16 Maret2016
Malam, 13 Oktober 1965. sebuah rumah di kawasan Rawamangun, Jakarta dilempari dengan batu oleh segerombolan orang.
“Mau diapakan rumah saya?” Pramoedya Ananta Toer, penghuni rumah itu keluar. “Kalau mau bicara sama saya, ayo bicara. Bukan begini caranya.”
Indonesia saat itu memang genting, pergolakan besar sedang terjadi. Malam 30 September 1965, tujuh perwira telah diculik dan dibunuh. PKI (Partai Komunis Indonesia) lantas dituduh sebagai dalang peristiwa itu. PKI disebut-sebut hendak melakukan kudeta.
Buntutnya, terjadi pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pengikut atau simpatisan PKI. Sebuah pembantaian yang memakan begitu banyak korban jiwa. Seperti yang dituliskan Hermawan Sulistyo, peneliti senior di Puslitbang Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI), dalam bukunya yang berjudul Palu Arit di Ladang Tebu, jumlah korban terbunuh di Indonesia pada awal Desember 1965 menurut tim Angkatan Darat secara resmi sebanyak 78 ribu orang. Padahal pembunuhan masih berlangsung hingga setahun kemudian. Perkiraan jumlah korban bervariasi, mulai dari 78 ribu hingga dua juta jiwa.
Pram, begitu nama pendek Pramoedya, tidak sendirian di rumah itu. Adik laki-lakinya yang baru saja menamatkan pendidikan di Uni Soviet, Koesalah Soebagyo Toer, ada pula di sana. Koesalah saat itu sedang tidur di kamar. Mendengar suara riuh rendah orang dan suara gedebag-gedebug dari arah luar rumah, ia terbangun. Ia mendapati rumahnya telah dikepung oleh massa, polisi dan militer.
“Ganyang PKI! Ganyang PKI!” Begitu teriak orang-orang dalam kerumunan.
Banyak di antara mereka yang bersenjata. Sejenak Koesalah berniat melarikan diri melalui pintu di belakang rumah. Apa daya, di sana pun ia mendapati orang telah ramai. Rumahnya telah dikepung dari kanan, kiri, depan, dan belakang. Ia mengurungkan niatnya dan kembali ke dalam rumah.
Pada saat itu juga mereka berdua “diamankan”.
“Begini saja, Pak. Bapak lihat sendiri kan di luar, Bapak akan kami amankan,” kata polisi yang kemudian masuk ke rumah Pram.
“Saya mau diamankan,” kata Pram. “Tapi saya minta escort.”
Escort adalah istilah kemiliteran untuk pengawalan.
“Saya juga akan membawa alat kerja saya,” lanjut Pram.
Saat itu Pram sedang mengerjakan ensiklopedi Indonesia. Ia membawa sebuah mesin tik dan kertas-kertas kerjanya.
“Lik, kamu tinggal di rumah, ya. Berani?” Tanya Pram kepada Koesalah.
“Berani,” jawab Koesalah.
“Ah enggak, kamu ikut saya saja,” kata Pram meralat ucapannya.
“Ayo, tapi saya juga sedang bekerja,” jawab Koesalah.
Saat itu Koesalah sedang menerjemahkan buku tentang sepakbola Uni Soviet untuk diterbitkan di Indonesia. Seperti Pram, ia juga membawa alat-alat kerjanya.
Saat mereka digiring keluar, massa menyerbu mereka dan menodongkan golok, keris, dan belati.
“Ini yang bunuh jenderal-jenderal, begini aja tampangnya,” sebuah teriakan nyaring terdengar.
Pada saat itulah untuk pertama kali Koesalah mendengar istilah diamankan. Hingga saat itu, di dalam benak Pram dan Koesalah diamankan berarti adalah dibuat menjadi aman dari ancaman massa yang mengamuk. Tentu saja mereka berdua salah. Diamankan berarti ditangkap. Mereka ditangkap dan diinterogasi mengenai keterlibatan mereka dalam peristiwa pemberontakan 30 September 1965.
Berbeda dengan Pram, Koesalah diperbolehkan pulang setelah beberapa hari diinterogasi.
***
Pada masa pemerintahan Soekarno, antara tahun 1955 hingga 1965
terdapat ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa Timur, seperti
Jerman Timur, Cekoslowakia, Hongaria, Albania, Rumania dan Polandia.
