Senin, 21 Maret 2016 | 18:28 WIB
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengenang 10 Tahun
Kasus Munir dalam aksi Kamisan di Istana Negara, Kamis (4/9/2014).
Pegiat HAM mendesak penegak hukum untuk membuka kembali kasus Munir
untuk menjerat dan menghukum auktor intelektualis di balik pembunuhan
Munir.
JAKARTA, KOMPAS.com
- Ketua Setara Institute Hendardi mengkritik langkah pemerintah yang akan mengambil langkah non-yudisial dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Menurut dia, penyelesaian melalui jalur non-yudisial sama sekali tidak mendengarkan aspirasi keluarga korban yang selama ini mencari keadilan. Bahkan, Hendardi menuding pemerintah hanya mengambil langkah pragmatis dengan tak mau mengungkap kebenaran dari peristiwa-peristiwa berdarah.
"Indikasi itu muncul, karena hingga kini langkah-langkah yudisial tidak pernah dilakukan," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Senin (21/3/2016).
- Ketua Setara Institute Hendardi mengkritik langkah pemerintah yang akan mengambil langkah non-yudisial dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Menurut dia, penyelesaian melalui jalur non-yudisial sama sekali tidak mendengarkan aspirasi keluarga korban yang selama ini mencari keadilan. Bahkan, Hendardi menuding pemerintah hanya mengambil langkah pragmatis dengan tak mau mengungkap kebenaran dari peristiwa-peristiwa berdarah.
"Indikasi itu muncul, karena hingga kini langkah-langkah yudisial tidak pernah dilakukan," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Senin (21/3/2016).
Dia pun meragukan dalih pemerintah yang sulit mengungkap pelaku di balik kasus pelanggaran HAM berat.
Sebelumnya, pemerintah dan juga Kejaksaan Agung menganggap bahwa penyelesaian non-yudisial adalah solusi terbaik untuk menuntaskan beban kasus HAM masa lalu. Hal ini karena upaya pengungkapan kebenaran melalui proses peradilan sulit dilakukan karena banyak saksi yang sudah tiada.
Bagi keluarga korban, sebut Hendardi, yang terpenting adalah adanya kesediaan negara dan pengungkapan kebenaran dari peristiwa peristiwa kemanusiaan itu.
Setelah itu, negara sebagai subyek hukum HAM internasional, meminta maaf dan memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan pemulihan untuk korban.
"Tanpa pengungkapan kebenaran, prakarsa pemerintah hanya akan sia-sia dan semakin menebalkan impunitas," ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan, perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat semakin dekat dituntaskan. Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan, perkara-perkara tersebut akan selesai pada bulan Mei 2016.
"Sekarang sudah mau rampung. Kami harap, 2 Mei 2016 sudah bisa dituntaskan," ujar Luhut di kantornya, Kamis (17/3/2016).
Terdapat enam perkara HAM berat yang akan dituntaskan, yakni peristiwa 1965, Talangsari, penembak misterius, tragedi Semanggi I dan II, tragedi Wasior-Wamena dan penghilangan aktivis secara paksa.
Penuntasan perkara tersebut, menurut Luhut, akan dilaksanakan melalui jalur non yudisial atau rekonsiliasi. Cara tersebut sudah pasti dilaksanakan mengingat sulit jika ditempuh dengan jalan yudisial atau proses hukum.
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Sabrina Asril |
0 komentar:
Posting Komentar