Febriana Firdaus | March 29, 2016 3:47 PM
Setara dan keluarga korban mengatakan tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran
TUNTUT KEADILAN. Aktivis Jaringan Solidaritas Korban
untuk Keadilan (JSKK) dan Kontras melakukan aksi Kamisan ke-436 di depan
Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/3). Dalam aksinya mereka menolak
upaya pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dengan keluarga korban
dalam menyelesaikan perkara dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu tanpa
melalui mekanisme hukum untuk mengungkap fakta. Foto oleh Wahyu Putro
A/Antara
JAKARTA, Indonesia — Keluarga korban pelanggaran berat hak asasi
manusia masa lalu meminta Presiden Joko 'Jokowi' Widodo membentuk komisi
kepresidenan untuk membantu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan
Kejaksaan Agung mengungkapkan kasus dan
melakukan validasi data serta mengawal proses penyelidikan dan penyidikan.
“Kami mengusulkan pemerintah membentuk semacam komisi kepresidenan yang beranggotakan
wise man (orang
bijak – Red) seperti Pak Syafii Maarif, Mustofa Bisri, Romo Magnis, dan
Ibu Kemala Candra Kirana,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Hendardi saat mendampingi keluarga korban menemui dua anggota Dewan
Pertimbangan Presiden, Selasa, 29 Maret.
Bila terbentuk, komisi tersebut, menurut Hendardi, harus
bertanggungjawab dan bekerja di bawah presiden. Pekerjaan utamanya
adalah membantu Komnas HAM dan Kejaksaan melakukan validasi data.
Hasilnya mengikat, bukan sekedar rekomendasi.
Mengapa harus komisi kepresidenan?
Menurut Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor
Naipospos, untuk menyelesaikan kasus HAM sebelumnya, ada dua
undang-undang yang dirujuk. Pertama, undang-undang nomor 26 tahun 2002
tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, dan kedua, undang-Undang nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Tapi undang-undang KKR dianulir berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi. Undang-undang itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang
baru.
“Karena tidak adanya undang-undang KKR ini, kami mengusulkan pada
pemerintah untuk membentuk semacam komisi kepresidenan untuk
menggantikan KKR itu,” ujar Bonar.
Tujuan komisi tersebut adalah mengungkap kebenaran dan menggiring
penyelesaian ke ranah yudisial, bukan sekedar non yudisial dan meminta
maaf.
“Karena rekonsiliasi itu hanya hasil dari proses yudisial dan non
yudisial. Tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran,” kata
Hendardi menambahkan.
Setara Institute dan keluarga korban juga menolak usulan tim gabungan
kejaksaan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi, Badan Intelijen
Negara (BIN).
Mengapa? “Mereka ini bagian dari masalah di masa lalu, kok malah
disuruh menyelesaikan masalah. Gagasan semacam ini tidak bisa kami
terima. Karena itu kita butuh komisi ini, terdiri dari
wise man,” katanya.
Prioritas dari komisi kepresidenan ini adalah membawa kasus
pelanggaran berat HAM masa lalu yang terjadi sejak kemerdekaan, atau
minimal 50 tahun lalu, ke pengadilan.
Tolak rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran
Lalu bagaimana perkembangan proses menyelesaian pelanggaran HAM berat
masa lalu? Hendardi mengatakan proses penyelesaian saat ini tak ada
kemajuan.
Proses Kasus HAM berat masa lalu dimulai dari penyelidikan oleh
Komnas HAM, jika sudah lengkap maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung
untuk dilakukan penyidikan.
Komnas HAM sebelumnya juga telah membentuk tim ad hoc Komisi
Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Orang Secara Paksa
(PPOSP) periode 1997-1998 dan menyimpulkan dalam laporan setebal 301
halaman, Tim Mawar adalah yang paling bertanggungjawab atas peristiwa
penculikan puluhan aktivis ini.
Tim Mawar merupakan sebuah tim yang dibentuk di bawah Grup IV Komando
Pasukan Khusus (Kopassus) berdasarkan perintah langsung dan tertulis
dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu Mayjen TNI Prabowo
Subianto.