Ada yang menempuh pendidikan jangka pendek, ada pula yang belajar hingga
tujuh tahun lamanya.Banyak mahasiswa yang kembali ke tanah air pada saat pergolakan terjadi, akhirnya menjadi korban. Mereka dianggap memiliki hubungan dengan PKI, ditangkap, dan akhirnya ditahan. Salah seorang dari mereka, Koesalah Soebagyo Toer.
Minggu, 23 Oktober 2005, di sebuah rumah asri kawasan Depok, Koesalah menceritakan kisah hidupnya.
Koesalah Soebagyo Toer lahir di Blora, 27 Januari 1935. Putra keenam pasangan Mastoer dan Oemi Saidah ini bersekolah di Blora hingga kelas 2 SMP.
“Bapak saya dan ibu saya umurnya pendek. Ibu saya umurnya tiga puluh empat tahun dan bapak saya cuma lima puluh empat tahun,” kenang Koesalah.
Oemi Saidah meninggal lebih dulu dari suaminya. Pada tahun 1950, ketika Mastoer meninggal, Koesalah dan saudara-saudaranya tidak ada yang mengurus. Pramoedya sebagai anak tertua berinisiatif membawa Koesalah dan adik-adiknya yang lain ke Jakarta.
“Kalian akan saya bawa ke Jakarta untuk belajar. Di Jakarta banyak doktor-doktor, insinyur-insinyur, mister-mister, kalian juga harus menjadi itu,” kata Pram saat itu.
Di Jakarta Koesalah melanjutkan pendidikan di Taman Siswa (Taman Dewasa) lalu Taman Siswa (Taman Madya).
Pada tahun 1954 Koesalah kuliah di Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Inggris. Untuk membiayai kuliahnya, Koesalah juga bekerja sebagai penerjemah di Kedutaan Cekoslowakia dari pukul 07.00 sampai pukul 11.00. Akibatnya, ketika teman-temannya mengikuti kuliah dari pukul 07.30 sampai pukul 13.30, ia hanya dapat mengikuti kuliah selama dua jam terakhir.
Keadaan ini membuatnya tertinggal dalam mengikuti pelajaran.
“Jadi mula-mula bisa, lama-lama ketinggalan, ketinggalan sedikit, ketinggalan banyak, ketinggalan banyak sekali, akhirnya gak mampu lagi mengejar,” kenang Koesalah seraya tertawa.
Ia tak mampu lagi mengikuti apa yang dibicarakan dosennya di kelas. Di tahun 1958 Koesalah putus asa dengan kuliah. Ia memutuskan berhenti.
Tetap ingin belajar, Koesalah kemudian mendaftarkan diri di UKI (Universitas Kristen Indonesia) dengan jurusan yang sama. Kali ini ia mengambil kelas sore. Namun ternyata itu juga tak bertahan lama, lagi-lagi ia keluar.
Untuk mengisi waktu luangnya, Koesalah mengikuti kursus bahasa Rusia. Kursus yang diberikan secara cuma-cuma oleh Badan Hukum Kebudayaan Indonesia-Soviet (BHKIS) di Jalan Surabaya itulah yang mengisi hari-harinya. Ia masih ingat saja dengan guru yang mengajar, Lie Se Ing, namanya.
Koesalah amat kagum karena Lie Se Ing tak pernah ke luar negeri, tak pernah belajar bahasa Rusia kecuali dari buku. Lie Se Ing memiliki saudara di Hongkong. Ia meminta saudaranya mengirimkan buku-buku pelajaran bahasa Rusia.
“Ucapannya, fonetiknya tidak begitu bagus, tapi bisa,” cerita Koesalah tentang Lie Se Ing.
Pada bulan Februari 1960 Nikita Kruschov, Perdana Menteri Uni Soviet pada saat itu, berkunjung ke Indonesia. Dalam lawatannya ia mengatakan akan membuka Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa di Moskow untuk pemuda-pemuda Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Koesalah tertarik untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu mahasiswa di Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa tersebut. Dengan berbekal rekomendasi Lie Se Ing dan Ketua BHKIS Dr. Buntaran Martoatmodjo, pada tahun yang sama, Koesalah mengajukan surat lamaran untuk menjadi mahasiswa Universitas Persahabatan di Pyati donskoi proyez, Moskow.
Ia diterima di Fakultas Sejarah dan Filologi. Ketika hari-hari akhir ia akan berangkat, Koesalah memiliki dilema tersendiri. Ketika itu ia memiliki seorang kekasih, Etty Kurniasih. Koesalah merasa bimbang ketika harus meninggalkan orang dekatnya itu.
“Bagaimana ini, saya diterima,” tutur Koesalah pada Etty
“Kamu cinta pelajaran atau cinta saya?” Tanya Etty.
