Oleh: Harsa Permata*
Siapa Fransisca Fanggidaej?
Bagi generasi
yang dibesarkan dan dididik oleh sejarah rekayasa versi Orde Baru, maka nama
Fransisca Fanggidaej adalah nama yang asing. Kenapa demikian? Hal itu
disebabkan oleh tidak tercantumnya nama Fransisca Fanggidaej dalam buku sejarah
manapun. Terutama buku-buku sejarah yang peredarannya diperboleh kan oleh rezim
Orde Baru.
Akan tetapi, nama
Fanggidaej ternyata tercatat dalam buku peringatan South East Asian Youth &
Students Conference (Konferensi Pemuda dan Pelajar Asia Tenggara) yang
bertempat di Kalkuta, India.
Namanya tertulis
sebagai seorang tokoh perempuan Indonesia yang berpidato menyampaikan pada
dunia internasional tentang perjuangan bangsa negeri jajahan Hindia Belanda,
atau bangsa Indonesia (Setiawan, 2006:8-9).
Konferensi
Kalkuta ini terjadi pada tanggal 21-26 Februari 1948. Konferensi ini adalah
pertemuan kaum muda negara-negara jajahan imperialis, yang sedang berusaha
memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Pertemuan Kalkuta ini kemudian
berlanjut menjadi Konferensi Asia Afrika yang berlangsung di Bandung, tahun
1955 (Setiawan, 2006:9).
Latar Belakang Keluarga
Fransisca Fanggidaej
Sebagai seorang
aktivis pergerakan nasional progresif, Fanggidaej adalah juga menjabat sebagai
ketua dalam kepengurusan pertama organisasi Pemuda Rakyat yang merupakan
onderbouw PKI (Partai Komunis Indonesia). Akan tetapi, siapa nyana kalau
sebelum terlibat dalam pergerakan, Fanggidaej berasal dari keluarga yang
berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pegawai tinggi dalam pemerintahan Hindia
Belanda, yang bernama Gottlieb Fanggidaej. Sang ayah berasal dari Pulau Roti
(Setiawan, 2006: 13). Ibunya bernama Magda Mael, seorang ibu rumah tangga yang
berasal dari Timor. Fransisca lahir pada tahun 1925 di Noel Mina, Timor.
Kedudukan sang
ayah yang tinggi dalam pemerintahan Hindia Belanda membuat dia menjadi seorang
Belanda hitam. Apa itu Belanda hitam?
Belanda hitam
adalah orang yang tidak berdarah Belanda, akan tetapi status sosialnya
disamakan dengan orang Belanda/Eropa. Status “Belanda hitam” ini sudah dimiliki
oleh keluarga mereka sejak generasi kakek Fransisca Fanggidaej. Sang kakek dari
pihak ayah, adalah seorang pendeta Kristen, ia berasal dari keluarga raja di
wilayah Baubau. Raja di sini berbeda maknanya dengan raja di Jawa maupun
Sumatera. Status keluarga raja di sini adalah berdasarkan atas kepemilikian harta
kekayaan yang dalam hal ini adalah kerbau (Setiawan, 2006: 17-18).
Bergabung dengan Pergerakan
Nasional Progresif
Keterlibatan
Fransisca dalam dunia pergerakan nasional progresif diawali ketika ia bergabung
dengan kumpulan intelektual muda Maluku di Surabaya. Kumpulan ini dipimpin oleh
Gerit Siwabessy dan Dr. Latumeten, mereka menyelenggarakan berbagai diskusi
tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pergantian kekuasaan dari tangan
pemerintah Hindia Belanda ke tangan penguasa militer Jepang, dan meninggalnya
sang ayah, membuat Fransisca harus berjualan barang-barang buatan ibunya dari
pintu ke pintu. Dengan ditutupnya sekolah-sekolah Belanda oleh penguasa militer
Jepang, membuat Fransisca tidak bersekolah lagi. Kondisi seperti ini mendorong
Fransisca untuk mencari teman bermain dan mengobrol. Ketika itulah ia mulai
sering berkunjung ke rumah Dr. Gerrit Siwanbessy, yang merupakan saudara jauh
Fransisca dari pihak Ibu (Setiawan, 2006: 45-48).
