March 31, 2016
PAK KARTO (nama samaran) adalah seorang
teman keluarga. Dia sering datang untuk berkunjung, dari rumahnya di
lereng gunung berapi Arjuna. Sepanjang hidupnya, ia bekerja di kebun teh
dekat puncak gunung berapi. Sekarang dia telah pensiun dan merawat
taman besarnya sendiri, di mana ia menanam singkong dan buah-buahan. Dia
berusia awal 60an, berperawakan kecil, berbaju rapi, dan berwatak
lembut. Dengan suara dalam yang kuat, ia berbagi pengetahuannya yang
luas tentang budaya Jawa. Tapi dia tak pernah mengatakan kepada kami
bahwa ia terlibat dalam suatu pembunuhan massal yang paling mengerikan
di Jawa Timur: korban yang dikuburnya di dekat Kebon Raya Purwodadi.
Ia dibesarkan di daerah Lor, kampung
Utara, tidak jauh dari rumah kami. Dulunya, kampung ini adalah kampung
nasionalis, orang-orang menganggap diri mereka Marhaenis, pengikut setia
Presiden Sukarno. Kepercayaan mereka tidak terpisahkan dari agama Jawa
kuno, dengan sesajennya. Ini berbeda dengan lingkungan sekitar masjid
besar di sepanjang jalan menuju Malang, Kedul, Kampung selatan. Di Kedul
ada beberapa sekolah agama dan orang-orang menaati ibadah ketat dari
NU. Para pemuda mempunyai kelompok mereka sendiri, termasuk drumband
dan himpunan sembahyang. Beberapa anak dari lingkungan sekitar rumah
kami, Lor, juga bergabung dalam kegiatan tersebut, seperti Bu Ning
(semasa dia kanak-kanak). Meskipun pembagian antara dua lingkungan di
satu desa ini cukup nyata dan diakui, mereka menghormati satu sama lain.
Mereka semua umat Islam dengan berbagai warna. Setelah 1 Oktober 1965,
hal ini berubah. Beberapa pemuda dari Kedul, lingkungan dengan masjid
yang sudah bergabung dengan kelompok pemuda NU, Ansor, terlibat dalam
pembunuhan massal. Tapi bukan hanya mereka.
Pada salah satu kunjungan Pak Karto,
kita mengobrol tentang pembantaian 1965-66 di kampung Lor. Hari
sebelumnya, dua perempuan yang bersahabat akrab, Bu Ning (nama samaran)
dan Bu Parti (nama samaran), siswi SD pada saat itu, mengenang periode
ini.
Dalam perjalanan mereka ke sekolah, mereka sering melihat penggalan tubuh. Sungai yang jernih, kata mereka, diwarnai merah dari darah. Bu Parti bertanya kepada temannya, bu Ning,
Dalam perjalanan mereka ke sekolah, mereka sering melihat penggalan tubuh. Sungai yang jernih, kata mereka, diwarnai merah dari darah. Bu Parti bertanya kepada temannya, bu Ning,
“Bu, ingat Ibu Siong? Saya yakin, dia meninggal karena diperkosa dan dibunuh oleh pembunuh suaminya sendiri?” Bu Ning tidak begitu ingat. “Maksud bu Parti, penjahit dekat sekolah kami?” Karena mereka berdua tidak pasti tentang apa yang terjadi pada Ibu Siong, Bu Ning bertanya kepada Pak Karto, yang beberapa tahun lebih tua.
Pak Karto mengangguk – ketika itu, ia
masih SMP dan menyaksikan pemandangan serupa.
“Tapi kisah tentang Ibu Siong sangat berbeda”, tambahnya. Bu Ning menatapnya dengan heran. “Dia tidak dibunuh oleh pembunuh suaminya, tapi bertahun-tahun kemudian dia dirampok, dan dipaksa untuk menikahi penyerangnya. Dia merasa dia terus diperkosa dalam pernikahan ini, jatuh sakit dan meninggal.”
“Bagaimana pak Karto tahu itu?”