“Cinta dua-duanya,”
“Kalau begitu cintailah,”
“Kalau begitu saya berangkat, sesudah selesai belajar, kita kawin,” begitu putus Koesalah.
Namun belakangan, karena keinginan orang tua dan keduanya, akhirnya Koesalah dan Etty sepakat untuk menikah sebelum Koesalah berangkat.
Atase kebudayaan Uni Soviet pun mendukung, “Koesalah jangan ragu-ragu, nanti satu tahun lagi istrinya saya kirim ke sana.”
Menjadi mahasiswa di negeri orang memang berbeda jauh rasanya. Mulai dari keadaan, iklim, bahasa, adat istiadat, kebiasaan setempat, pakaian, hingga makanan memerlukan penyesuaian. Mula-mula ketika makan makanan setempat, Koesalah merasa tidak suka. Sempat ada pertanyaan yang muncul dalam diri sendiri: bagaimana jadinya jika lidah tetap tak dapat menerima makanan di sini? Namun dirinya sendiri pun menjawab: kamu itu kan orang yang pernah bertahun-tahun kelaparan kalau makan saja tak bisa, mau jadi apa kamu. Begitulah, penyesuaian demi penyesuaian pun terus berproses.
Etty akhirnya tidak menyusul Koesalah ke Moskwa. Secara berkala mereka bertukar kabar melalui surat.
Namun pernikahan mereka pada akhirnya kandas di tengah masa studi Koesalah. Jarak yang jauh dan kondisi ekonomi Indonesia yang sedang kacau membuat mereka tidak cukup kuat mempertahankan bahtera rumah tangga. Dari pernikahannya ini mereka dikaruniai seorang putra.
Pada bulan Juli 1965, setelah menamatkan sekolahnya Koesalah kembali ke tanah air. Hampir setiap mahasiswa Indonesia yang telah menyelesaikan kewajiban studi di luar negeri memiliki keinginan yang sama. Keinginan untuk mengabdikan diri kepada tanah air. Membangun dan berkarya untuk tanah air. Namun konteks politik saat itu amat tidak menguntungkan bagi mereka. Alih-alih mengabdikan diri sesuai ilmu yang mereka bawa, mereka bahkan ditangkap dengan tuduhan bahwa mereka memiliki hubungan dengan golongan yang ingin melakukan kudeta.
Di saat-saat itu, bukan hanya Koesalah yang “diamankan”. Banyak dan hampir semua yang pulang ke tanah air ditangkap.
Koesalah sendiri setelah peristiwa 13 Oktober 1965 kembali ditangkap pada tahun 1968 untuk sebuah alasan yang hingga kini masih menjadi pertanyaan bagi dirinya. Ia ditahan selama sepuluh tahun tanpa proses pengadilan sekalipun.
Masa-masa di penjara adalah masa-masa yang rumit. Syahbudin Said (66), teman kuliah Koesalah yang juga dipenjara, menceritakan kondisi penjara yang ia dan Koesalah alami. Sel-sel digunakan melebihi kapasitas semestinya. Jika ukuran kamar kecil, menurut Syahbudin, di dalamnya ditempatkan tiga orang.
Saat tidur, mereka berbaring selang-seling kaki-kepala.
“Amat sempit, kaki dan kepala saling berhimpitan,” tutur Syahbudin.
Penyiksaan pun seringkali dituai oleh para tahanan. Cambuk yang digunakan bukan terbuat dari rotan, melainkan ekor ikan pari. Dengan sisik yang tajam, cambuk tersebut selain akan membuat kulit memar, akan membuat kulit terkoyak. Hukuman setrum pun kerap diberikan bagi tahanan yang tidak mau “mengaku” saat diinterogasi. Jika sudah terdengar teriakan-teriakan dari ruang isolasi, maka kawan-kawan sesama tahanan yang lain akan menyiapkan beras kencur dicampur telur untuk kawan mereka yang akan kembali dari penyiksaan tersebut. Minuman tersebut akan sangat membantu dalam proses penyembuhan memar dan luka. Selain membuat rasa sakit hilang, proses penyembuhannya pun biasanya cepat.
Pada tahun 1978 Koesalah bebas. Pada KTP (Kartu Tanda Penduduk)-nya tercantum kode ET (Eks Tahanan Politik). Saat rezim Orde Baru berkuasa, para eks tapol acap kali memperoleh perlakuan diskriminatif. Bahkan seringkali pula keturunan mereka mendapat perlakuan serupa.
