Verdi Adhanta
PERADABAN manusia memang pernah
menyaksikan genosida-genosida yang serupa terjadi di Indonesia pada
1965-67, tapi ada satu hal yang begitu aneh: yaitu fakta bahwa genosida
ini dirayakan tidak saja di Indonesia tapi juga oleh berbagai Negara
lain. Sejak film karya Joshua Oppenheimer The Act of Killing (Jagal),
fakta tersebut dipertontonkan, dan perlahan-lahan berbagai pihak mulai
menyadari dan mengakui adanya genosida tersebut. Salah satu adegan di
film ini menunjukkan sebuah rekaman di televisi pemerintah TVRI Sulawesi
Utara, di mana sejumlah orang dengan penuh keriaan merayakan
pembantaian terhadap berjuta manusia. Sementara itu sang presenter TV,
dengan riang, mentertawai pembantaian itu, membicarakannya seolah sebuah
obyek kuliner atau lifestyle, dan bertanya kepada salah seorang pelaku
tentang bagaimana mereka melewatkan penyiksaan dan langsung membunuh
korbannya, diikuti dengan gegap tepuk tangan penonton: “Ada juga
langsung disikat habis saja ya, Pak? Nggak usah disiksa dulu?”. Kekejian
yang dilakukan senior-senior mereka di tahun 1965 itu, bahkan
dipersembahkan untuk generasi muda, untuk dipelajari dan diingat.
Namun sempat, sebuah artikel di New York Times
pada akhir tahun 1965 memuji kekejaman massal ini sebagai “secercah
cahaya di Asia,” sementara dunia memilih untuk diam. Para ekonom sibuk
menggambar-ulang peta komoditas, investasi dan pipa-pipa saluran
keuangan, dan kesempatan baru yang terbuka setelah komunis di Indonesia
tumbang. Begitu juga artikel in New York Herald Times tertanggal 9 Oktober 1965 dengan judul “Red HQ burned in Djakarta”, yang menyatakan hal ini sebagai sebuah kemenangan.
Ketika berita-berita dan publikasi
lainnya dengan amat jelas menyatakan angka korban; 500 ribu sampai 2,5
juta jiwa yang dibantai, angka-angka itu seolah tanpa wajah atau nama,
atau sesuatupun yang bisa dihubungkan dengan kemanusiaan, angka-angka
itu segera tenggelam dalam lautan teriakan kemenangan yang riuh: “Long
live America” – “Kita menang!”
“Red scare”
Adalah dulu apa yang disebut “The Red Scare”
(ketakutan akan yang merah atau komunis) di Amerika Serikat, di tahun
1950an. Ia adalah sebuah program nasional untuk menakut-nakuti bahwa
para komunis, sudah mengancam di pintu mereka. Sejarah telah membuktikan
bahwa ketakutan adalah alat yang paling efisien untuk mengendalikan
orang awam. Mereka kini menyebutnya McCarthyism. Sebuah propaganda
dengan spektrum yang lengkap, secara sosial, budaya dan politik, yang
dikenal dengan nama sang pemain dan pendukung utama di belakangnya,
yaitu senator dari partai Republik, Robert McCarthy.
Perang dunia II baru saja berakhir dan
kelas menengah di Amerika bertransformasi akibat pertumbuhan masyarakat
desa yang cepat. Pemuda-pemuda yang baru saja pulang dari perang ini
diuntungkan oleh undang-undang Servicemen’s Readjustment Act
tahun 1944, yang memberi mereka rumah murah, bunga kecil, akses edukasi
yang mudah dan uang bagi mereka untuk jangka waktu tertentu.
Hal ini mendorong pergeseran budaya
Amerika, dengan gambaran kehidupan keluarga heteroseksual yang ideal di
pedesaan. Tapi ini tidak berlaku bagi beberapa kelompok tertentu seperti
etnis minoritas, homoseksual dan feminis. Dengan pergeseran budaya ini,
kaum konservatif mendapat angin. Era setelah perang dunia II di Amerika
ditandai dengan penuhnya kebijakan sosial yang konservatif, menentukan
bagaimana seorang perempuan seharusnya; seorang ibu yang feminin yang
tinggal di rumah menunggu para suami yang menafkahi keluarga.
Para ibu rumah tangga ini tidak butuh
pendidikan, karena itu mereka disarankan untuk tidak sekolah dan tidak
berkarir, kecuali tentu saja bagi yang berkulit hidam, yang masih boleh
bekerja sebagai pembantu di keluarga kulit putih. Yang dibutuhkan oleh
perempuan tentunya hanyalah sebuah dapur yang apik.
Orang kulit putih dan kulit hitam
disegregasi. Homoseksual digambarkan manusia tak bermoral. Sementara di
televisi, tayangan-tayangan marak dengan gambaran keluarga patriarkal
yang harmonis sebagai satu-satunya bentuk kehidupan ideal. Pada saat
yang sama, melalui para penulis dan tokoh publik, anak-anak perempuan
diarahkan untuk bermain dengan boneka, sementara anak-anak laki-laki
dengan mainan mobil-mobilan dan perang-perangan.
