Jumat, 11 Maret 2016 | 09:33 WIB
Mendagri Amirmachmud (kanan) dan Menteri Perindustrian Mohamad Jusuf
(tengah) Rabu kemarin hadir ketika Presiden Soeharto memberikan
wawancara khusus sekitar lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar)
10 tahun yang lalu kepada Brigjen Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat
Sejarah ABRI, bertempat di jalan Haji Agus Salim 98, rumah Jendral
Soeharto ketika menjabat Men/Pangad waktu itu. Kedua perwira tinggi
diatas bersama Letjen Basuki Rachmat alm. pergi ke Bogor menghadap
Presiden Soekarno dengan membawa pesan Jendral Soeharto, antara lain
"kalau saya masih dipercaya, saya sanggup mengatasi keadaan."
JAKARTA, KOMPAS.com -
Setelah mendapatkan Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno
yang dibawa oleh tiga jenderal dari Istana Bogor, Menteri Panglima
Angkatan Darat Letjen Soeharto langsung beraksi.
Soeharto tidak mau menunggu waktu lama untuk melakukan serangkaian "tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga keamanan, ketenangan dan kestabilan".
Dalam buku biografi Soeharto: Jenderal Besar dari Kemusuk, terbitan Dinas Sejarah Angakatan Darat, dia menyimpulkan bahwa penyebab pokok terjadinya pergolakan nasional saat itu adalah peristiwa G30S yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia.
Oleh karena itu, langkah pertama yang diambil oleh Soeharto adalah membubarkan PKI dan organisasi di bawahnya pada 12 Maret 1966 dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno.
Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966.
Isi surat keputusan itu adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas, berlindung dan bernaung di bawahnya.
Kedua, Soeharto menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
Dikutip dari arsip Harian Kompas yang terbit 14 Maret 1966, Surat Keputusan tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan, serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S.
Keluarnya Surat Keputusan ini mendapat respon yang luar biasa. Pada 15 Maret 1966 di Lapangan Banteng Jakarta diadakan Rapat Raksasa Keselamatan dan show of force dari RPKAD.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, Presiden Soekarno menilai apa yang dilakukan Soeharto menyalahi isi dari Supersemar.
Soekarno menghendaki pelaksanaan Supersemar hanya sebatas hal-hal teknis dan tidak melibatkan diri dalam bidang politik.
Dalam suratnya kepada Soeharto yang disampaikan melalui J Leimena tertanggal 14 Maret 1966, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk kembali kepada pelaksanaan Surat Perintah 11 Maret 1966.
Artinya, Soeharto diminta melaksanakan secara teknis belaka, dan tidak mengambil serta melaksanakan di luar bidang teknis, apalagi bersifat politis.
Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, Soekarno tidak pernah menyebutkan soal pembubaran PKI di dalam Supersemar.
Tindakan pembubaran PKI dianggap merupakan tafsiran Soeharto atas kalimat "melakukan hal yang dianggap perlu untuk mengamankan situasi."
"Ketika Soekarno tahu PKI dibubarkan, ia memanggil Soeharto dan marah. Ia minta surat itu untuk dicabut. Tapi Soeharto menolak," ujar Asvi ketika diwawancara Kompas.com, akhir pekan lalu (6/3/2016).
"Jadi artinya Soekarno melihat kekeliruan di situ, tapi Soeharto tetap melanjutkan yang dilakukannya," ucapnya.
AM Hanafi, mantan Duta Besar Indonesia di Kuba, pernah diperintahkan Soekarno untuk menghubungi beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar.
Surat itu dikenal juga dengan sebutan Surat Perintah 13 Maret, untuk membatalkan Supersemar.
"Tapi Soekarno tidak bisa berbuat banyak. Dia coba menghubungi bekas Panglima AU, Suryadharma. Tapi Suryadharma mengatakan, ia tidak punya lagi saluran untuk itu. Pers juga tidak mau memberitakan," kata Asvi.