Sebagai seorang bekas tahanan politik, ia memiliki banyak pertanyaan tentang bagaimana harus bertahan hidup. Tentara, pegawai negeri dan guru adalah profesi yang dilarang bagi seorang eks tapol. Koesalah memutuskan menekuni profesi penerjemah.
“Karena kalau menerjemahkan, sumbernya jelas. Dari buku apa karangan siapa, lain dengan menulis, pemerintah bisa mengusut-usut,” jelas Koesalah.
Koesalah menjadi seorang penerjemah sudah sejak jauh hari. Vanka, cerita pendek karya Anton Chekov adalah salah satu karya terjemahannya pada masa muda. Vanka terjemahan dimuat pada majalah milik HB Yassin. Begitu seterusnya, ia menerjemahkan karya sastra-karya sastra.
Bagi kebanyakan orang, menerjemahkan suatu karya merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Begitu juga yang dialami Koesalah pada awalnya, bagaimanapun bahasa merupakan kebiasaan yang memerlukan penyesuaian.
“Saya baca langsung, tidak baca gramatikalnya dulu, baru setelah saya menemukan kata yang tidak saya mengerti, saya tanya pada orang lain atau lihat kamus,” begitu kenang Koesalah mengenai pengalamannya membaca buku bahasa asing.
“Saya baca buku dan heran sendiri, kok saya mengerti ya?”
Setelah keluar dari penjara, ia memiliki pengalaman menarik sewaktu bekerja sebagai penerjemah, saat itu ia ditawari pekerjaan oleh seorang kawan yang berasal dari Belanda. Ia menerima saja pekerjaan itu sebab begitulah caranya untuk bertahan hidup. Ia harus menerjemahkan sebuah buku dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Saat itu ia memiliki seorang kekasih yang pandai bahasa Belanda, tetapi kurang ahli dalam mengedit ke dalam bahasa Indonesia.
“Dia yang menerjemahkan, saya yang mengedit dan hasil editing itu saya berikan pada Belanda itu.”
Sampai pada suatu saat ternyata hubungan dengan kekasihnya itu tidak bisa dilanjutkan.
“Akhirnya saya menanggulangi sendiri. Saya beranikan diri, putus pacaran tapi kerja jalan terus. Sampai bertahun-tahun, sampai sekarang saya masih suka dapat order darinya.”
Setelah itu ia menikah untuk kedua kalinya. Bersama Utati, begitu nama perempuan yang ia kagumi sejak pada pandangan pertama itu, ia mengarungi kehidupan rumah tangga. Koesalah menghidupi keluarga dengan dari hasil menerjemahkan buku.
Namun ternyata berprofesi sebagai penerjemah bukanlah jaminan ia akan aman. Bagaimanapun ia tetap seorang eks tapol.
Salah satu hasil terjemahan Koesalah yang cukup terkenal adalah Musashi, sebuah cerita mengenai anak desa yang bercita-cita menjadi samurai sejati karya Eiji Yoshikawa. Ia tidak menerjemahkan dari bahasa asli, melainkan dari bahasa Inggris. Musashi pertama kali muncul sebagai serial di koran besar Jepang Asahi Shimbun tahun 1935-1939. Saat pertama kali cerita ini dibukukan di Jepang pada tahun 1980, tirasnya mencapai 120 juta eksemplar, padahal penduduk Jepang 110 juta. Di Jepang, Musashi adalah cerita yang populer.
Pada awalnya Koesalah menerjemahkan Musashi sebagai serial untuk harian Kompas, dimuat dalam rentang 1983-1984. Pada saat inilah Koesalah mendapat masalah. Suatu hari ia mendapati namanya tidak tercantum dalam serial Musashi di Kompas. Departemen Penerangan menginstruksikan Kompas untuk menghentikan serial Musashi lantaran penerjemahnya seorang eks tapol. Pada tahun 1983 Harmoko baru saja naik ke jajaran Departemen Penerangan RI.
Kenyataannya Kompas tidak menghentikan serial Musashi, tapi menghilangkan nama Koesalah dan menggantinya dengan nama “Tim Kompas” sebagai penerjemah.
Pada tahun 1985, penerbit GPU (Gramedia Pustaka Utama) membukukan Musashi ke dalam tujuh jilid dengan tiras 153.000 eksemplar. Belakangan Musashi diterbitkan ulang menjadi satu jilid setebal 1248 halaman.
Namun ternyata kejadian tersebut membuat Koesalah banyak kehilangan proyek terjemahan lantaran banyak penerbit yang takut mempekerjakan Koesalah.
