Kamis, 24 Maret 2016 | 18:43 WIB
Sejumlah aktivis KontraS yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas
Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan aksi Kamisan ke-298 di depan
Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/3/2013). Aksi tersebut untuk
kembali memberikan masukan dan desakan kepada Bapak Presiden atas
lambannya penanganan peristiwa Pelanggaran HAM oleh pemerintah yang
mengakibatkan keadilan dan kepastian hukum bagi korban menjadi terus
terabaikan. Kamisan ini juga memperingati 15 tahun berdirinya Komisi
untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 20
Maret, kemarin.
___________
JAKARTA, KOMPAS.com -
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras), Feri Kusuma mengatakan, alasan pemerintah
yang kesulitan mencari alat bukti kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak
bisa dibenarkan.
Feri mengatakan, alasan tersebut sebenarnya tidak logis, mengingat pemerintah sendiri belum melakukan proses penyidikan.
"Bagaimana bisa pemerintah bilang sulit menemukan alat bukti jika penyidikannya belum dilakukan," ujar Feri ketika ditemui saat Aksi Kamisan ke-436, di depan Istana Merdeka, Kamis (24/3/2016).
"Kalau penyidikannya sudah dijalankan baru bisa disimpulkan," kata dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam pengadilan diperlukan minimal dua alat bukti. Sementara keterangan dari saksi dan korban bisa dijadikan alat bukti.
Kedua, pemerintah bisa menggunakan hasil penyelidikan yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM.
Dua hal tersebut, kata Feri, sudah cukup sebagai alat bukti. Langkah lain, tinggal diperdalam dalam proses penyidikan untuk menggali informasi, mencari pelaku dan menetapkan tersangka.
"Bukti-bukti awal dari penyelidikan Komnas HAM sudah cukup. Bukti yang bagaimana lagi?" ujar Feri.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya menyebutkan, perkara-perkara tersebut akan selesai pada bulan Mei 2016.
"Sekarang sudah mau rampung. Kami harap, 2 Mei 2016 sudah bisa dituntaskan," ujar Luhut di kantornya, Kamis (17/3/2016).
Terdapat enam perkara HAM berat yang akan dituntaskan, yakni peristiwa 1965, Talangsari, penembak misterius, tragedi Semanggi I dan II, tragedi Wasior-Wamena dan penghilangan aktivis secara paksa.
Penuntasan perkara tersebut, menurut Luhut, akan dilaksanakan melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi. Cara tersebut sudah pasti dilaksanakan mengingat sulit jika ditempuh dengan jalan yudisial atau proses hukum.
"Kami mau cari buktinya gimana? Makanya saya tantang, kalau ada yang bisa bawa bukti, yang mau dihukum siapa, bawa ke sini. Kami akan adili," kata Luhut.
"Kami cari alat buktinya sudah enggak ada, makanya kami bawa ini ke ranah non yudisial," ujarnya.
Luhut memastikan, penyelesaian perkara HAM berat tersebut juga akan diiringi dengan pemenuhan hak-hak terhadap korban atau keluarganya.
Feri mengatakan, alasan tersebut sebenarnya tidak logis, mengingat pemerintah sendiri belum melakukan proses penyidikan.
"Bagaimana bisa pemerintah bilang sulit menemukan alat bukti jika penyidikannya belum dilakukan," ujar Feri ketika ditemui saat Aksi Kamisan ke-436, di depan Istana Merdeka, Kamis (24/3/2016).
"Kalau penyidikannya sudah dijalankan baru bisa disimpulkan," kata dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam pengadilan diperlukan minimal dua alat bukti. Sementara keterangan dari saksi dan korban bisa dijadikan alat bukti.
Kedua, pemerintah bisa menggunakan hasil penyelidikan yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM.
Dua hal tersebut, kata Feri, sudah cukup sebagai alat bukti. Langkah lain, tinggal diperdalam dalam proses penyidikan untuk menggali informasi, mencari pelaku dan menetapkan tersangka.
"Bukti-bukti awal dari penyelidikan Komnas HAM sudah cukup. Bukti yang bagaimana lagi?" ujar Feri.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya menyebutkan, perkara-perkara tersebut akan selesai pada bulan Mei 2016.
"Sekarang sudah mau rampung. Kami harap, 2 Mei 2016 sudah bisa dituntaskan," ujar Luhut di kantornya, Kamis (17/3/2016).
Terdapat enam perkara HAM berat yang akan dituntaskan, yakni peristiwa 1965, Talangsari, penembak misterius, tragedi Semanggi I dan II, tragedi Wasior-Wamena dan penghilangan aktivis secara paksa.
Penuntasan perkara tersebut, menurut Luhut, akan dilaksanakan melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi. Cara tersebut sudah pasti dilaksanakan mengingat sulit jika ditempuh dengan jalan yudisial atau proses hukum.
"Kami mau cari buktinya gimana? Makanya saya tantang, kalau ada yang bisa bawa bukti, yang mau dihukum siapa, bawa ke sini. Kami akan adili," kata Luhut.
"Kami cari alat buktinya sudah enggak ada, makanya kami bawa ini ke ranah non yudisial," ujarnya.
Luhut memastikan, penyelesaian perkara HAM berat tersebut juga akan diiringi dengan pemenuhan hak-hak terhadap korban atau keluarganya.
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Bayu Galih |
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/24/18433371/Pemerintah.Dinilai.Miliki.Cukup.Bukti.untuk.Menyidik.Pelanggaran.HAM.Masa.Lalu
0 komentar:
Posting Komentar