26/03/2016 16:20 WIB Arman Dhani
Ilustrasi ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Mereka dikirim pemerintah untuk belajar
ke luar negeri. Kegaduhan politik mengubah mereka menjadi eksil. Kini,
mereka berharap kembali diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Tirto.id – Ibrahim
Isa, seorang eksil Indonesia yang tinggal di Belanda, meninggal pada
Kamis 17 Maret 2016. Ia adalah satu dari sekian banyak orang Indonesia
yang terbuang di negeri orang tanpa bisa kembali ke Indonesia. Hingga
ajal menjemputnya pada usia 85 tahun, Ibrahim Isa masih berstatus
sebagai eksil dan tak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Republik
Indonesia.
Ibrahim Isa adalah salah satu perwakilan Afro-Asian People’s Solidarity Organization (AAPSO). Saat itu, ia tinggal di Kairo, Mesir. Pada
Januari 1966, Ibrahim Isa berbicara mewakili Indonesia dalam konferensi
Trikontinental di Kuba. Karena aktivitasnya ini, kewarganegaraan
Ibrahim Isa dicabut pemerintah Indonesia saat itu karena menganggapnya
sebagai agen Gestapu.
Dari Kuba, Isa mengungsi ke Cina. Ia kemudian
pindah ke Belanda pada 1987.
Isa
bukan satu-satunya eksil yang ada di Belanda. Ada Chalik Hamid dan
Sarmadji. Mereka adalah sebagian dari ratusan orang eksil 65 di Belanda
yang mau terbuka tentang kisah hidupnya.
Sumbing
muka kebijakan politik usai peristiwa 65 telah melahirkan pilu. Chalik
hamid adalah seorang sastrawan dari Lembaga Kebudajaan Rakjat,
organisasi kebudayaan yang dianggap di bawah naungan komunis. Ketika
Soekarno berkuasa, Chalik dikirim ke Albania untuk belajar
sinematografi. Nasib berbalik ketika Soeharto berkuasa. Paspor Chalik
dicabut dan dianggap bukan WNI.
Kehilangan status kewarganegaraan
membuat Chalik bernasib buruk, studinya berantakan. Untuk bertahan
hidup, ia bekerja sebagai montir. Nasib buruk tak hanya menimpa Chalik.
Istrinya yang ada di Indonesia bahkan ditangkap dan ditahan.
Pada
1989 kondisi Albania memburuk. Chalik pindah ke Belanda dan menjadi
warga negara di sana. Chalik baru bisa kembali ke Indonesia pada 1995,
saat itu istrinya telah memiliki suami baru. Kini, ia menghabiskan masa
tuanya di kawasan Amsterdam Utara dan masih aktif menulis sebagai
redaktur Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI).
Chalik
bukan satu satunya pemuda Indonesia yang dikirim untuk belajar ke luar
negeri. Banyak pemuda Indonesia dikirim belajar ke luar negeri sejalan
kebijakan politik pada masa Soekarno yang ingin memajukan negara.
Mahasiswa Indonesia dikirim untuk belajar di berbagai bidang studi,
antara lain teknik, kedokteran, pertanian, hingga sastra. Mereka dikirim
ke negara-negara yang memiliki kedekatan hubungan diplomatik dengan
Indonesia seperti Soviet, Cina dan negara-negara Eropa Timur seperti Ceko, Rumania, dan Albania.
Semua
berbuah menjadi bencana ketika peristiwa 65 terjadi. Para simpatisan
Soekarno dan Partai Komunis Indonesia menjadi pesakitan. Termasuk para
mahasiswa yang dikirim untuk belajar ke luar negeri. Mereka dituduh
sebagai simpatisan, agen, atau antek organisasi terlarang sehingga
kewarganegaraan mereka dicabut. Padahal, ada di antaranya yang sedang
menghadiri konferensi atau sekadar belajar tanpa tendensi ideologi.
Banyak juga para eksil 65 yang sebenarnya berseberangan dengan PKI.
Namun, mereka tetap diasingkan karena dianggap ancaman. Dalam film
terbaru dari Angga Sasongko yang berjudul “Surat dari Praha” gambaran itu ditangkap sempurna.
Saat
ini para eksil tinggal di negara negara eks komunis seperti Rumania dan
Albania. Ada pula yang tinggal di Rusia, Cina, dan Kuba. Beberapa eksil
juga hidup di Perancis, Belgia, Jerman Swedia, dan Belanda. Sebagian
dari mereka pada saat pemilu presiden 2014 turut berkampanye mendukung
Jokowi dengan harapan ada penegakan HAM dan mereka kembali diakui
sebagai warga negara.
Salah
satunya adalah Tom Iljas, 77 tahun, eksil Indonesia yang kini di
tinggal Swedia. Akhir tahun lalu, ia berniat untuk berdoa di makam
ayahnya yang merupakan korban pembunuhan massal saat tragedi 1965 di
Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Namun, Tom malah ditangkap polisi dan
imigrasi dengan tudingan membuat dokumentasi yang dianggap membahayakan
keamanan negara.
Tom
adalah salah satu mahasiswa teknik mekanisasi pertanian tahun 1960-an
yang dikirim oleh Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat ke Swedia.
Niat awal untuk melanjutkan sekolah berlanjut menjadi pembuangan
bertahun-tahun dan berakhir sebagai eksil di Swedia. Tom adalah salah
satu dari sekian banyak pelajar Indonesia yang tak bisa pulang karena
kondisi politik pasca-65.
Bagaimana
seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan menurut Undang-undang?
Berdasar UU no 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pasal 23 disebutkan
ada beberapa cara atau hal yang membuat seseorang kehilangan
kewarganegaraannya. Misalnya memperoleh kewarganegaraan lain atas
kemauannya sendiri; tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan
lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu.
Pencabutan kewarganegaraan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena membuat seorang individu menjadi stateless
(tanpa kewarganegaraan). Artinya, mereka tak punya hak untuk
mendapatkan perlindungan dan pelayanan publik dari negara, tempat ia
tergabung. Banyak warga negara Indonesia kelahiran sebelum 45 yang
menjadi eksil kemudian mencari suaka di Belanda karena masih dianggap
sebagai warga negara Nederlandsch-Indische.
Dalam
konteks politik pasca-peristiwa 65, banyak pelajar Indonesia yang
dinyatakan hilang kewarganegaraannya tanpa alasan jelas. Tidak ada
alasan bagi pemerintah Indonesia untuk mengasingkan seseorang hanya
karena kecurigaaan ideologi politik. Menurut undang-undang yang berlaku,
pemerintah hari ini semestinya bisa mengembalikan status
kewarganegaraan para eksil yang dibuang itu. Jangan sampai mereka yang
awalnya dikirim untuk memajukan bangsa, kemudian mati sendiri di tanah
asing tanpa ada rekonsiliasi dari pemerintah.
http://beta.tirto.id/20160326-mild-research/yang-terasing-dan-dipinggirkan-kisah-pilu-eksil-di-pengasingan-69063/
0 komentar:
Posting Komentar