“Karena saya ada di sana, ketika Pak Siong dihabisi”, kata Pak Karto. “Saya menyaksikan semua itu. Tapi saya tidak pernah mengatakan kepada siapapun. Bahkan istri dan anak-anak saya tidak tahu keterlibatan saya dalam pembunuhan tersebut. Ini adalah rahasia yang telah lama ingin saya ungkap dengan Ibu.” Dia kemudian terbata-bata, emosional, terkait dengan apa yang dia alami pada bulan-bulan yang mengerikan itu.
“Ketika Siong dibunuh, saya baru berusia 16 tahun. Saat itu, Desember 1965: saya dibangunkan sekitar jam 11, oleh Tasrif (nama samaran). Ayo dik, dia berkata kepada saya, kita akan menjemput Siong. Tasrif adalah teman sekolah saya; dia sedikit lebih tua. Dia membawa parang panjang dan diikuti oleh sekelompok pemuda – semuanya anggota Ansor/Banser. Saya tidak ikut kelompok itu, karena saya masih terlalu muda dan tetap tinggal di kampung saya Lor. Siong adalah pelatih tim sepak bola lokal. Dia ganteng sekali, berumur 26 atau 27 tahun, dan terkenal di lingkungannya. Ia sudah menikah, tetapi pasangan ini tidak mempunyai anak. Dia biasa dipanggil ke pertemuan tim sepak bola di kantor kelurahan. Tapi kali itu, sudah malam sekali waktu dia dipanggil. Dia baru saja tertidur ketika mereka membangunkannya, dan memintanya keluar untuk hadir ke pertemuan. Pak Siong mengatakan bahwa dia masih berbaju tidur, dengan singlet dan sarung, jadi dia mau ganti baju yang lebih layak. Tidak perlu, kata mereka, lalu menyeret lengannya ke kantor kelurahan. Dua belas lelaki totalnya saat itu yang mengelilingi Siong, dan tanpa banyak cakap, ia ditebas, pertama dengan parang di kepalanya, kemudian di wajahnya. Kemudian kulit dirobek dari lengannya dan tenggorokannya digorok.”
Hari itu, Pak Karto dengan tersendat,
sesekali menangis di hadapan kami, tersedak, mengungkap hal-hal buruk
yang ia saksikan dan bahkan terlibat, pada 1965-1966. Dia telah bungkam
selama ini, hampir 50 tahun. Tak seorang pun dari keluarganya mengetahui
apapun tentang hal itu. Dia begitu takut. Dia kuatir bahwa kami
sekarang akan memandangnya sebagai jagal atau algojo. Bahwa keluarganya
akan marah besar, dan bahwa, sedikit saja rahasia ini terkuak, mereka
akan diganggu oleh fundamentalis Muslim tetangga mereka. Bahwa mereka
akan dilihat sebagai syirik, pengkhianat Islam. Hal ini harus disimpan
rapat-rapat di antara kami.
Dalam bulan-bulan berikut, kami bertemu
lagi beberapa kali dan kisah-kisah selanjutnya terungkap. Suatu kali, ia
mengatakan bahwa bukan Bu Siong yang diperkosa dan dipaksa menikahi
pembunuh suaminya serta pemerkosa sendiri, seperti yang dikisahkan Bu
Ning dan Bu Parti. Hal itu terjadi pada Pak Sanosi, pemimpin Pemuda
Rakyat. Dia adalah seorang pemuda berusia tidak lebih dari 30 tahun, dan
memiliki istri yang cantik sekali. Ia seksi, selalu berpakaian anggun,
dan menjadi kembang desa. Kain yang dipakainya agak pendek, sehingga
pergelangan kakinya terlihat, dan dia berjalan dengan begitu elegan.
Pasangan ini tidak memiliki anak. Pak Ansori (nama samaran), seorang
pemimpin dari Banser, begitu bernafsu mendapatkan perempuan ini,
sehingga ia mengatur pembunuhan Pak Sanosi supaya bisa menikahi
istrinya.
