonton. Penghargaan diterima saat malam
penganugerahan di Gedung Kethoprak Balekambang Surakarta, Sabtu (20/10)
malam.
“Sempat tidak menyangka akan dapat penghargaan film
terbaik, ditambah film favorit pula. Penghargaan ini tentu didedikasikan bagi
para penyintas tragedi ’65 yang tak pernah mendapat keadilan hingga saat ini,”
ungkap Firman yang berangkat ke Solo tanpa mengantongi izin pihak sekolah.
“Sum” berkisah seorang perempuan penyintas ’65 yang
berlatar bekas aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI). Setelah menghuni penjara
selama 13 tahun tanpa pengadilan, Sum yang bernama lengkap Suminah, hidup dalam
kesendirian. Hingga saat ini, ia terus menunggu berbaliknya realita zaman.
Ada 17 film dokumenter pelajar dari seluruh Indonesia
yang bersaing kemudian empat film terseleksi nominasi yang dinilai juri. Tiga
juri kategori pelajar antara lain Jason Iskandar, Steve Pillar Setiabudi, dan
Tomy Taslim.
Menurut Jason Iskandar, “Sum” menarik dan langka karena
menawarkan warna atau gaya baru film dokumenter pelajar tentang memori
seseorang yang memaparkan ingatannya kemudian di-capture pembuat film.
“Film ini bergaya dokumenter esai yang mengangkat
isu penting di Indonesia, terlebih ketika dibahas oleh pelajar,” tutur juri
yang aktif membuat dokumenter sejak masih pelajar.
Sebelumnya, “Sum” sempat menyabet film dokumenter terbaik
di ajang Festival Film Purbalingga (FFP) 2018 dan nominasi dokumenter pelajar
di Festival Film Kawal Harta Negara (FFKHN) 2018.
Sutradara film
“SUM”, Firman Fajar Wiguna dari Brankas Film SMA Negeri 2 Purbalingga tampil
sebagai pemenang film terbaik pada ajang Solo Documentary Film Festival (Sodoc)
2018. (Dok. CLC Purbalingga)
Purwokertokita.com – Film “SUM” yang berlatar
tragedi ’65 menyabet dua penghargaan sekaligus di ajang Solo Documentary Film
Festival (Sodoc) 2018 pada malam penganugerahan, Sabtu (20/10) malam di Gedung
Kethoprak Balekambang Surakarta.
Film garapan sutradara Firman Fajar Wiguna produksi
Brankas Film SMA Negeri 2 Purbalingga ini, berkisah tentang seorang perempuan
penyintas ’65 yang berlatar bekas aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI). Setelah
menghuni penjara selama 13 tahun tanpa pengadilan, Sum yang bernama lengkap
Suminah, hidup dalam kesendirian. Hingga saat ini, ia terus menunggu
berbaliknya realita zaman.
Selain meraih penghargaan sebagai film terbaik kategori
pelajar, film berdurasi 15 menit ini juga diganjar film favorit penonton.
“Sempat tidak menyangka akan dapat penghargaan film
terbaik, ditambah film favorit pula. Penghargaan ini tentu didedikasikan bagi
para penyintas tragedi ’65 yang tak pernah mendapat keadilan hingga saat ini,”
ungkap Firman.
Ada 17 film dokumenter pelajar dari seluruh Indonesia
yang bersaing pada ajang ini. Kemudian empat film terseleksi nominasi yang
dinilai juri. Tiga juri kategori pelajar antara lain Jason Iskandar, Steve
Pillar Setiabudi, dan Tomy Taslim.
Menurut Jason Iskandar, “Sum” menarik dan langka karena
menawarkan warna atau gaya baru film dokumenter pelajar tentang memori
seseorang yang memaparkan ingatannya kemudian di-capturepembuat film.
“Film ini bergaya dokumenter esai yang mengangkat isu
penting di Indonesia, terlebih ketika dibahas oleh pelajar,” tutur juri yang
aktif membuat dokumenter sejak masih pelajar.
Sebelumnya, “Sum” sempat menyabet film dokumenter terbaik
di ajang Festival Film Purbalingga (FFP) 2018 dan nominasi dokumenter pelajar
di Festival Film Kawal Harta Negara (FFKHN) 2018. (YS)
Amrus Natalsya! Hanya dia seorang diri saja lagi yang tertinggal alias tersisa. Sebagai tokoh eksponen dari komunitas seniman ASRI Sore yang pernah eksis dan berkibar di era awal tahun 1950-an.
Kini, pada tanggal 21 Oktober 2018, telah berulang tahun yang ke-85, menjelang ke-86 tahun.
Ultahnya telah dirayakan secara sederhana. Di Galerinya Amrus Bumi Tarung, di jalan Bata Alam, Lido - Cigombong, Bogor, Jawa Barat.
Disamping oleh keluarga dan kerabatnya. Juga dihadiri para seniman sahabat dekatnya. Antara lain Martin Aleida (sastrawan), EZ Halim (kolektor), Dolorosa Sinaga (pematung), Salim M. (Pelukis), isteri penyair Oey Hay Djoen. Dan beberapa seniman pelukis kalangan aktivis pejuang HAM lainnya. Termasuk di antaranya Yayak Yatmaka dan Yohanes Andreas Iswinarto.
Dalam satu dan dua tahun belakangan ini telah meninggal dunia 2 tokoh seniman komunitas ASRI Sore. Yaitu Arby Samah, dikenal selaku pematung abstrak asal dari Padang, dalam usia 83 tahun. Dan Soenarto PR, pelukis realis, dan ketua sesepuh Sanggar Bambu dalam usia 84 tahun. Menyusul kawan-kawan almarhum terdahulu, seperti Arwan Isa, Abdullah Siddiq, Abdullah Saleh, Gani Lubis dan Widodo.
Foto: Misbach Tamrin
Generasi mereka mewakili suatu angkatan penerus generasi pejuang kemerdekaan Revolusi Agustus 1945. Yang dipelopori triumvirat maestro legendaris "SAH" : Sudjojono, Affandi dan Hendra Gunawan. Yang tak asing lagi di khazanah senirupa Indonesia.
Amrus Natalsya, selain itu di samping pernah sebentar sebagai warga sanggar "Pelukis Rakyat" pimpinan Hendra, sebelumnya. Juga selaku ketua pendiri Sanggar Bumi Tarung (SBT) selama 4 tahun (1961 - 1965) di Yogyakarta. Sebelum tergusur rezim Orde Baru di peristiwa '65.
Kredit Foto: Misbach Tamrin
Hingga sekarang, jam terbang berkaryanya telah beranjak 64 tahun (1954 - 2018). Dengan berjibun karya-karya senirupanya yang tak terhitung. Tersebar dari di tanah air hingga di manca negara. Meliputi 3 genre media karya : patung kayu, lukisan kayu dan lukisan kanvas. Sekaligus 3 orde zaman, dirambah karier juang kesenimanannya : orde lama, orde baru dan orde reformasi.
Rencana Amrus Natalsya, jika masih ada khayat dikandung badan. Ia akan berupaya menyempatkan kesempatan pameran tunggal retropektif usia senjanya. Di ruang gedung Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 16 Februari 2019 mendatang