5 Juni 2018 15:12
Jaksa Agung RI Muhammad Prasetyo (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Jaksa Agung HM Prasetyo membeberkan apa yang menjadi
persoalan sulitnya mengungkap sederet pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Prasetyo menilai, kesulitan itu terletak pada waktu yang sudah berlalu cukup
lama. Sehingga menurutnya, pengusutan kasus dengan mencari saksi-saksi,
tidaklah mudah.
"Bahkan mungkin sudah enggak ada lagi. Ini kasus 1965-1966 sudah beberapa puluh tahun yang lalu itu. Mungkin yang dituduh pelakunya pun sudah enggak ada semua. Sudah meninggal juga secara alamiah. Saksinya juga sama saja. Barang bukti lain juga seperti itu, makanya kita lihat realitas, begitu lah," ujar Prasetyo kepada wartawan, usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR di ruang Komisi III, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/6).
Dia juga menegaskan, penyelesaian kasus ini, bukan
menjadi pekerjaan Kejaksaan Agung semata. Prasetyo menyebut, tugas Kejagung
selama ini, hanya menerima hasil penyelidikan dari Komnas HAM.
"Itu bukan PR (pekerjaan rumah) Kejagung, itu PR bersama. Ada Komnas HAM di sana, tidak semata-mata kejaksaan. Kita hanya menerima hasil penyelidikan dari Komnas HAM. Kalau hasil penyelidikannya sudah memenuhi syarat untuk ditingkatkan penyidikan, sudah ada peradilan adhoc-nya, ya jalan. Kenapa tidak?" tuturnya.
Kendati begitu, sejauh ini, Prasetyo mengaku pihaknya
telah berusaha semaksimal mungkin mengungkap kasus tersebut. Terlebih, kata
Prasetyo, Presiden Joko Widodo selalu mengingatkan agar berbagai kasus itu
segera diusut hingga tuntas.
Gedung Komnas HAM (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
Sebelumnya, Prasetyo juga mengaku telah mengusulkan agar
penyelesaian kasus HAM berat masa lalu dilakukan dengan rekonsiliasi. Dia juga
mengklaim, untuk kasus 1965-1966, pihak keluarga juga tidak keberatan dengan
penyelesaian secara nonyudisial.
"Bukan berarti kami mengabaikan kasus itu. Kita sungguh-sungguh. Kami bekerja keras bersama Komnas HAM. Berulang kali kami melakukan bedah kasus dengan mereka (Komnas HAM). Ya itu faktanya," ucap dia.
Kasus 1965-1966 yang disinggung Prasetyo adalah tragedi pembunuhan
massal 1965-1966 yang diduga menimpa anggota, terduga, dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia (PKI). Setelah diselidiki Komnas HAM selama empat tahun,
setidaknya terdapat sembilan pelanggaran HAM yang ditemukan dalam tragedi itu.
Antara lain, ditemukan adanya unsur dugaan pembunuhan,
perbudakan, pemusnahan, pengusiran, perampasan, pemindahan penduduk,
penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, hingga penghilangan orang secara paksa.
Seluruh pelanggaran tersebut dikategorikan sebagai
pelanggaran berat, jika merujuk pada Undang-undang Nomor 26 tentang Pengadilann
HAM.
Namun, dalam kesempatan sebelumnya, Prasetyo menganggap
hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu,
masih minim bukti.
"Jadi memang bolak-balik saya hitung ada yang sampai 10 kali sejak 2007 penyelidikan itu dilakukan, hasilnya sama saja," ujar Prasetyo.
"Bukannya enggak mau menyelesaikan, bukan. Tapi persoalannya yuridis itu. Jadi proses penegakan hukum itu kan harus selalu berjalan di atas bukti bukan asumsi atau opini," ungkapnya.
0 komentar:
Posting Komentar