2 Maret 2016
Judul : Penghancuran Gerakan Perempuan (Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI)
Penulis : Saskia E. Wieringa
Penerbit : Galang Press
Tahun terbit : 2010
Tempat terbit : Yogyakarta
Tebal buku : 542 halaman
Penulis : Saskia E. Wieringa
Penerbit : Galang Press
Tahun terbit : 2010
Tempat terbit : Yogyakarta
Tebal buku : 542 halaman
kami bukan lagi
bunga pajangan
yang layu dalam jambangan
cantik dalam menurut
indah dalam menyerah
molek tidak menentang
ke neraka mesti mengikut
ke sorga hanya menumpang
kami bukan juga
bunga tercampak
dalam hidup terinjak-injak
penjual keringat murah
buruh separuh harga
tiada perlindungan
tiada persamaan
sarat dimuati beban
kami telah berseru
dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan
“kami manusia!”
bunga pajangan
yang layu dalam jambangan
cantik dalam menurut
indah dalam menyerah
molek tidak menentang
ke neraka mesti mengikut
ke sorga hanya menumpang
kami bukan juga
bunga tercampak
dalam hidup terinjak-injak
penjual keringat murah
buruh separuh harga
tiada perlindungan
tiada persamaan
sarat dimuati beban
kami telah berseru
dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan
“kami manusia!”
(Sugiarti, Lekra 1962:65)
Sepintas, puisi di atas menggambarkan sesosok perempuan yang mewakili kaumnya, memberontak terhadap aneka pandangan berikut fakta yang melingkupi mereka dalam hidup sehari-hari. Perempuan adalah sosok mandiri dalam kesejatian sebagai manusia. Seutuhnya. Tidak tergantung pada entitas lain dalam hal ini laki-laki, dimana akidah mengatupkan kelopak kebebasannya, jika si laki-laki atau suami ke surga maka perempuan hanya follower, sementara jika suami ke neraka maka perempuan pun turut ikut. Puisi adalah sisi terdalam pikiran manusia yang ditumpahkan melalui bahasa. Akan tetapi, jika saja, ya jika saja puisi separuh pamflet sebagaimana puisi Widji Thukul—apa adanya, membatasi hanya sedikit metafora—yang menggambarkan perjuangan yang menyalak—dalam baris terakhir, “kami manusia”—tidak dibungkam oleh sejarah paling hitam di Indonesia, peristiwa 1965, adalah niscaya sejarah menorehkan tinta kemilau bagi nasib perempuan.
Adalah Saskia Eleonora Wieringa, seorang profesor Universiteit van Amsterdam di Belanda dan baru-baru ini menjadi Ketua IPT 1965 (International people’s Tribunal 1965) yang menggelar sidang pengadilan rakyat internasional tersebut pada pertengahan November 2015 lalu di Belanda, menuliskan apa yang selama ini disebut “sejarah yang disembunyikan” dari gerakan perempuan paling progresif dan revolusioner di Indonesia, Gerwani, dalam buku bertajukPenghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca kejatuhan PKI. Buku ini dilarang beredar dan bahkan penulisnya dicekal untuk masuk ke Indonesia di zaman rezim orde baru Suharto.
Pada malam 1 Oktober 1965 itu beberapa perempuan Gerwani melakukan penyiksaan sadis terhadap enam Jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira yang diculik dan disekap di kawasan Lubang Buaya sebelum kemudian mayat para jenderal itu dimasukkan ke dalam sumur. Dikabarkan bahwa mereka mencungkil mata, menyilet-nyilet penis para jenderal hingga berdarah-darah, memegang dan menggosok-gosokkan penis itu ke vagina mereka sendiri, lalu merangkumnya dalam pesta seks berlatar tarian “Harum Bunga”. Bugil, liar dan nakal. Diiringi lagu Genjer-Genjer, lagu daerah Banyuwangi yang telah direproduksi maknanya sedemikian rupa sebagai magis-mistis dan subversif. Demikian cuplikan film Pengkhianatan G30S/PKI yang populer di tahun 1980-an hingga sebelum 1998 lantaran sebagai film wajib tonton saban tahun di TVRI dan ungkapan nan populer, “Darah itu merah, Jenderal!” kerap didengung-dengungkan.
