1 Juni 2018
Presiden Joko Widodo menerima sejumlah peserta aksi Kamisan di Istana Negara, Kamis (31/05).
Untuk pertama kalinya para peserta unjuk rasa Kamisan, yang terdiri dari keluarga korban berbagai insiden pelanggaran HAM, bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Kamis sore (31/05).
Dalam pertemuan itu, menurut juru bicara kepresidenan, Johan Budi: "Presiden memerintahkan kepada jaksa agung untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM."
Ucapan itu disambut baik Sandyawan Sumardi, figur yang senantiasa mendampingi para keluarga korban pelanggaran HAM dalam setiap aksi Kamisan.
Sandyawan menilai pernyataan presiden adalah langkah maju menuju penyidikan atas berbagai pelanggaran HAM berat.
"Memang secara eksplisit belum, tapi bahwa presiden memerintahkan jaksa agung, itu ke arah sana," kata Sandyawan.
Bagaimanapun, sebelum penyidikan terwujud, pria yang aktif dalam sejumlah kegiatan kemanusiaan itu menekankan pentingnya pengakuan presiden bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam sejumlah insiden di masa lalu.
Pandangan ini dikuatkan Maria Katarina Sumarsih, ibunda Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan--mahasiswa Universitas Atmajaya yang tewas ditembak pada November 1998.
"Permohonan kami agar bapak presiden memberikan pengakuan terjadinya pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki Komnas HAM yaitu insiden Semanggi 1, Semanggi 2, Trisakti, penghilangan paksa, kerusuhan 12-15 Mei 1998, Talangsari Lampung, dan tragedi 1965. Ini menjadi kewajiban jaksa agung untuk menindaklanjuti ke tingkat penyidikan," lanjut Sumarsih.
'Pepesan kosong'
Walau Joko Widodo tercatat sebagai presiden pertama yang menemui para peserta aksi Kamisan, tindak lanjutnya jauh lebih penting.
"Saya berharap pernyataan presiden bukan pepesan kosong. Cuma saya sangat khawatir ujungnya seperti yang sebelum-sebelumnya," kata Asfinawati, direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Dia mengemukakan sejumlah indikasi, antara lain penolakan Kejaksaan Agung untuk memulai penyidikan kasus Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti walau Komnas HAM telah menyerahkan hasil penyelidikan pada April 2002.
Data Tim Gabungan Pencari Fakta bentukan pemerintahan Presiden BJ Habibie soal kerusuhan 1998 pun tidak pernah diselidiki lebih jauh oleh pihak pemerintah.
Pengangkatan Wiranto sebagai menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan juga menjadi indikator.
"Secara politik Jokowi sebenarnya sudah memberikan pesan bahwa penuntasan HAM tidak akan terjadi. Bagaimana mungkin seseorang yang terindikasi melakukan pelanggaran HAM, berada di posisi strategis seperti itu?" Demikian dijelaskan oleh Asfinawati.
Sebelumnya, Wiranto tidak pernah bersedia dimintai keterangan oleh Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi 1 dan 2. Saat kejadian, Wiranto menjabat sebagai Panglima TNI.
Pada 2016, Wiranto berjanji akan melanjutkan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM masa lalu "secara adil, transparan dan bermartabat".
Dia tidak menjelaskan secara detail cara dan metode penyelesaiannya, kecuali mengatakan bahwa penyelesaiannya "tidak merugikan kepentingan nasional".
Pencitraan?
Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, Asfinawati menyebut pertemuan Presiden Jokowi dan para peserta aksi Kamisan hanyalah pencitraan menjelang pemilu 2019.
"Ini adalah semacam pencitraan untuk menghadapi tahun politik. Saya berharap korban tidak dibohongi oleh Jokowi. Dipanggil ke istana, diberikan harapan hanya untuk elektoral," kata Asfinawati.
Ditanya soal hubungan antara pertemuan dengan Presiden Jokowi dan pilpres 2019 mendatang, Maria Katarina Sumarsih, tegas menyatakan dia dan para keluarga korban lainnya tidak mendukung capres manapun.
"Siapapun yang menjadi presiden, kami keluarga korban bisa melakukan tuntutan. Presiden siapapun berkewajiban menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia baik yang masa lalu maupun masa kini karena ternyata kasus kekerasan negara masih terjadi di berbagai daerah," tutur Sumarsih.
Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44320036
0 komentar:
Posting Komentar