Soeharto tidak mau menunggu waktu lama untuk melakukan serangkaian "tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga keamanan, ketenangan dan kestabilan".
Dalam buku biografi Soeharto: Jenderal Besar dari Kemusuk, terbitan Dinas Sejarah Angakatan Darat, dia menyimpulkan bahwa penyebab pokok terjadinya pergolakan nasional saat itu adalah peristiwa G30S yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia.
Oleh karena itu, langkah pertama yang diambil oleh Soeharto adalah membubarkan PKI dan organisasi di bawahnya pada 12 Maret 1966 dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno.
Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966.
Isi surat keputusan itu adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas, berlindung dan bernaung di bawahnya.
Kedua, Soeharto menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
Dikutip dari arsip Harian Kompas yang terbit 14 Maret 1966, Surat Keputusan tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan, serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S.
Keluarnya Surat Keputusan ini mendapat respon yang luar biasa. Pada 15 Maret 1966 di Lapangan Banteng Jakarta diadakan Rapat Raksasa Keselamatan dan show of force dari RPKAD.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, Presiden Soekarno menilai apa yang dilakukan Soeharto menyalahi isi dari Supersemar.
Soekarno menghendaki pelaksanaan Supersemar hanya sebatas hal-hal teknis dan tidak melibatkan diri dalam bidang politik.
Dalam suratnya kepada Soeharto yang disampaikan melalui J Leimena tertanggal 14 Maret 1966, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk kembali kepada pelaksanaan Surat Perintah 11 Maret 1966.
Artinya, Soeharto diminta melaksanakan secara teknis belaka, dan tidak mengambil serta melaksanakan di luar bidang teknis, apalagi bersifat politis.
Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, Soekarno tidak pernah menyebutkan soal pembubaran PKI di dalam Supersemar.
Tindakan pembubaran PKI dianggap merupakan tafsiran Soeharto atas kalimat "melakukan hal yang dianggap perlu untuk mengamankan situasi."
"Ketika Soekarno tahu PKI dibubarkan, ia memanggil Soeharto dan marah. Ia minta surat itu untuk dicabut. Tapi Soeharto menolak," ujar Asvi ketika diwawancara Kompas.com, akhir pekan lalu (6/3/2016).
"Jadi artinya Soekarno melihat kekeliruan di situ, tapi Soeharto tetap melanjutkan yang dilakukannya," ucapnya.
Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto
Lebih
lanjut Asvi menceritakan, pasca pembubaran PKI, Soekarno sempat
memerintahkan beberapa orang untuk membuat surat yang menyatakan
Supersemar tidak sah.
AM Hanafi, mantan Duta Besar Indonesia di Kuba, pernah diperintahkan Soekarno untuk menghubungi beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar.
Surat itu dikenal juga dengan sebutan Surat Perintah 13 Maret, untuk membatalkan Supersemar.
"Tapi Soekarno tidak bisa berbuat banyak. Dia coba menghubungi bekas Panglima AU, Suryadharma. Tapi Suryadharma mengatakan, ia tidak punya lagi saluran untuk itu. Pers juga tidak mau memberitakan," kata Asvi.
Penangkapan 15 Menteri
Dalam waktu enam hari setelah Soeharto menerima Supersemar, tidak kurang dari 11 petunjuk pelaksanaan Supersemar telah dikeluarkan.
Di antara petunjuk pelaksanaan itu terdapat Instruksi Nomor 1/3/1966 yang ditujukan kepada semua pimpinan organisasi massa dan organisasi politik untuk tidak menerima atau menampung anggota eks PKI.
Pada tanggal 15 Maret 1966, ada upaya Soeharto untuk mengeluarkan Soebandrio, salah satu menteri yang loyal kepada Soekarno dan dituding terlibat G30S, dari kabinet.
Soeharto menyampaikan kepada Soekarno bahwa situasi nasional semakin buruk akibat adanya tuntutan rakyat terhadap perubahan Kabinet Dwikora. Akhirnya, Soekarno pun setuju
Setelah itu, tindakan Soeharto yang ingin menghabisi PKI hingga ke akarnya semakin gencar. Pada tanggal 18 Maret 1966, menurut versi Asvi, Soeharto atas nama Soekarno mengeluarkan perintah penahanan sementara terhadap 15 menteri yang setia pada Soekarno.