Sekelumit narasi juga dipropagandakan secara masif dalam berita-berita yang ditulis oleh koran Angkatan Bersenjata danBerita Yudha. Dua harian yang hidup dan diperbolehkan hidup pada saat itu untuk membungkam media-media lain dari ‘situasi panas’ karena peristiwa malam 30 September/ dini hari 1 Oktober 1965. Seikat dengan narasi itu dikobarkan berita yang berapi-api bahwa perempuan-perempuan Gerwani adalah perempuan tak bermoral, bejat, dan terminologi sundal lainnya. Lebih jauh, narasi itu dikemas dan ‘disejarahkan’ sebagai monumen ingatan dalam relief museum Lubang Buaya. Kini, 50 tahun telah terlipat waktu. Suara-suara yang selama ini disenyapkan membuka diri. Dokter yang mengautopsi jenazah para jenderal kala itu pun menyangkal narasi itu dengan mengatakan bahwa tak ada temuan sedikitpun bahwa penis para jenderal ada bekas sayatan silet maupun mata yang tercungkil. Sempurna sudah fitnah terhadap Gerwani, demikian simpulan usai membaca buku ini.
Gerwani: Organisasi Perempuan Militan
Adalah Saskia Eleonora Wieringa, seorang profesor Universiteit van Amsterdam di Belanda dan baru-baru ini menjadi Ketua IPT 1965 (International people’s Tribunal 1965) yang menggelar sidang pengadilan rakyat internasional tersebut pada pertengahan November 2015 lalu di Belanda, menuliskan apa yang selama ini disebut “sejarah yang disembunyikan” dari gerakan perempuan paling progresif dan revolusioner di Indonesia, Gerwani, dalam buku bertajukPenghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca kejatuhan PKI. Buku ini dilarang beredar dan bahkan penulisnya dicekal untuk masuk ke Indonesia di zaman rezim orde baru Suharto.
Pada malam 1 Oktober 1965 itu beberapa perempuan Gerwani melakukan penyiksaan sadis terhadap enam Jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira yang diculik dan disekap di kawasan Lubang Buaya sebelum kemudian mayat para jenderal itu dimasukkan ke dalam sumur. Dikabarkan bahwa mereka mencungkil mata, menyilet-nyilet penis para jenderal hingga berdarah-darah, memegang dan menggosok-gosokkan penis itu ke vagina mereka sendiri, lalu merangkumnya dalam pesta seks berlatar tarian “Harum Bunga”. Bugil, liar dan nakal. Diiringi lagu Genjer-Genjer, lagu daerah Banyuwangi yang telah direproduksi maknanya sedemikian rupa sebagai magis-mistis dan subversif. Demikian cuplikan film Pengkhianatan G30S/PKI yang populer di tahun 1980-an hingga sebelum 1998 lantaran sebagai film wajib tonton saban tahun di TVRI dan ungkapan nan populer, “Darah itu merah, Jenderal!” kerap didengung-dengungkan.
Sekelumit narasi juga dipropagandakan secara masif dalam berita-berita yang ditulis oleh koran Angkatan Bersenjata danBerita Yudha. Dua harian yang hidup dan diperbolehkan hidup pada saat itu untuk membungkam media-media lain dari ‘situasi panas’ karena peristiwa malam 30 September/ dini hari 1 Oktober 1965. Seikat dengan narasi itu dikobarkan berita yang berapi-api bahwa perempuan-perempuan Gerwani adalah perempuan tak bermoral, bejat, dan terminologi sundal lainnya. Lebih jauh, narasi itu dikemas dan ‘disejarahkan’ sebagai monumen ingatan dalam relief museum Lubang Buaya. Kini, 50 tahun telah terlipat waktu. Suara-suara yang selama ini disenyapkan membuka diri. Dokter yang mengautopsi jenazah para jenderal kala itu pun menyangkal narasi itu dengan mengatakan bahwa tak ada temuan sedikitpun bahwa penis para jenderal ada bekas sayatan silet maupun mata yang tercungkil. Sempurna sudah fitnah terhadap Gerwani, demikian simpulan usai membaca buku ini.