Dari
keterlibatannya dalam kumpulan inilah, Fransisca memahami arti kemerdekaan dan
keberagaman. Kumpulan ini kemudian mengutus Fransisca untuk menghadiri Kongres
Pemuda yang Pertama di Yogyakarta, pada bulan November 1945 (Setiawan, 2006:9).
Kongres ini
kemudian menghasilkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). BKPRI
memiliki dua dewan, yaitu Dewan Perjuangan dan Dewan Pembangunan. Selain itu,
kongres Pemuda tersebut juga melahirkan organisasi progresif yang bernama
Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO). PESINDO adalah gabungan dari 7 organisasi
kepemudaan yang berideologi kerakyatan atau sosialisme (Antun Joko Sismono).
Dalam
perkembangan berikutnya, Fransisca kemudian memilih bergabung dengan PESINDO.
Ia ditempatkan di bagian penerangan Dewan Pimpinan Pusat PESINDO. Bagian
penerangan ini bertugas untuk memberikan informasi pada dunia internasional
tentang perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Informasi tersebut
disampaikan melalui radio Geloran Pemoeda Indonesia (Setiawan, 2006:9). Siaran
radio Gelora Pemoeda menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Belanda,
dan Inggris.
Fransisca
ditugaskan untuk mengurus siaran radio dalam bahasa Belanda dan Inggris. Selain
menyiarkan informasi, radio tersebut menyiarkan alasan pentingnya berjuang
melawan penjajah Belanda (Setiawan, 2006:85).
Fransisca dan Peristiwa Madiun
1948
Peristiwa Madiun
1948, adalah peristiwa yang penting dan membekas dalam hidup Fransisca. Mengapa
demikian? Hal itu dikarenakan pasca peristiwa tersebut, ia harus kehilangan
salah satu orang yang disayanginya, yaitu suaminya, Sukarno, pimpinan bagian
penerangan PESINDO dan BKPRI.
Pada tahun 1946,
PESINDO mendirikan “Marx House” di Madiun. Marx House menyelenggarakan
kursus-kursus politik bagi semua anggota PESINDO baik itu yang berada di laskar
maupun yang nonlaskar. Guna dari kursus-kursus politik tersebut adalah untuk
memberikan pemahaman tentang dasar-dasar dan tujuan perjuangan PESINDO
(Setiawan, 2006: 95). Fransisca sebagai anggota PESINDO, mengikuti agenda
kursus politik tersebut. Pasca kursus tersebut, ia kemudian dipercaya untuk mengikuti
rapat-rapat yang lebih tinggi tingkatannya (Setiawan, 2006: 99).
Selepas
menjalankan tugas PESINDO untuk mengikuti berbagai konferensi di luar negeri
(Eropa dan India). Setelah menghadiri dan berpidato tentang perjuangan
kemerdekaan Indonesia dalam konferensi Kalkuta, Fransisca pulang ke Indonesia.
Setiba di Indonesia, setelah melapor pada BKPRI dan PESINDO, Fransisca kemudian
ditugaskan berkeliling, dalam perjalanan keliling itu, ia juga menyampaikan
ceramah tentang pidatonya di konferensi Kalkuta. Selain itu, ia mengikuti
berbagai rapat dan diskusi PESINDO (Setiawan, 2006:129).
Sebagai seorang
anggota PESINDO yang memiliki garis politik yang sama dengan PKI, Fransisca
menggabungkan diri pada peristiwa Madiun 1948. Persetujuannya terhadap konsep
“jalan baru” Musso, yang menurutnya “berperan untuk memperkuat kemerdekaan
konsekuen melawan kolonialisme Belanda”, membuat Fransisca ikut melarikan diri
dari kejaran tentara dan orang-orang Murba, bersama rombongan Amir Sjarifuddin
(Setiawan, 2006: 130-137).
