Ari Susanto | 10:24 AM, March 18, 2016
Kisah Darsono, mantan tahanan politik Orde Baru, dari sel di Wonogiri, Nusakambangan, hingga Pulau Buru
Oktober 1965, suatu sore, tiga orang menemuiku
menyampaikan kabar bahwa aku dipanggil Pak Camat Citro untuk datang ke
kecamatan. Tak perlu bawa apa-apa, katanya hanya sebentar.
Kurasa ada hal penting. Kebetulan aku memang kenal dengan
camat Purwantoro itu. Aku tinggalkan putriku, lalu pergi ke kecamatan.
Di sana ada sudah ada 11 orang, kebanyakan aku kenal, ada juga guru
seperti aku.
Aku adalah Kepala SD Gondang, sebuah sekolah negeri yang
jaraknya tak jauh dari rumahku. Aku juga aktif di organisasi profesi dan
ditunjuk menjadi Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Non
Vaksentral Purwantoro.
“Tenang, tak perlu khawatir, tak ada apa-apa,” kata Camat
Citro berusaha menenangkan kepanikan kami ketika mobil tentara datang
saat hari mulai gelap.
Kami diangkut ke Wonogiri, pusat kabupaten yang jaraknya
sekitar 60 kilometer dari tempat tinggalku. Sampai di kota, mobil
berhenti di depan sebuah kantor militer. Seorang petugas berteriak,
“Langsung saja bawa ke penjara!” perintahnya.
Rombongan kami pun langsung diantar ke penjara di kota.
Aku beruntung tidak kena tampar serdadu yang menggiring kami. Kusaksikan
beberapa temanku dipukul dan ditendang sebelum dijebloskan ke dalam
sel.
Teror penjara kota
Selku sebenarnya untuk 7 orang, tetapi dijejali 37 orang,
sehingga penuh sesak. Tahanan hanya bisa berdiri berdesakan, tak bisa
duduk, pengap, dan panas. Lebih mengerikan lagi sel di sebelahku,
ukurannya sedikit lebih luas, tetapi isinya 80 orang.
Makanan kami hanya sejumput nasi jagung atau sekepal nasi dalam kaleng yang disorongkan lewat bawah terali besi.
Teror yang paling menakutkan terjadi hampir tiap hari –
“bon malam”. Orang-orang yang “dibon” dijemput truk, dibawa pergi,
tetapi tak pernah kembali ke penjara, entah hilang ke mana.
Bunyi kunci sel dan derit pintu besi pada malam hari
membuat kami bergidik. Tak ada suara, tak ada yang berani bicara. Dengan
jantung berdegup kencang, kami menunggu siapa yang bakal dipanggil
malam ini.
Aku nyaris “hilang” pada suatu malam. Tetapi entah apa yang terjadi, aku masih hidup sampai sekarang.
“Sudarsono, pimpinan SD Gondang keluar!” panggil petugas setengah
berteriak.
“Diam saja, jangan keluar. Kalau ditanya itu bukan namamu,” bisik teman-temanku.
Namaku Darsono, bukan Sudarsono. Aku diam saja, menuruti kata mereka.
Tentara itu mengulang panggilan tiga kali. Aku tak
beranjak. Entah apa yang membuat dia lalu pergi. Petugas itu mungkin
menganggap tahanan tidak ada, atau sudah ”dibon” pada malam sebelumnya
tetapi namanya belum dicoret. Yang jelas aku lolos dari maut.
Setiap malam, satu atau dua orang diambil dari setiap sel.
Di sel yang aku tempati, hanya tersisa 6 orang. Aku bertahan enam
minggu di penjara Wonogiri, sebelum menjalani interogasi.
“Saudara ketua PGRI Purwantoro?” tanya petugas di kejaksaan.
“Benar. Saya guru, organisasinya ya PGRI,” jawabku.
“Pernah melakukan rapat gelap 120 kali?” desaknya.
“Tidak pernah,” kataku.
“Pernah ceramah di masyarakat?” tanya dia.
“Sering, tetapi selalu di depan camat, polisi, dan
tentara. Tak ada yang disembunyikan, tak ada rapat gelap,” jawabku
meyakinkan sambil menyebutkan nama-nama pejabat pemerintah, polisi, dan
militer yang pernah mendengar ceramahku.
Petugas kejaksaan itu lalu menunjukkan secarik surat yang
melaporkan bahwa aku sering mengumpulkan orang-orang dalam rapat gelap.
Tetapi, aku tetap menyangkalnya.
Mati kelaparan di Nusakambangan
Aku akhirnya dibawa ke Cilacap, ke pulau Nusakambangan.
Awal 1966, aku masuk ke LP Permisan. Di sini tidak ada siksaan fisik
atau “bon-bonan”, tetapi aku setiap hari menyaksikan kengerian yang
lain. Mayat bergelimpangan, satu per satu tahanan di penjara mati
kelaparan.