Gerwani: Organisasi Perempuan Militan
Sejarah berdirinya gerwani diwarnai proses panjang dalam kurun waktu 4 hingga 5 tahun sejak organisasi Gerwis pertama kali berdiri sebelum kemudian bermetamorfosis menjadi Gerwani. Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di Semarang, sebuah kota yang secara historis memiliki ‘nilai’ lantaran PKI didirikan di kota ini. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membuat organisasi perempuan bersama yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam organisasi yang mendirikan Gerwis adalah Rukun Putri Indonesia (Rupindo, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Isteri Sedar (Bandung), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruhan). Para pendiri Gerwis ini berasal dari latar belakang sosial berbeda, bahkan banyak di antaranya dari keturunan priayi rendah. Terdapat pula beberapa orang yang pernah ambil bagian dalam gerakan bawah tanah dengan ilham komunisme, misal Umi Sardjono (hlm. 214-215). Semua pendiri ini adalah para perempuan yang terjun dalam gerakan nasional, bahkan banyak diantaranya yang menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pertemuan tersebut disepakati ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah menjadi anggota Laskar Wanita Jawa Tengah.
Konstitusi yang dirumuskan Gerwis adalah menegaskan diri sebagai organisasi non politik dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Namun, secara tak langsung PKI memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses pembentukan hingga arah politik Gerwis. Sebagaimana yang dijelaskan Ny. Chalisah, salah satu pendiri Gerwis, bahwa ‘partai meminta saya untuk membangun organisasi perempuan komunis di dalam partai’ (hlm. 218). Tetapi, keinginan para pemimpin PKI ini bukanlah satu-satunya faktor penyebab berdirinya Gerwis. Lebih besar dari itu, hasrat bersama untuk tercapainya kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktik feodalisme adalah faktor terbesar berdirinya Gerwis (hlm. 219).
Kongres pertama Gerwis berada dalam masa yang sulit mengingat beberapa anggotanya masih berada dalam penjara. Dalam kesempatan ini, komponen komunis dan feminis bercampur dalam satu organisasi, lalu beberapa langkah diambil untuk mengucilkan sayap feminis sebagaimana direpresentasikan oleh S.K. Trimurti (istri dari Sayuti Melik, tokoh penting dalam Proklamasi Kemerdekaan 1845, yaitu pengetik naskah Proklamasi). Trimurti mengundurkan diri dari pencalonan, 1957 ia menarik diri dari jajaran pimpinan, 1965 ia keluar dari keanggotaan (hlm. 225). Pengalaman perdana bulan-bulan awal dibentuknya Gerwis adalah berada di garda depan perang kemerdakaan, turut aktif dalam menentang Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia. Gerwis juga menentang perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) yang mereka anggap hanya akan mengembalikan modal asing ke Indonesia.
Sepanjang kongres pertama dan kedua, Gerwis aktif dalam tiga front: pertama, dalam bidang politik mereka berjuang terhadap ‘elemen reaksioner’, yakni peristiwa 17 Oktober di mana sejumlah komandan Angkatan Darat (AD) melakukan pembangkangan terhadap pemerintah yang hendak mengurangi kekuasaan militer. Kedua, dalam tataran feminisme mereka menentang PP 19 yang mengatur masalah perkawinan yang diskriminatif. ketiga, mendukung perjuangan umum bagi Undang-Undang Perkawinan Demokratis serta dengan lunak menghindari konfontrasi langsung dengan Presiden Soekarno. Selain itu, di tingkat lokal, Gerwis ikut serta dalam kampanye BTI (Barisan Tani Indonesia) melawan tindakan pemerintah yang berusaha mengusir kaum tani dari bekas perkebunan yang telah mereka duduki (hlm. 227-228). Tidak tanggung-tanggung, mereka berani ‘pasang badan’ terhadap traktor maut yang hendak merebut tanah itu.
Kongres kedua Gerwis pada tahun 1954 mengubah dirinya menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono–yang juga merupakan anggota PKI−sebagai ketuanya. Perkembangan pesat tampak mencolok. Di Surabaya, Gerwis memiliki 40 cabang dengan 6.000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah meliputi 80.000 orang. Pada aras ini ada arah yang berubah dari Gerwani, yakni dari organisasi kader menjadi organisasi massa. Tawaran dilakukan kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin tanpa memandang latar belakang sosial. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) misalnya, para pemimpinnya berasal dari keluarga Pamong Praja, atau memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Strategi ini berhasil merekrut banyak kader, karena perempuan yang bergabung menilai Gerwani sebagai satu-satunya pihak yang sudi membantu memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Selain itu, Gerwani juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar organisasi perempuan yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas permasalahan yang terjadi sehari-hari.