Beberapa bulan kemudian, Pak Karto
setuju bahwa ceritanya harus diketahui lebih luas, tapi ia meminta
identitasnya dirahasiakan. Pada 9 Agustus 2014, saya mewawancarainya
secara resmi dan bertanya kepadanya mengapa dan bagaimana Pak Siong
dibunuh, serta apa saja yang terjadi. Berikut adalah kutipan dari
wawancara itu:
Pak Karto: “Siong
lelaki yang cukup ngetop. Dia dan istrinya adalah penjahit. Tempat kerja
mereka di dalam rumah bambu, di ujung jalan utama dari Surabaya ke
Malang. Tapi Pak Siong mempunyai kelebihan, dia adalah seorang pelatih
sepak bola yang andal. Dia terkenal dengan keahliannya ini di Purwodadi.
Tapi ia hanya melatih anggota PKI atau BTI. Dia tidak pernah mengundang
orang-orang dari kelompok Muslim untuk pelatihan. Inilah yang membuat
mereka sakit hati. Perasaan marah dan cemburu meningkat karena ia Cina.
Jadi tiga pemimpin Ansor/Banser, Pak Taufan (nama samaran), Pak Salim
(nama samaran) dan Pak Ansori memutuskan untuk membunuhnya. Orang-orang
ini sering mengunjungi rumah kami. Pak Ansori adalah famili dari
keluarga bibi saya. Suatu malam, orang tua dan adik-adik saya tidak tahu
apa-apa tentang hal ini, mereka meminta saya untuk bergabung dengan
mereka. Saya harus membawa lampu minyak besar, karena waktu itu gelap
gulita, masih belum ada listrik.
Sesudah kita menjemput Pak Siong dan
membawanya ke kantor kecamatan, ia diberitahu: Kamu adalah orang Cina
dan waktu kamu memberikan pelatihan, kamu tidak adil. Ini adalah upahmu.
Dan dia dipukul kepalanya dengan pisau.
Dia berteriak karena kesakitan,
lalu jatuh berguling-guling di tanah. Dia dipukul lagi pada mulutnya
dengan pisau, oleh orang lain. Kemudian mereka mengulitinya dan membabat
daging dari tubuhnya. Pisau yang mereka gunakan sangat tajam. Tak lama
kemudian, dia meninggal. Jenazahnya dibawa ke pinggir jalan, dan dibuang
di parit, sekitar 50 meter di utara gerbang kecamatan. Ada air yang
mengalir di parit itu. Tubuhnya tinggal di sana sampai pagi. Kemudian
Pak Salim, yang merupakan anggota PNI, diberitahu untuk mengubur
mayatnya. Dia membawa 4 orang bersamanya, termasuk saya. Kami membungkus
mayat itu dengan kain putih. Darahnya sudah mengering.
Istri Pak Siong datang untuk mengetahui
suaminya sudah dibunuh, keesokan harinya. Dia tetap tinggal di rumah
mereka, dan menjahit. Tapi sekitar tahun 1986 seorang pria datang ke
rumahnya dan meminta perhiasannya. Dia diberitahu untuk tidak menolak,
tapi tetap memberontak, lalu diperkosa, kemudian harus menikah dengan
pria yang memperkosanya. Tak lama setelah itu, ia meninggal. Saya tidak
tahu siapa penyerangnya, apakah anggota Banser atau tidak.”
Setelah malam mengerikan, menjadi saksi
Pak Siong dibunuh, Pak Karto “diundang” lagi untuk bergabung dengan para
jagal. Dan dia diberitahu, ia juga akan dibunuh kalau menolak. Selama
satu bulan ia harus bergabung dengan geng Ansor/Banser pembunuh,
bertugas membawa petromax, lampu minyak besar untuk menerangi jalan dan
adegan pembunuhan. Jadi dari dekat, ia menyaksikan apa yang terjadi.
Setiap malam selama minimal 30 hari dalam bulan Februari dan Maret 1966,
truk yang dipenuhi muatan manusia akan tiba, mulut mereka tersumbat,
tangan mereka di belakang dengan jempol terikat. Mereka dikirim oleh
militer, dari kantor Koramil, dimana beberapa anggota Banser akan
bergabung dan menaikkan mereka ke truk yang disita. Lalu, mereka
diturunkan dari truk terbuka sekitar tengah malam, di tengah Kebun Raya.