Setiap orang hanya dijatah makan satu kepal gaplek setiap
jam makan – sehari hanya makan tiga kepal. Kondisi tahanan yang hidup
juga menyedihkan, hanya tinggal tulang dan kulit, seperti mayat hidup.
Badan tak punya tenaga. Aku masih ingat, untuk berdiri
saja kedua tanganku harus bertopang pada dinding dan bergerak sangat
pelan seperti orang tua renta.
Sekitar enam bulan kemudian, tahanan mulai sakit-sakitan.
Mereka berjatuhan meregang nyawa, terkapar di atas dinginnya lantai sel.
Ada 27 tahanan di sel yang kutempati meninggal bergiliran, dua di
antaranya adalah perangkat desa di Purwantoro. Terkadang dalam sehari
ada tiga orang mati karena sakit dan kelaparan.
Anehnya, kami tega tidak melaporkan teman satu sel yang
mati. Kami baringkan mereka yang telah meninggal di sudut belakang,
seolah-olah sedang tidur untuk mengelabui sipir penjara, meskipun pernah
ada yang curiga karena selalu mendapati mereka tidur selama seharian.
“Itu kenapa yang di belakang?” tanya petugas penjara.
“Sedang tidur, Pak, katanya lemas seharian,” ujar kami.
Dengan cara ini, mereka yang meninggal tetap mendapat
jatah makan. Jatah itu kemudian kita bagi rata untuk tahanan yang hidup
agar bisa makan lebih banyak.
Baru setelah tiga atau empat hari, kami laporkan mereka meninggal agar mayatnya dibawa keluar.
Aku diselamatkan oleh keluargaku di rumah. Suatu hari,
mereka mengirimkan banyak makanan dan baju untukku. Aku baru bisa
merasakan nikmatnya makan nasi, sambal, dan ikan asin.
Lalu aku membagikan makanan dan pakaian ke mandor tahanan,
Dulah, seorang tahanan kriminal kelas berat yang paling ditakuti di
Permisan. Sejak itulah ia baik dan sering mengajakku keluar sel, bahkan
sipir penjara pun tak berani melarangnya.
“Darsono mau aku bawa keluar, biar bekerja di kebun,” kata Dulah pada petugas penjara.
Aku pun senang sekali, akhirnya menjadi tahanan luar
setelah enam bulan mendekam di dalam sel. Mandor itu juga membolehkan
aku mengajak dua orang untuk menemaniku bekerja di kebun.
Kami bertiga mendirikan gubuk untuk tidur di luar penjara.
Setiap hari, aku menggembalakan kambing, berkebun, dan mencari ikan.
Kadang-kadang aku juga mencari kodok hijau yang besar-besar untuk
dijadikan santapan.
Apapun yang bisa dimakan aku tanam di kebun, seperti
pisang, ketela, dan tomat. Aku bebas makan di luar, sehingga badanku
mulai berangsur pulih kembali seperti semula.
Tetapi aku membayangkan nasib para tahanan di dalam yang
semakin hari semakin berkurang jumlahnya. Saat petugas jaga lengah,
akupun menyelundupkan makanan ke dalam penjara untuk para tahanan. Aku
melakukannya berkali-kali dan tak pernah ketahuan.
Aku mengelola kebun dan sawah di luar penjara dibantu
teman-temanku. Tanah Nusakambangan subur dan panen melimpah. Aku biasa
memeram 50 sampai 70 tandan pisang sekali panen, jumlah yang lebih dari
cukup untuk mengisi perut para tahanan. Bahkan, petugas lapas sendiri
juga aku kirimi pisang dan ketela dari kebun sampai-sampai mereka selalu
mendatangi gubuk tempat tinggalku untuk meminta jatah.
“Sudah cukup, jangan kirim makanan lagi untukku,” begitu aku menulis surat untuk keluargaku di rumah.
Maksud suratku tak ingin memberatkan anak istriku, tetapi
mereka malah mengira aku sudah mati di penjara karena menolak kiriman.
Keluargaku malah mengadakan upacara selamatan.
Sepuluh tahun aku bertahan hidup di Nusakambangan sebelum
akhirnya dipindah ke Pulau Buru pada 1975 menumpang kapal sapi bersama
sekitar 400 tahanan. Bau kotoran dan ganasnya ombak Samudera Hindia
malam membuat para tahanan itu mabuk laut.
Kapal merapat di Pulau Buru setelah tujuh hari berlayar.
Sore hari, kami dipaksa untuk berjalan terus menuju kamp tahanan yang
jaraknya sekitar 30 kilometer. Aku melihat ada yang terjatuh karena
kelelahan, tentara yang mengawal kami langsung menendangnya dari
belakang. Tak boleh berhenti.
Berkawan dengan Pramoedya
Beruntung kami bukan yang pertama dikirim ke sini.