Lalu pada saat kongres ketiga, Gerwani mulai menampakkan diri dengan condong kepada isu perpolitikan nasional. Pergeseran ini tampak pada isu yang disuarakan, dari semula persoalan-persoalan feminis seperti masalah perkawinan, menjadi masalah ‘sosial’ yakni kenaikan kebutuhan harga bahan pokok makanan. Gerwani ingin mengubah dirinya betul-betul menjadi organisasi massa dengan skala nasional lebih luas. Untuk itu Gerwani memfokuskan diri pada bagaimana memimpin gerakan yang lebih luas, membangun gerakan massa—sebagaimana garis PKI dalam emansipasi perempuan yang merumuskan bahwa sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik tentang urusan perempuan. Gerwani juga merambah partisipasi dalam politik nasional seperti terlibat dalam Trikora, perang memperebutkan Irian Barat dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu untuk itu.
Dari sini mulai ditemukan titik jelas bahwa Gerwani sebagai organisasi pergerakan perempuan yang memiliki militansi kuat di antara pengikutnya. Hal tersebut juga tak bisa dilepaskan dari ideologi yang mewarnai garisnya. Feminisme, sosialisme, dan nasionalisme, dalam Tujuan dan Kewajiban Gerwani (1954), Gerwani membuat rumusan bagaimana kondisi perempuan kala itu yang “setengah kolonial setengah feodal” sesungguhnya adalah gerakan perempuan yang independen tidak berafiliasi atau menjadi underbouw partai politik manapun (hlm. 234-235). Bahkan, periode antara kongres pertama dan kedua itulah Gerwani dapat dikatakan paling menampakkan ideologi feminisnya. Sementara pada ranah Sosialis jelas sekali bagaimana Gerwani mampu kerjasama dan mengorganisir dirinya dengan BTI dan SOBSI untuk menuntaskan kasus-kasus upah rendah di kalangan buruh perempuan. Pada pandangan politik secara umum—berbingkai nasionalisme. Gerwani mengadakan perayaan Hari Perempuan Internasional (HPI) 1955 dengan aksi perdamaian dan protes terhadap percobaan persenjataan nuklir serta pendudukan Belanda atas Irian Barat. Kemudian pada Januari 1957 melakukan penuntutan atas melambungnya harga bahan pokok.
Ide Gerwani terkait sosialisme bisa ditengarai dari kedekatan mereka dengan PKI. Pergulatannya menjadi menantang. Kaitannya dengan sosialisme dus marxisme, Gerwani bergulat dengan sejumlah problem teoritis, yakni pertama, perjuangan perempuan harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan kelas. Ketika komunisme ditegakan, maka perempuan sebagai subordinasi keluarga akan lenyap dan ‘keluarga proletar bahagia’ akan menggantikannya (hlm 83). Tentu saja perspektif ini bermasalah, sebagaimana dikemukakan Wieringa, pandangan Engels tentang keluarga yang ditulisnya dalam The Origin of the Family (1884) dianggap ahistoris, terutama tentang masyarakat suku. Kedua, karena perempuan berada dalam rumah tangga, maka teori marxis hanya memiliki sedikit pengertian terhadap peran perempuan di tengah masyarakat. Ketiga, karena eksploitasi perempuan dalam keluarga dipandang sebagai penemuan kapitalis, maka pemecahannya dicari di luar rumah tangga, yakni perempuan harus memasuki produksi masyarakat, pekerjaan rumah tangga harus disosialisasi. Dan lalu, lantaran penindasan seksual dihubungkan dengan kapitalisme, sosialisme akan memberikan jalan keluar dan oleh karena itu tidak perlu adanya perjuangan perempuan secara sadar guna memperbaiki perilaku laki-laki maupun mengubah hubungan antar-pribadi.