Pada tanggal 19
Desember 1948, Sukarno suami Fransisca, Amir Sjarifuddin, dan 9 orang lainnya
ditembak mati, atas perintah Gubernur Militer Gatot Subroto. Sukarno kemudian
dimakamkan di Ngalihan. (Setiawan, 2006:139). Fransisca kemudian ditangkap oleh
Kemal Idris, pimpinan TNI divisi Siliwangi. Ia kemudian dituduh oleh tentara
membawa blue print peristiwa Madiun dari “Kongres Partai-Partai Komunis
Sedunia” yang juga berlangsung di Kalkuta. Padahal Fransisca sebenarnya tidak
tahu perihal adanya kongres tersebut, yang ternyata adalah kongres Parti
Komunis India, yang mengundang tokoh-tokoh partai komunis dari negara-negara
lainnya (Setiawan, 2006: 142).
Fransisca
kemudian dibebaskan dari penjara Gladak oleh sekelompok anggota PESINDO yang
berhasil selamat dari “teror putih” peristiwa Madiun. Ia tidak dieksekusi mati
oleh tentara adalah karena kondisi kehamilannya. Ia kemudian dibawa ke rumah
sakit pimpinan dokter Sumarno, untuk pemulihan kesehatan dan perawatan
kehamilannya. Di rumah sakit itu ia kemudian melahirkan bayi perempuan yang
kemudian dinamai Nilakandi Sri Luntowati (Setiawan, 2006:155-157).
Menjadi Ketua Pemuda Rakyat
Pada tahun 1950
PESINDO menyelenggarakan kongres, dalam kongres tersebut PESINDO berubah
menjadi Pemuda Rakyat. Fransisca kemudian ditunjuk memimpin Pemuda Rakyat,
bersama Ir. Setiadi. Setelah kurang lebih tiga tahun menjabat, Fransisca
kemudian mengundurkan diri dari kepengurusan Pemuda Rakyat. Alasan pengunduran
diri Fransisca adalah karena ia merasa sudah terlalu tua untuk memimpin sebuah
organisasi kepemudaan (Setiawan, 2006: 173).
Ia kemudian
bekerja di tiga ormas yaitu, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Komite
Perdamaian, dan OISRAA (Organisasi Internasional untuk Setiakawan Rakyat
Asia-Afrika). Pada tahun 1955, terkait dengan akan diselenggarakannya
Konferensi Asia Afrika, Fransisca kemudian diminta untuk bekerja secara
freelance pada Kantor Berita Antara (Setiawan, 2006: 174-175).
Fransisca sempat
bekerja di bawah tanah ketika berlangsung Razia Agustus, yang juga dikenal
sebagai “Razia Sukiman” pada bulan Agustus 1951 (Setiawan, 2006:182). Razia
Agustus adalah sebuah percobaan untuk menggagalkan konsolidasi PKI pasca
peristiwa Madiun 1948.
Kabinet Sukiman
ketika itu mengadakan perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat terkait peristiwa
perang Korea. Agar sejalan dengan posisi Amerika Serikat yang antikomunis, maka
Sukiman memerintahkan penangkapan secara membabi buta terhadap para anggota
PKI. Penangkapan ini didasarkan atas tuduhan palsu yang direkayasa. Ribuan
anggota PKI kemudian dijebloskan ke penjara atas dasar tuduhan palsu tersebut.
Menjadi Anggota Parlemen dan
Peristiwa G30S
Pada tahun 1957,
Fransisca kemudian menjadi anggota DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong-Royong) dan anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Keanggotaannya di DPR-GR dan MPRS adalah berdasarkan atas pengangkatan
presiden, setelah sebelumnya diajukan oleh partai. Ia duduk di DPR-GR sebagai
anggota Golongan Karya (Golkar). Ketika itu Golkar adalah sebuah organisasi
yang terdiri dari berbagai golongan. Ia adalah wakil golongan wartawan dalam
Golkar. Dalam DPR-GR, ia ditempatkan di Komisi Luar Negeri yang dipimpin oleh
Manai Sophiaan. Di komisi ini, Fransisca mengurusi persoalan Timor Timur, yang
ketika itu masih menjadi jajahan Portugal (Setiawan, 2006: 186).
Tahun 1964,
sebagai anggota Komisi Luar Negeri DPR-GR, Fransisca ditugaskan menjadi anggota
rombongan penasihat Presiden Sukarno untuk mengikuti Konferensi Asia Afrika III
di Aljazair. Konferensi tersebut kemudian gagal karena kudeta militer
Boumediene terhadap Ben Bella (Setiawan, 2006: 189-191).
