Rabu, 2 Maret 2016 | 14:41 WIB
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan di
depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2014). mereka menuntut
dituntaskannya kasus tragedi kemanusiaan yaitu peristiwa 65, tragedi
Talangsari, tragedi Tanjungpriok, tragedi 27 Juli 1996, tragedi
Penculikan, tragedi Trisakti, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi I,
tragedi Semanggi II, dan pembunuhan Munir. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO
PURNOMO
JAKARTA, KOMPAS.com —
Kejelasan proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dipertanyakan.
Bukan mengusut secara hukum siapa dalang di balik pelanggran HAM itu,
Kejaksaan Agung alih-alih justru tengah mengupayakan rekonsiliasi.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, mempertanyakan langkah kejaksaan yang seakan ingin meniadakan proses hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat itu.
"Kami minta dokumennya. Apa rujukan rekonsiliasi tersebut? Jangan sampai hanya buang-buang waktu dan menunda-nunda proses hukum yang sebenarnya itu yang kami minta," ujar Haris di Kantor KontraS, Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (2/3/2016).
Menurut dia, rekonsiliasi sama sekali tidak mendasar dan tanpa rujukan. Oleh sebab itu, konsep rekonsiliasi yang tengah dilakukan kejaksaan pun tidak jelas.
Hal serupa diungkapkan Payan Siahaan, ayahanda dari salah satu korban penculikan paksa 1998, Ucok Munandar Siahaan.
Payan berpendapat, rekonsiliasi harus lebih dulu disertai dengan rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke pemerintah untuk segera melakukan pencarian terhadap korban-korban penculikan paksa tersebut. Jika korban belum ditemukan, maka proses rekonsiliasi dinilai tak bisa dilakukan.
"Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, mereka masih hilang. Bagaimana mau rekonsiliasi kalau mereka enggak ketahuan di mana?" kata Payan.
KontraS sebelumnya melayangkan surat kepada Kejaksaan Agung untuk meminta tindakan konkret atas penyelesaian kasus HAM berat.
Kemudian, pada 23 Februari lalu, pejabat pengelola informasi dan dokumentasi Kejaksaan Agung memberikan surat balasan yang pada intinya menyatakan bahwa Kejaksaan Agung mengupayakan penyelesaian kasus-kasus tersebut melalui rekonsiliasi karena alat bukti sulit ditemukan, dan pelaku dianggap sudah tidak ada (meninggal dunia).
Setidaknya, ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang sedang ditangani kejaksaan. Ketujuh kasus itu adalah Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, Wasior, Talangsari, kasus 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, mempertanyakan langkah kejaksaan yang seakan ingin meniadakan proses hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat itu.
"Kami minta dokumennya. Apa rujukan rekonsiliasi tersebut? Jangan sampai hanya buang-buang waktu dan menunda-nunda proses hukum yang sebenarnya itu yang kami minta," ujar Haris di Kantor KontraS, Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (2/3/2016).
Menurut dia, rekonsiliasi sama sekali tidak mendasar dan tanpa rujukan. Oleh sebab itu, konsep rekonsiliasi yang tengah dilakukan kejaksaan pun tidak jelas.
Hal serupa diungkapkan Payan Siahaan, ayahanda dari salah satu korban penculikan paksa 1998, Ucok Munandar Siahaan.
Payan berpendapat, rekonsiliasi harus lebih dulu disertai dengan rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke pemerintah untuk segera melakukan pencarian terhadap korban-korban penculikan paksa tersebut. Jika korban belum ditemukan, maka proses rekonsiliasi dinilai tak bisa dilakukan.
"Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, mereka masih hilang. Bagaimana mau rekonsiliasi kalau mereka enggak ketahuan di mana?" kata Payan.
KontraS sebelumnya melayangkan surat kepada Kejaksaan Agung untuk meminta tindakan konkret atas penyelesaian kasus HAM berat.
Kemudian, pada 23 Februari lalu, pejabat pengelola informasi dan dokumentasi Kejaksaan Agung memberikan surat balasan yang pada intinya menyatakan bahwa Kejaksaan Agung mengupayakan penyelesaian kasus-kasus tersebut melalui rekonsiliasi karena alat bukti sulit ditemukan, dan pelaku dianggap sudah tidak ada (meninggal dunia).
Setidaknya, ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang sedang ditangani kejaksaan. Ketujuh kasus itu adalah Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, Wasior, Talangsari, kasus 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Penulis | : Nabilla Tashandra |
Editor | : Sabrina Asril |
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/14410281/Dipertanyakan.Langkah.Kejagung.Ingin.Hilangkan.Proses.Hukum.Pelanggaran.HAM.Berat
0 komentar:
Posting Komentar