Sehingga kami disambut tahanan yang lebih dulu ada di sini. Kebanyakan
adalah orang Jawa, dan kami berbicara dalam bahasa Jawa agar tidak
dipahami oleh tentara yang kebanyakan orang Indonesia Timur.
Di sini para tahanan politik ini memanggil yang lainnya dengan sebutan “lur” dari kata “sedulur” yang berarti saudara.
“Piye Lur, kabare Jawa saiki (Bagaimana kabar Jawa sekarang)? ” kata tahanan yang sudah menetap di sini.
Di sini pula aku berteman dengan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang juga ditangkap oleh Orde Baru.
Di mataku, Pram orang yang sangat sabar dan tak bisa
ditekan. Pram pernah dibantak-bentak tentara diancam mau dipukul, tetapi
ia tak pernah takut.
“Silakan pukul saja kalau tega,” kata Pram dengan santai.
Ia bisa mengayomi semua tahanan di Pulau Buru. Meskipun
kami di unit berbeda, tetapi sering bertemu dan berbincang. Aku di unit S
sedangkan Pram di unit pusat.
“Bagaimana Dar, keadaan teman-teman di unitmu, apakah sehat semua?” kalimat itu yang biasa ditanyakan Pram kepadaku.
Kehidupan di Pulau Buru lebih baik ketimbang di penjara
Nusakambangan yang serba kelaparan. Di sini, kami tinggal di barak dan
membuka hutan setiap hari untuk dijadikan sawah dan ladang.
Orang Jawa dari desa seperti aku kebanyakan memiliki
keterampilan bertani padi. Meskipun aku guru, tetapi aku juga memiliki
dan menggarap sawah di Purwantoro sebelum ditangkap.
Kami telah mencetak 70 hektar sawah, 30 hektar kebun
jagung, ubi, kelapa dan pisang. Sapi yang awalnya diberi 50 ekor setiap
unit, beranak pinak menjadi 200 ekor dalam tiga tahun. Ada yang
disembelih ada yang untuk membajak sawah. Kami juga mengajari penduduk
asli makan nasi.
“Inilah rumah kita, Lur, kita tidak akan pulang ke Jawa lagi,” begitu teman-temanku bercanda.
Pulau Buru, dari belantara menjadi lumbung pangan bagi
para tahanan politik. Meski demikian, aku masih merindukan keluargaku,
anak-anakku yang aku tinggal ketika mereka masih kecil.
Suratku dari Pulau Buru
Aku mencatat setiap kepingan kisahku selama di penjara
kota, Nusakambangan, sampai dibuang di Pulau Buru. Aku kabarkan dalam
surat untuk keluargaku, dan aku sampaikan pada mereka bahwa aku ingin
sekali pulang, bebas memilih tempat hidup di negeri ini.
Pada 1979, ada kabar bahwa kami akan dibebaskan. Aku
kabarkan lagi berita gembira ini kepada keluargaku. Tak lama kemudian,
kabar itu menjadi kenyataan. Kami diangkut dengan KRI Dewaruci
dipulangkan ke Jawa.
Kapal merapat di Tanjung Mas Semarang. Aku dijemput
keluargaku. Mereka tak mengenaliku, tetapi aku mengenali mereka.
Anak-anakku sudah besar. Kami saling menangis terharu.
Ketika pulang ke Purwantoro, aku takut orang-orang
membenci atau memusuhiku karena aku bekas tahanan politik yang dianggap
terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tetapi dugaanku salah besar. Rumahku didatangi warga desa
yang ingin bertemu dan menanyakan kabar. Mereka membawakanku makanan.
Orang-orang juga bergotong royong memperbaiki rumahku yang hampir roboh,
sebagian lainnya mencangkul ladangku agar bisa ditanami.
Selama sebulan, rumahku dijaga setiap malam. Aku merasa
bahagia, mereka tidak menganggapku sebagai pengkhianat dan perusuh.
Mereka tahu bahwa aku guru bagi anak-anak mereka.
Perangkat desaku juga berpihak kepadaku. Mereka menarik
kembali Kartu Tanda Penduduk (KTP) milikku tak lama sejak aku pulang,
lalu memperbaruinya dengan menghilangkan embel-embel ET (eks-tapol).
Tak lama kemudian, seorang guru muda yang kukenal datang
ke rumahku. Ia mengemis meminta maaf kepadaku karena telah membuat surat
laporan palsu, yang membuatku menjadi pesakitan selama lebih dari 13
tahun. —Rappler.com
Darsono (86 tahun) adalah mantan guru yang pernah
menjadi tahanan politik, penyintas peristiwa penangkapan, dan
penghilangan paksa 1965-66 yang kini tinggal di Purwantoro, Wonogiri,
Jawa Tengah. Ia berbagi cerita pengalamannya kepada Rappler untuk
mengungkap kebenaran yang selama ini dibungkam.
0 komentar:
Posting Komentar