Pada tahun 2006, Komnas HAM juga telah menyerahkan laporan itu ke
Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan terseut. Namun, Kejagung
menolak dengan dalih menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad Hoc.
Hingga hari ini, Kejaksaan belum pernah melakukan penyidikan atas kasus pelanggaran HAM berat.
Belakangan, pemerintah menyatakan
sedang menggodok opsi non yudisial dengan rekonsiliasi alias meminta
maaf. Keluarga korban telah menyatakan penolakan terhadap rencana
tersebut.
Soal rekonsiliasi ini, Jaksa Agung HM Prasetyo pernah berkata kepada
Rappler pada pertengahan 2015 lalu bahwa lembaganya sedang membahas
penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada 13 aktivis
1998 yang melibatkan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
“Yang kami uraikan, pendekatan penyelesaiannya secara non yudisial atau rekonsiliasi,” kata Prasetyo, Sabtu, 30 Agustus.
Kejaksaan Agung, menurut Prasetyo, sedang mengajak pihak lain untuk
mempertimbangkan opsi rekonsilasi ini sehingga kasus tersebut dapat
segera diselesaikan
Mengapa pilih jalan rekonsiliasi? “Karena itu perkara lama sekali, yakni tahun 1997. Mencari buktinya tidak mudah,” katanya.
Menanggapi sikap Kejaksaan Agung ini, keluarga korban tidak sepakat.
Hendardi dan Bonar dari Setara mengatakan, untuk itulah komisi
kepresidenan dibentuk, untuk memastikan kasus pelanggaran HAM berat
tidak hanya diselesaikan hanya dengan minta maaf.
18 tahun menunggu keadilan
Sementara itu, Sumarsih, Ruyati Darwin, dan Yayan yang merupakan
keluarga korban pelanggaran HAM berat mengaku masih berharap pada
Presiden Jokowi.
Karena itu mereka meminta dua anggota Watimpres, Sidarto Danusubroto
dan Sri Adiningsih untuk mengingatkan presiden akan janji nawacitanya.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak hanya masuk
dalam salah satu agenda prioritas pemerintah atau Nawa Cita butir ke-4
dan poin ke-9, tetapi juga tertuang dalam visi-misi pemerintah yang
berbunyi:
“Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih
menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan
Mei (1998), Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Orang secara Paksa
(1997-1998), Talangsari-Lampung (1989), Tanjung Priok (1984), Tragedi
1965-1966.”
Menurut Sumarsih, ibu dari salah satu korban tragedi Semanggi I,
Presiden Jokowi seharusnya menerbitkan surat keputusan presiden untuk
membentuk pengadilan ad hoc segera. Dia juga meminta Jokowi untuk
mengundang pejabat yang berkuasa saat itu untuk dimintai keterangannya,
seperti BJ Habibie, Wiranto, dan Kivlan Zein.
Yayan, bapak dari Ucok, salah satu korban penghilangan paksa, juga
menanti langkah tegas Presiden menyelesaikan kasus ini. “Kami meminta
khusus kepada Pak Watimpres supaya kami lebih tenang, agar dinyatakan
saja, anak kami sudah meninggal atau tidak.
Sementara itu Ruyati Darwin, yang merupakan salah satu orang tua
tragedi Mei 1998 juga mengatakan ia sudah 18 tahun menunggu keadilan,
tapi penyidikan di Kejaksaan Agung pun belum digelar.
“Pemerintah harus bertanggungjawab, karena sudah banyak ibu dan bapak
dari korban yang sudah meninggal di tengah-tengah perjuangan menuntut
keadilan. Semua ibu-ibu tragedi 1998 sudah kecewa, lelah, 18 tahun tidak
mendapat kepastian,” katanya.
“Saya berharap, semoga Bapak Jokowi memerintkan pada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti berkas-berkas,” katanya.
Akankah presiden tergerak? —Rappler.com
http://www.rappler.com/indonesia/127446-keluarga-korban-usul-pembentukan-komisi-kepresidenan