Ketika peristiwa
G30S terjadi, Fransisca sedang melakukan kunjungan ke Chile sebagai salah satu
utusan Indonesia dalam Kongres Organisasi Wartawan Internasional di Chile.
Peristiwa G30S membuat Fransisca tidak bisa pulang ke Indonesia. Ia kemudian
menetap di Republik Rakyat Tiongkok sampai tahun 1985. Setelah itu ia kemudian
menetap di Belanda. Peristiwa G30S/1965 inilah yang kemudian memisahkan
Fransisca dengan Suami keduanya, Priyo, dan tujuh orang anak-anaknya.
Priyo kemudian
ditahan di RTC Salemba (Setiawan, 2006: 194). Fransisca menjadi anggota Komite
Indonesia-Belanda dan mendirikan Yayasan Studi Asia di Belanda. Ia menetap di
Zeist, sebuah kota kecil di Provinsi, Utrecht, Belanda (Setiawan, 2006: 207).
Ia baru bisa pulang ke Indonesia pada tahun 2003, untuk menemui keluarganya.
Penutup
Ada pelajaran
penting yang bisa kita ambil dari riwayat hidup Fransisca Fanggidaej. Yaitu
bahwa posisi seseorang dalam revolusi, adalah bukan hanya ditentukan oleh latar
belakang klas belaka, melainkan atas dasar keberpihakannya pada salah satu
klas, baik itu klas tertindas maupun penindas. Ada banyak juga kita jumpai
orang-orang yang secara klas berasal dari klas tertindas, akan tetapi secara
keberpihakan, orang-orang tersebut membela klas penindas dengan gigih.
Fransisca adalah
orang yang berlatar belakang borjuis birokrat, ayahnya adalah seorang pegawai
tinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, secara keberpihakan, ia
memilih berpihak pada posisi klas tertindas yang dalam hal ini adalah bangsa
jajahan kolonial Hindia Belanda, yaitu Indonesia. Awalnya memang dari diskusi
yang mencerahkan di rumah Geit Siwanbessy. Setelah itu Fransisca memilih
bergabung dengan PESINDO, salah satu organisasi pemuda revolusioner yang
berideologi kerakyatan.
Jalan
revolusioner yang dipilih Fransisca memang berliku, dari mulai pengejaran
terhadap dirinya dan kawan-kawan seperjuangannya pasca peristiwa Madiun oleh
Tentara dan para aktivis Murba.Peristiwa Madiun juga membuat dia harus
kehilangan suami pertamanya yang dieksekusi mati oleh tentara. Sampai peristiwa
G30S/1965, yang berakibat terpisahnya dirinya dan keluarga yang disayanginya
(suami kedua dan ketujuh anaknya).
Walaupun
demikian, Fransisca tetap konsisten di garis perjuangan anti imperialisme,
pasca G30S, dia juga sempat menghadiri sebuah konferensi di Kuba, yang
resolusinya mengutuk pembantaian massal yang terjadi pasca peristiwa G30S.
Jalan
revolusioner penuh liku yang ditempuh Fransisca ini mengajarkan pada kita bahwa
menjadi seorang revolusioner harus siap menghadapi segala apa yang akan
merintangi jalan revolusioner yang sedang kita titi. Konsistensi adalah hal
yang paling utama dalam perjuangan revolusioner.
Walaupun telah
menjadi anggota parlemen, Fransisca tetap konsisten menyuarakan perjuangan klas
tertindas. Konsistensi inilah yang belum kita temukan pada para aktivis
Indonesia zaman sekarang, yang setelah masuk dalam pusaran kekuasaan malah
terlena pada gemerlap uang dan kekuasaan, sehingga melupakan ideologi dan
perjuangan kerakyatan yang selama ini dijalaninya.
Daftar Pustaka
Fanggidaej,
F, 2006, Memoar Perempuan Revolusioner, Galangpress, Yogyakarta.
www.mail-archive.com/jaker@yahoogroups.com/msg00736, http://id.wikipedia.org/wiki/Francisca_C._Fanggidaej,
0 komentar:
Posting Komentar