Sebuah anak sungai mengaliri taman itu,
yang membuat kelokan curam – di tempat tersebut lubang besar telah
digali, seluas 5 x 5 meter dan 3 meter dalamnya, untuk membangun kolam
ikan. Tapi lubang tersebut tak akan pernah digunakan untuk tujuan
semula. Para tahanan setelah diturunkan, diseret ke tepi. Mereka
diperintahkan untuk berlutut dan tenggorokan mereka digorok.
Kadang-kadang telinga dan hidung mereka dipotong bahkan juga alat
kelamin mereka. Atau mata mereka dicungkil. Kemudian, mereka ditebas
sampai mati, lalu didorong ke depan hingga terlempar ke dalam lobang,
berturut-turut. Mayat mereka kemudian ditutupi pasir, sehingga malam
berikutnya sekelompok tahanan baru bisa dibunuh.
Pak Ansori dan Pak Taufan yang paling
sadis, menurut Pak Karto. Mereka bahkan senang bermain-main dengan
telinga yang mereka potong. Tapi Pak Salim, pemimpin lokal dari PNI,
sudah benar-benar gila. Dia pulang membawa alat kelamin dan mata salah
satu korban dan meminta ibunya menggorengkan, untuk dia makan. Tapi
melihat itu, ibunya langsung pingsan sehingga ia goreng semua sendiri.
Mata itu ia masak seperti memasak bekicot, dan memang rasanya hampir
sama, kata pak Salim kepada teman-teman. Mereka semua juga akan meminum
darah korban, untuk menjadi kuat dan tidak membiarkan pembunuhan
mempengaruhi mereka.
Mengapa semua orang ini dibunuh, saya bertanya? Apakah memang sudah ada bentrokan serius antara PKI dan NU?
Pak Karto: “Pada
masa-masa menjelang pembunuhan, situasi memang tegang di daerah kami,
tetapi tidak ada konflik besar. Gerakan pemuda PKI dan Pemuda Rakyat
sebenarnya lemah. Gerwani dan BTI juga punya pengikut, tapi tidak ada
bentrokan di distrik kami Purwodadi. Mereka jauh kalah jumlah dengan
gerakan pemuda NU, Ansor, juga kalah dengan kelompok paramiliter dari NU
dan Ansor, Banser.
Anggota Banser biasanya lebih tua dari
anggota Ansor, dan lebih sadar politik. Tetapi mereka sering bergerak
bersama-sama. Di wilayah ini, mereka sering mengadakan parade, di mana
mereka akan berbaris mengenakan seragam mereka, Banser dengan seragam
hitam dan pisau tajam terselip ikat pinggang mereka. Orang-orang akan
menonton mereka lewat berbondong-bondong, mereka begitu militan dan
gagah, dengan seragam menyerupai tentara kerajaan Inggris atau Belanda.
Setiap desa memiliki grup Ansor sendiri, dan mereka akan bersaing satu
sama lain dengan berbaris supaya tampak paling tangguh. PR dan Gerwani
hampir tidak pernah kelihatan. Pak Taufan adalah pemimpin dari Ansor dan
Banser, Pak Ansori hanya dari kelompok Banser.
Kemudian, semua siaran radio terdengar,
bahwa ada masalah di Jakarta. PKI telah melakukan tindakan ekstrimis,
sehingga semua organisasi yang berafiliasi dengan PKI harus dibasmi
(dibumihanguskan). Radio memberitahu kami bahwa PKI adalah sebuah
organisasi ateis. Jadi semua pemimpin agama sudah siap. Militer,
Pangkostrad (yaitu Soeharto), menginstruksikan para pemimpin agama, dan
orang-orang dari semua lapisan masyarakat mempelajari apa saja yang
harus mereka lakukan. Tentu saja Ansor dan Banser segera mengikuti
petunjuk dari para pemimpin mereka.