Adapun menteri yang ditahan itu adalah Oe Cu Tat, Setiadi Reksoprodjo, Sumarjo, Soebandrio, Chairul Saleh, Soerachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martiprojo, Astrawinata, Mayjen TNI Achmadi, Moch Achadi, Letkol Inf Imam Syafei, J. Tumakaka, dan Mayjen TNI Sumarno.
Sedangkan menurut versi buku biografi Soeharto, penahanan tersebut dilakukan karena ada sejumlah demonstran menuntut perombakan kabinet.
Mereka menduga ada beberapa menteri yang terindikasi terlibat peristiwa G30S dan dekat dengan PKI. Mereka juga meminta menteri-menteri tersebut ditangkap dan diserahkan ke Makostrad.
"Mereka ditahan di beberapa tempat, berpindah-pindah. Misalnya di dekat TMII. di situ dulu ada tempat penahanan. Sekarang sudah tidak ada," ujar Asvi.
Menurut cerita Asvi, Soebandrio pernah ditahan di Cimahi, tempat di mana Letkol Untung dieksekusi.
Beruntung bagi Soebandrio, dia tidak jadi dieksekusi. Sebab, ada surat dari Presiden Amerika dan Ratu Inggris, Elizabeth, yang protes kepada Soeharto karena Soebandrio pernah jadi Duta Besar Indonesia di Inggris.
Kontrol media
Pemulangan itu dilakukan terhadap 4 batalyon dan satuan detasemen atau sekitar 3.000 sampai 4.000 pasukan.
"Orang-orang yang menjaga dan loyal pada Soekarno itu disingkirkan. Mereka adalah kekuatan pendukung Bung Karno. Kemudian tugasnya diserahkan pada Pomdam Jaya. Artinya ya Soeharto ingin mengurung dan mengawasi Soekarno, bukan mengamankan," tutur Asvi.
Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 22 Maret 1966, Soeharto mulai melakukan kontrol terhadap pers.
Setiap pemberitaan mengenai berita politik dari RRI dan TVRI harus seizin dari dinas penerangan Angkatan Darat.
Angkatan Darat pun harus mengetahui berita apa yang akan ditulis oleh koran atau media massa lain.
Mereka punya hak untuk melarang sebuah berita diterbitkan apabila dianggap membahayakan stabilitas negara.
"Setiap berita yang ditulis oleh media massa harus sepengetahuan Angkatan Darat. Mereka harus tahu media massa menulis apa sebelum diterbitkan. Seluruh kebijakan itu dikeluarkan dalam satu paket, pada bulan Maret 1966," ucap Asvi.
Jika melihat seluruh rangkaian tindakan yang dilakukan selama bulan Maret 1966, Asvi menyimpulkan bahwa ada indikasi Soeharto melakukan 'kudeta merangkak'.
Rangkaian tindakan tersebut dilakukan secara bertahap untuk mengambil alih kekuasaan penuh dari tangan Soekarno.
Misalnya saja saat dua pengusaha, Hasjim Ning dan Dasaad, membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan pada Soeharto.
Upaya lain adalah demonstrasi mahasiswa menuntut Tritura yang didukung tentara, kedatangan tiga Jenderal ke Istana Bogor pada 11 Maret 1966, pembubaran PKI, hingga mengontrol pemberitaan media.
Sebuah kudeta lazimnya merupakan upaya pengambilalihan kekuasaan secara cepat dan tidak terduga. Namun di sini Soeharto melakukannya secara berangsur-angsur dan bertahap.
"Inilah paradoks kudeta yang dilancarkan Soeharto," kata Asvi.
Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta. Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan.
"Saya, kata Presiden Soeharto, tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan 11 Maret 1971.
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Bayu Galih |
0 komentar:
Posting Komentar