Gerwani dan Pergerakan Perempuan Lokal hingga Global
Panggung Gerwani yang dirumuskan secara pasti membangun sebuah gerakan massa, menjadikan Gerwani merangkul dan mencoba memengaruhi gerakan perempuan Indonesia. Garis sosialisme mesti dicapai terlebih dahulu baru kemudian perjuangan feminis bisa didapatkan, demikian ujaran yang didapat dari PKI. Sebagaimana ‘tidak ada tindakan revolusioner/sosialis tanpa melibatkan perempuan’. Gerwani berhubungan baik dengan Perwari dan di tingkat lokal Gerwani ‘bergandengan’ dengan BTI mengorganisir buruh tani dan terlibat beberapa pelaksanaan land reform agraria. Akan tetapi, Gerwani sempat ‘dijauhi’ organisasi-organisasi perempuan yang lain karena bersikap pasif terhadap perkawinan Sukarno dengan Hartini dalam sistem poligami. Garis ‘halus’ yang digunakan Gerwani dianggap sebagai apologetik belaka. Di sini tampak sikap yang mendua, memperjuangkan sosialisme namun kembali ‘tunduk’ pada feodalisme.
Di tingkat global, Gerwani memperluas kancahnya dengan menjadi anggota dari WIDF (Women’s International Democratic Federation), Gerwani turut berpartisipasi dalam Congress of Women di Paris. Adapun tujuan WIDF secara garis besar adalah memperjuangkan hak kaum perempuan sebagai ibu, pekerja dan warga negara, memperjuangkan hak anak-anak untuk hidup, kesejahteraan dan pendidikan, mendukung kemerdekaan nasional, penghapusan apartheid, diskriminasi rasial dan dan fasisme. Kendati hubungan diantara Gerwani dan WIDF awalnya sangat harmonis dan saling mendukung, sejak tahun 1960 mulai tegang dan puncaknya terjadi pada kongres WIDF 1963. Meningkatnya militansi Gerwani dan makin dekatnya Gerwani dengan Tiongkok menjadi salah satu penyebabnya. Gerwani yang ikut memobilisasikan kadernya dalam perjuangan pembebasan Irian Barat--dirasa tidak sesuai dengan asas WIDF yaitu perdamaian—menjadi penyebab yang lain. Pada tahun 1963, hubungan Gerwani dengan WIDF semakin memburuk. Dalam kongres bulan Juni, timbul pertentangan karena mayoritas anggota hendak membawa organisasi ke arah ‘feminis dan pasifis’. Bagi Gerwani, tidak akan ada perdamaian selama imperialisme masih ada di dunia. Meskipun WIDF masih bisa memahami apa yang dilakukan Gerwani dalam memperjuangkan pembebasan Irian Barat adalah dalam rangka perjuangan nasional dan kemerdekaan 100 persen, tetapi dalam isu konfrontasi dengan Malaysia, WIDF sama sekali tidak mendukungnya karena dinilai tidak memiliki alasan yang kuat.
Sementara ranah persinggungan sedari awal yang juga berbuntut ‘panas’ adalah sikap Gerwani yang terlalu frontal terhadap Undang-Undang Perkawinan Demokratis, di mana Gerwani menolak poligami, sementara organisasi perempuan Islam sebaliknya. Bila menilik ke belakang, dikeluarkannya Tris Metty dari keanggotaan juga lantaran dipandang memberi warna legal pada lesbianisme, sesuatu yang kala itu menjadi paradoks perjuangan ‘perempuan timur yang bermoral’.
Fitnah Gerwani: PKI, Sukarno, dan Peristiwa Lubang Buaya
Dari 1954 hingga 1965, Gerwani menyatakan diri sebagai organisasi yang tidak berpihak pada partai politik. Baru kemudian ketika pemerintah menginstruksikan kepada organisasi massa untuk memilih pasangan partai politik dalam kerangka Nasakom, maka Gerwani dipaksa berafiliasi dengan PKI. Aspirasi ideologis Gerwani dalam hal ini adalah berdasarkan tokoh Srikandi, yang menyematkan perjuangan di area politik. Langkah Gerwani misalnya dalam memberikan ‘kursus-kursus’ penyadaran politik di tingkat daerah menjadi kontroversi besar-besaran di desa-desa dengan reaksi konservatif yang keras. Gelombang progresivitas Gerwani juga diluapkan dalam majalah Gerwani yakni Api Kartini, agar menyulut kesadaran perjuangan perempuan. Wacana ‘feminisme’ dan ‘sosialisme’ dalam tubuh Gerwani menjadi ‘kabur’ pada saat itu, lantaran perjuangan politik yang lebih populis sangat diutamakan. Kedekatan secara pribadi anggota Gerwani dengan orang-orang PKI tak ayal memberi warna pula dalam tubuh organisasi. Tak jarang ditemukan ketika si suami anggota PKI, si ibu anggota Gerwani sekaligus BTI sekaligus SOBSI, lalu sang anak anggota Pemuda Rakyat. Dialektika demikian membantu pembacaan akan ‘warna merah’ dalam Gerwani.
