Sabtu, 26/03/2016 21:11 WIB
Para eksil antusias
menyaksikan Sidang Rakyat Internasional 1965 yang digelar di Den Haag,
Belanda, November 2015. (Dok. Akun Flickr International People's
Tribunal Media)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Salah satu korban peristiwa 1965, Endang Darsa,
meminta pemerintah Republik Indonesia merehabilitasi para eksil 1965.
Mereka terjebak menjadi orang buangan pasca-tragedi 1965 saat sedang
menuntut ilmu di negeri orang tanpa tahu apa yang terjadi di Indonesia.
“Kami tak menutut apapun selain pemerintah dapat merehabilitasi para eksil 1965. Karena jika kami menuntut di pengadilan, Kodam, Kodim, Kepala Polisi seluruh Indonesia (yang menjabat) pada saat itu, semua akan kena," kata Endang yang kini berusia 70 tahun itu di Jakarta.
Endang juga meminta pemerintahan Jokowi untuk mengakui keberadaannya sebagai korban 1965. “Sejak dulu kami dikucilkan dan ditutupi oleh pemerintah. Katanya peristiwa 1965 itu enggak ada, padahal tiga juta orang yang dianggap komunis dibunuh.”
Endang mengemukakan hal itu usai menonton film ‘Saudara dalam Sejarah’ karya Amerta Kusuma yang bercerita tentang perjuangan para eksil 1965 setelah paspor mereka dicabut mendadak oleh rezim Orde Baru.
Peristiwa 1965 bermula dengan Gerakan 30 September, saat sejumlah perwira tinggi militer RI dibunuh, memicu pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia terhadap orang-orang yang dianggap komunis atau ‘kiri’.
Pada masa kelam itu, para pendukung Soekarno ditumpas. Maka para mahasiswa Indonesia yang disekolahkah Soekarno ke luar negeri sekejap menjadi orang buangan.
Film Saudara dalam Sejarah diapresiasi Endang dan pihak-pihak yang ingin agar peristiwa 1965 diungkap dan sejarah diluruskan. “Saya dukung karena (film ini) ditunjukkan untuk membela kami para korban 1965,” ujar Endang.
Salah satu perwakilan generasi muda yang menonton Saudara dalam Sejarah, mahasiswa Universitas Indonesia Ausof Ali, kini tengah menulis tugas akhir tentang eksil 1965.
Menurut Ali, orang-orang buangan itu bukan orang biasa. “Mereka ada yang duta besar, sastrawan, dan lain-lain. Saya semakin tertarik dan terus mencari profil para eksil 1965," kata Ali.
Sampai saat ini dia masih terus menelusuri data-data tentang para eksil 1965. "Untuk mengumpulkan sumber tentang eksil 1965 ini memakan waktu dua tahun," tutur Ali.
Ia mendorong kaum muda Indonesia terus mempelajari sejarah demi menguak kebenaran yang selama ini terkubur. "Apalagi sekarang lebih mudah melakukan ekspose melalui media sosial. Maksimalkan apa yang tidak pernah terekspose pada masa itu," ucap Ali.
Jurnalis fotografer Antara, Rosa Panggabean yang menayangkan koleksi foto digital tentang para eksil 1965, mengatakan banyak yang tertarik melihat foto dan sejumlah tulisannya mengenai kaum eksil setelah ia merilis fotonya di Antara.
“Banyak sekali yang membaca karena semakin ditutupi, orang semakin ingin tahu," ujarnya.
Rosa sempat mengikuti kehidupan sehari-hari eksil 1965 yang tinggal di Belanda seperti Ibrahim Isa dan Chalik Hamid.
Ibrahim Isa ialah politikus dan diplomat Indonesia sebelum paspornya dicabut karena dianggap bagian dari Soekarnois. Pria asal Minang itu hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain sebelum akhirnya meminta suaka politik ke Belanda dan menetap di Negeri Kincir Angin itu.
Sementara Chalik Hamid ialah sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia yang dilarang setelah G30S. Chalik yang dikirim ke Albania awal 1965 untuk belajar sinematografi terpaksa bekerja sebagai montir setelah paspornya dicabut, sementara istrinya di Indonesia ditangkap dan ditahan. Ia kini tinggal di Amsterdam, Belanda, seperti Ibrahim Isa.
Menurut Rosa, ia bertemu sembilan orang eksil 1965 di Amsterdam. “Tapi mereka takut keluarga mereka yang lain masih terimbas jika ceritanya dieskpose di media," ujarnya.
Saat Pengadilan Rakyat Internasional soal Kejahatan Kemanusiaan di Indonesia pada periode 1965 (International People’s Tribunal 1965) digelar di Den Haag, Belanda, November 2015 misalnya, para eksil itu berdatangan. Mereka antusias ingin fakta tentang tragedi 1965 terungkap.
Pekan lalu, 17 Maret, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah menargetkan pengungkapan
tujuh kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, termasuk tragedi 1965,
bisa tuntas awal Mei.
Luhut menyatakan pemerintah memilih metode penyelesaian nonyudisial atau rekonsiliasi karena menganggap penegakan hukum atas kasus-kasus itu tak mungkin dilakukan.
“Pertanyaan saya, terkait peristiwa 1965 itu siapa yang mau dihukum? Siapa yang salah? Itu kan sebab akibat. Biarlah dengan cara ini (rekonsiliasi) kami selesaikan,” kata Luhut.