Saat itu adalah masa-masa sulit yang dialami Koesalah. Ia kehilangan sumber penghasilan bagi kehidupan keluarganya. Walaupun pada akhirnya keadaan memulih kembali, hingga kini kebanyakan orang tak begitu mengenal Koesalah sebagai penerjemah karya besar Jepang tersebut.
Hingga kini Koesalah masih tetap aktif menerjemahkan buku-buku. Indonesia berhutang banyak pada Koesalah. Lewat dialah kita dapat membaca buku-buku karya asing. Karya-karya terjemahannya antara lain, Jiwa-jiwa Mati (Nikolai Gogol), Anna Karenina (Leo Tolstoy), Musashi (Eiji Yoshikawa), Perdagangan Awal Indonesia (O.W.Wolters), Menjinakkan Sang Kuli (Jan Breman), Kumpulan Cerpen Anton Chekov, Pengakuan dan Ruang Inap No. 6.
“Saya ingin sekali menerjemahkan Voina i Mir karya Leo Tolstoy dari bahasa Rusia, bukan dari bahasa Inggris. Tapi, sampai sekarang saya belum berhasil mendapatkan buku itu,” tuturnya.
Voina i Mir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi War and Peace.
“Bapak seorang yang sangat tekun hingga kami bisa seperti ini,” ujar Utati.
Koesalah kini hidup tenang bersama istri dan kedua anaknya, Uliek Mandiri (25) dan Uku Permatih (24). Usia tujuh puluh tahun tidak membuatnya surut
semangat.
“Saya ingin bekerja dan berprestasi bagi masyarakat,” tutur Koesalah mengenai harapan ke depannya.
Ketika ditanya apakah ia dendam terhadap pemerintahan Orde Baru, sosok yang gemar tertawa ini dengan ringan menjawab, “Dendam itu manusiawi, semua orang bisa merasa dendam. Hanya masalahnya, dendam itu diwujudkan atau tidak. Kalau dendam itu diwujudkan umat manusia bisa habis. Kalau menurut saya, lebih bermanfaat berprestasi untuk kemanusiaan.”
BIODATA
Nama: Koesalah Soebagyo Toer
Lahir: Blora, 27 Januari 1935
Keluarga: Utati (istri), Uliek Mandiri dan Uku Permatih (anak), Mastoer dan Oemi Saidah (orang tua), alm.Pramoedya Ananta Toer, Waluyadi, Koen Mardjatoen, Oemi Syafa’atun, Koesaisah, Soesilo, alm.Soesetyo, alm.Soesanti (saudara)
Pendidikan:
1942-1948 SD Blora
1948-1950 SMP Blora (sampai kelas 2)
1950-1951 Taman Siswa (Taman Dewasa)
1951-1954 Taman Siswa (Taman Madya)
1954-1958 Universitas Indonesia Jurusan Sastra Inggris
1958 Universitas Kristen Indonesia Jurusan Sastra Inggris
1959 Kursus Bahasa Rusia di Badan Hukum Kebudayaan Indonesia-Soviet
1960-1965 Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa di Moskwa Jurusan Sejarah dan Filologi
Karya-karya terjemahan: Jiwa-jiwa Mati (Nikolai Gogol), Anna Karenina (Leo Tolstoy), Musashi (Eiji Yoshikawa), Perdagangan Awal Indonesia (O.W.Wolters), Menjinakkan Sang Kuli (Jan Breman), Pengakuan dan Ruang Inap No. 6 (Kumpulan Cerpen Anton Chekov)
Karya-karyanya: Adhine Tentara, Adik Tentara, Ibuku di Surga, Parikan Jawa Puisi Abadi, Kampus Kabelnaya
*Tulisan ini dibuat dalam memenuhi tugas
mata kuliah Penulisan Feature Media Masa Cetak asuhan dosen favorit,
Sahat Sahala Tua Saragih. Tulisan ini dibuat dengan bantuan edit Imam
Hidayah Usman dan kredit foto: Adritomo Budi. Beberapa bulan kemudian,
tulisan terbit dalam antologi tulisan On/Off: Proses Kreatif/Idha
Saraswati dkk: Penulis/INSIST Press, Mei 2006. Pemuatan “Berkarya Tanpa
Dendam” pada blog ini merupakan wujud hormat saya pada Koesalah
Soebagyo Toer yang berpulang ke pangkuan Tuhan pada hari ini, 16 Maret
2016.
https://senjahampirhabis.wordpress.com/2016/03/16/berkarya-tanpa-dendam/
0 komentar:
Posting Komentar