Setelah budaya demikian sudah siap, Anda dapat dengan mudah menuangkan ketakutan di dalamnya, dan untuk inilah McCarthy-ism
ada. Pertama, Anda pilih setan yang cocok. Dan manakah yang lebih baik
dari musuh berbendera merah dengan bahasa yang asing dan pakaian yang
lucu dari sebuah negri di seberang lautan yang orang-orangnya belum
pernah kau temui? Kedua, sebarkan ketakutan terhadapnya. Anda lakukan
tindakan dan kebijakan represif terhadap rakyat Anda sendiri, yang
disamakan atau dikelompokkan dengan setan yang sudah Anda pilih. Jadi
dari tahun 1950-1956, tiba-tiba banyak komunis di seluruh pelosok
Amerika Serikat, dan warga negara patriotik harus menyingkirkan mereka.
Warga patriotik Ameriksa Serikat yang
baik harus mengusir setan-setan ini dari televisi dan layar sinema,
karena banyak siaran dan pertunjukan yang diproduksi Hollywood dibiayai
oleh si merah, the Reds. Para sutradara dan aktor-aktornya
dianggap komunis yang membangga-banggakan Marxisme. Dan kalau Anda masih
menonton siaran dan pertunjukan itu, artinya Anda membantu Moscow dan
“Internationalist”, karena Anda membiarkan mereka menyalurkan
gagasan-gagasan mereka ke dalam ruang tamu Anda, dimana pikiran
anak-anak muda akan teracuni.
Di tahun 1950an, pemerintah Amerika
Serikat menuduh ribuan warganya sebagai komunis atau simpatisan komunis.
Aktifis perserikatan buruh, pekerja pemerintahan, guru, pembuat film,
artis dan sebagainya, tak lepas dari aktifitas ini. Begitu banyak yang
kehilangan pekerjaan terlepas dari tuduhan yang ditimpakan pada mereka
terbukti atau tidak. FBI adalah agen utama yang menjalankan program
kegiatan anti-komunis ini, dan kemudian menghasilkan Hollywood Blacklist,
yang berhasil membuat berbagai pekerja sinema menjadi pengangguran.
Mereka yang akrab dengan sejarah Indonesia di tahun 1965 sampai 1998
akan segera mengenali elemen-elemennya dan menyadari dari mana rejim
Orde Baru Soeharto mendapatkan gagasannya.
Bayang-bayang ketakutan
Banyak yang telah berubah sejak perang dingin berakhir. Di hampir seluruh dunia Barat, taktik Red Scare
jelas sudah kehilangan strategisnya sejak Uni Soviet runtuh. Dunia
Barat yang sekarang sudah atau tengah dipasangi ketakutan yang lain,
yang saya bisa sebut Green Scare atau setan hijau, tapi itu
kisah yang lain lagi. Indonesia dalam era Orde Baru, atau mungkin bahkan
sampai sekarang, menjadi seperti kloningan dari Amerika Serikat pada
era Red Scare, tapi dengan intensitas dan tingkat kesuksesan
yang hanya akan menjadi mimpi bagi para McCarthyist di A.S. Karena
McCarthyist di Amerika Serikat tidak berhasil membunuh berjuta manusia
dan bebas merdeka tanpa konsekuensi apapun.
Penjelasan dari Joshua Oppenheimer,
dengan tepat menggambarkan situasi Indonesia paska 1965, yaitu seperti
Jerman tapi dengan Hitler yang tetap berkuasa dan menang perang dunia
II. Para penjagal tidak saja lolos tanpa konsekuensi, tapi juga memegang
jabatan penting hingga kini. Sebagai tiruan dari Amerika Serikat pada
era Red Scare, Indonesia juga mengalami bagaimana
kelompok-kelompok perempuan progresif seperti Gerwani dihancurkan hanya
untuk diganti dengan gagasan yang dimiliki oleh masyarakat konservatif
Amerika tentang perempuan. Soeharto menciptakan organisasi Dharma
wanita, dimana perempuan adalah istri-istri yang tugas utamanya adalah
mengurus rumah tangga.
Di dunia Barat, Red Scare telah
lama berakhir, dan banyak penulis, sejarawan, aktifis hak azazi
manusia, pembuat film dan lainnya, mulai menemukan apa yang terjadi di
Indonesia, dan bagaimana negara mereka mungkin saja punya andil di
dalamnya. Beberapa hasil penelitian tentang hal ini telah dipublikasi
dan para aktifis juga mencoba menyebarkan kesadaran tentang masalah ini.
Berkat mereka, mata dunia mulai terbuka dan mengenali genosida yang
terlupakan.
Kekuatan pembebasan yang serupa mulai
dirasakan oleh orang-orang Indonesia, tapi Indonesia masih mempunyai
masalah besar. Bahkan setelah jatuhnya Soeharto, para pelaku pembantaian
masih bergelantungan pada kekuasaan, bahkan berhasil melakukan berbagai
kekejaman lain dan lolos dari konsekuensi apapun. Semua ini hanya akan
membangun budaya kebal hukum, dimana bayang-bayang ketakutan akan
komunis masih menggema di udara terbuka, untuk dengan bebas digunakan
oleh generasi baru pelaku kejahatan, kekerasan dan kekejian lainnya di
masa datang.
Verdi Adhanta
http://bhinnekanusantara.org/merayakan-genosida/
0 komentar:
Posting Komentar