Pemerintah, ujar Luhut, juga sulit untuk memenuhi permintaan rehabilitasi dan ganti rugi yang diajukan keluarga korban, sebab menurutnya tak terdapat alat bukti yang dapat menjadi dasar permintaan tersebut.
Untuk mewujudkan target penyelesaian pelanggaran HAM awal Mei, pemerintah akan menggelar forum publik yang detailnya akan dibahas lebih lanjut. Forum publik itu direncanakan dimulai pada 4 April. (agk)
“Kami tak menutut apapun selain pemerintah dapat merehabilitasi para eksil 1965. Karena jika kami menuntut di pengadilan, Kodam, Kodim, Kepala Polisi seluruh Indonesia (yang menjabat) pada saat itu, semua akan kena," kata Endang yang kini berusia 70 tahun itu di Jakarta.
Endang juga meminta pemerintahan Jokowi untuk mengakui keberadaannya sebagai korban 1965. “Sejak dulu kami dikucilkan dan ditutupi oleh pemerintah. Katanya peristiwa 1965 itu enggak ada, padahal tiga juta orang yang dianggap komunis dibunuh.”
Endang mengemukakan hal itu usai menonton film ‘Saudara dalam Sejarah’ karya Amerta Kusuma yang bercerita tentang perjuangan para eksil 1965 setelah paspor mereka dicabut mendadak oleh rezim Orde Baru.
Peristiwa 1965 bermula dengan Gerakan 30 September, saat sejumlah perwira tinggi militer RI dibunuh, memicu pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia terhadap orang-orang yang dianggap komunis atau ‘kiri’.
Pada masa kelam itu, para pendukung Soekarno ditumpas. Maka para mahasiswa Indonesia yang disekolahkah Soekarno ke luar negeri sekejap menjadi orang buangan.
Film Saudara dalam Sejarah diapresiasi Endang dan pihak-pihak yang ingin agar peristiwa 1965 diungkap dan sejarah diluruskan. “Saya dukung karena (film ini) ditunjukkan untuk membela kami para korban 1965,” ujar Endang.
|
Menurut Ali, orang-orang buangan itu bukan orang biasa. “Mereka ada yang duta besar, sastrawan, dan lain-lain. Saya semakin tertarik dan terus mencari profil para eksil 1965," kata Ali.
Sampai saat ini dia masih terus menelusuri data-data tentang para eksil 1965. "Untuk mengumpulkan sumber tentang eksil 1965 ini memakan waktu dua tahun," tutur Ali.
Ia mendorong kaum muda Indonesia terus mempelajari sejarah demi menguak kebenaran yang selama ini terkubur. "Apalagi sekarang lebih mudah melakukan ekspose melalui media sosial. Maksimalkan apa yang tidak pernah terekspose pada masa itu," ucap Ali.
Jurnalis fotografer Antara, Rosa Panggabean yang menayangkan koleksi foto digital tentang para eksil 1965, mengatakan banyak yang tertarik melihat foto dan sejumlah tulisannya mengenai kaum eksil setelah ia merilis fotonya di Antara.
“Banyak sekali yang membaca karena semakin ditutupi, orang semakin ingin tahu," ujarnya.
|
Ibrahim Isa ialah politikus dan diplomat Indonesia sebelum paspornya dicabut karena dianggap bagian dari Soekarnois. Pria asal Minang itu hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain sebelum akhirnya meminta suaka politik ke Belanda dan menetap di Negeri Kincir Angin itu.
Sementara Chalik Hamid ialah sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia yang dilarang setelah G30S. Chalik yang dikirim ke Albania awal 1965 untuk belajar sinematografi terpaksa bekerja sebagai montir setelah paspornya dicabut, sementara istrinya di Indonesia ditangkap dan ditahan. Ia kini tinggal di Amsterdam, Belanda, seperti Ibrahim Isa.
Menurut Rosa, ia bertemu sembilan orang eksil 1965 di Amsterdam. “Tapi mereka takut keluarga mereka yang lain masih terimbas jika ceritanya dieskpose di media," ujarnya.
Saat Pengadilan Rakyat Internasional soal Kejahatan Kemanusiaan di Indonesia pada periode 1965 (International People’s Tribunal 1965) digelar di Den Haag, Belanda, November 2015 misalnya, para eksil itu berdatangan. Mereka antusias ingin fakta tentang tragedi 1965 terungkap.
|
Luhut menyatakan pemerintah memilih metode penyelesaian nonyudisial atau rekonsiliasi karena menganggap penegakan hukum atas kasus-kasus itu tak mungkin dilakukan.
“Pertanyaan saya, terkait peristiwa 1965 itu siapa yang mau dihukum? Siapa yang salah? Itu kan sebab akibat. Biarlah dengan cara ini (rekonsiliasi) kami selesaikan,” kata Luhut.
Pemerintah, ujar Luhut, juga sulit untuk memenuhi permintaan rehabilitasi dan ganti rugi yang diajukan keluarga korban, sebab menurutnya tak terdapat alat bukti yang dapat menjadi dasar permintaan tersebut.
Untuk mewujudkan target penyelesaian pelanggaran HAM awal Mei, pemerintah akan menggelar forum publik yang detailnya akan dibahas lebih lanjut. Forum publik itu direncanakan dimulai pada 4 April. (agk)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160326191159-20-119841/korban-1965-tuntut-pemerintah-rehabilitasi-kaum-eksil/
0 komentar:
Posting Komentar