Kurun Demokrasi Terpimpin Sukarno, Gerwani pun tak kalah ‘intim’ dekat dengan Sukarno. Tercatat begitu berapi-apinya Sukarno hadir dan memberikan sambutan dalam Kongres Gerwani keempat--terakhir sebelum meletus peristiwa G30S. Sukarno kian membakar api semangat anggota Gerwani dengan pemikiran Sukarno yang kala itu cenderung ke kiri. Nama Clara Zetkin, pemimpin perempuan sosialis dan partai sosialis terbesar dari Jerman berulang-ulang diucapkan sebagai role type perempuan sosialis pejuang. Maka tak mengherankan kala itu, anggota Gerwani terbiasa melek dengan bacaan-bacaan sosialis-marxis. Gerwani tampil menjadi organisasi perempuan ‘radikal’ yang berjuang di garda depan politik Nasakom Sukarno. Pengiriman delegasi pada pelatihan fisik demi menghadapi Trikora di Irian Barat dan Dwikora dalam pengganyangan Malaysia, kian memampatkan dugaan kemesraan Gerwani dengan arah politik Sukarno.
Pada akhirnya, meletusnya malam 30 September 1965 menjadi penutup rangkaian panjang 15 tahun Gerwani hidup di Indonesia. Sebuah gerakan kup terhadap pemerintahan resmi Sukarno yang diwarnai banjir darah para jenderal AD, membuat si kambing PKI berikut organisasi-organisasi underbouw-nya, simpatisannya, sekaligus siapa saja yang pernah dekat dengannya tak terkecuali Gerwani turut terseret dalam bumi hangus yang dilakukan oleh Suharto. Pencidukan paksa, penghilangan nyawa, pemenjaraan, penyiksaan, penghilangan paksa, pemutusan mata rantai hidup kemanusiaan orang-orang di sekelilingnya dilakukan pada periode panjang sepanjang Suharto berkuasa secara ‘ganjil’, yakni dengan selembar surat perintah yang kontroversial bernama Supersemar itu.
Tuduhan sadis dan keji diawali dari Gerwani dianggap sebagai sayap perempuan PKI. Kemudian berlanjut pada Gerwani adalah organisasi bejat tidak bermoral, ateis yang terlibat dalam pembunuhan sadis para jenderal di Lubang Buaya yang di kemudian hari dinamai Pahlawan Revolusi.
Kesimpulan
Dibumihanguskannya Gerwani hingga ‘ke akar-akarnya’, tak pelak menandai babak baru lenyapnya organisasi perempuan yang begitu penting bagi bangunan keindonesiaan pasca kolonial. Orde baru menanam benih hibrida dengan pembungkaman perempuan dalam fungsi ‘kodrati’ dalam rumusan mereka. Para perempuan ditalikan kuat dalam satu ideologi ibuisme melalui organisasi-organisasi bentukan negara dari tingkat pusat hingga keluarga. Tak ada yang tak berada dalam kontrol orde baru. Perempuan ditarik total dalam misi ‘domestik’ dalam naungan ideologi patriarki. Gemilangnya hasil-hasil pemikiran dan gerakan progresif-revolusioner Gerwani pada bangunan Indonesia dilenyapkan dari panggung sejarah.
___
Akhiriyati Sundari(Mahasiswi Islam dan Kajian Gender Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)
andarindari@gmail.com
http://www.jurnalperempuan.org/blog-feminis-muda/gerwani-dan-kepeloporan-perjuangan-politik-perempuan
0 komentar:
Posting Komentar