Kami juga mendengar bahwa anggota
Gerwani telah ikut membunuh para jenderal, dengan pisau. Dan bahwa
mereka menari dan menyanyikan lagu “Genjer-genjer”. Ini sebenarnya lagu
dari daerah Banyuwangi, di bagian timur Jawa (ia menyanyikan beberapa
baris). Di wilayah ini, semua anak-anak sekolah hafal dengan nyanyian
itu, karena memang lagunya sangat populer. Tapi kita mengetahui tentang
semua ini yang paling langsung, adalah dari kelompok-kelompok Muslim,
khususnya kiai.
Kiai di desa-desa segera menelepon
orang-orang untuk pertemuan besar. Tidak ada orang-orang militer, hanya
kiai, tetapi mereka diperintahkan oleh militer, dari Kodim dan kantor
koramil. Anggota Koramil mengunjungi kiai ini dan meminta mereka untuk
mempersiapkan laskar Ansor untuk membela Negara. Milisi diperintahkan
untuk membasmi semua asosiasi PKI di wilayah tersebut. Koramil sudah
memiliki daftar nama-nama para pemimpin yang harus dibunuh. Mereka
mendapat data ini dari pemerintah desa. Semua orang tahu di mana
kelompok-kelompok PKI setempat berkumpul dan siapa saja pemimpinnya.
Pada saat itu, tidak ada demonstrasi
besar. Daftar dibuat, kelompok Ansor dan Banser menerima instruksi dan
kemudian beberapa orang diculik secara diam-diam. Mereka semua
dikumpulkan di kantor Koramil. Ini dimulai pada bulan November. Pada
bulan Febuari pembunuhan massal terjadi, pada bulan Maret semua telah
rampung. Dari para tahanan yang tersisa, banyak di antara mereka yang
dibawa ke Pulau Buru. Tidak ada yang pernah kembali ke Purwodadi.
Sebelum mereka dibunuh atau diusir,
mereka semua diklasifikasikan A, B atau C. Di sini, di Purwodadi
sebagian besar diberi kategori C. Kategori grup A sebagian besar berada
di Jakarta, atau di tingkat propinsi. Kategori C adalah kategori ringan,
orang-orang ini dianggap bisa dipandu (dibimbing), karena mereka masih
memiliki hubungan keluarga dan mereka masih bisa menjadi lebih relijius.
Jadi mereka diselamatkan. Artinya, mereka tidak diculik, namun diawasi
terus oleh Banser, atas perintah Koramil, sehingga mereka tidak akan
memberontak. Tapi mereka semua pasif, tidak berbahaya. Sedangkan tahanan
kelas B adalah pemimpin cabang dan mereka diculik dan dibawa ke kantor
Koramil. Ada kategori C di sana juga, karena orang-orang ini dianggap
pintar (Cerdas). Mereka kemudian dibebaskan dan harus melapor ke Koramil
setiap minggu. Tetapi jika mereka kategori tahanan B, mereka dibawa
pada malam hari. Mereka tidak pernah pulang. Dibunuh.”
Pak Karto tidak pernah kembali ke Kebun
Raya. Tapi dia ingin menunjukkan kepada kita tempat pembunuhan tersebut.
Bersama-sama, kami merencanakan tamasya keluarga. Keponakan dan
anak-anak keponakannya bergabung dengan kami, dan berangkat bersama naik
jip. Pak Karto mengenakan pakaian hitam, melambangkan kekejianan yang
telah disaksikannya. Keponakan dan anak-anaknya diturunkan di tempat
piknik, sedangkan kami melanjutkan perjalanan. Pak Karto dengan gugup
mencari tanda-tanda yang masih dia ingat. Kami dengan perlahan
berkeliling sampai Pak Karto berseru: “Itu! Pohon kelapa! Itulah
perbatasannya.” Kami turun dan terus turun ke anak sungai kecil, ke
tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon palem dan pohon lainnya.
Sebuah nisan terletak di tepi, menandakan bahwa ini memang kuburan. Kami
berdoa bagi jiwa-jiwa yang begitu brutalnya dihabisi di sana.
Pak Karto meninggal dunia pada tanggal 15 Mei 2015.
Saskia Wieringa, profesor di University of Amsterdam dan kepala bidang Women’s Same-sex Relations Cross-culturally.
Sumber: BhinnekaNusantara
Pohon kelapa dekat sungai ya?
BalasHapus