Kamis, 21 Juni 2018 13:03 WIB
Nani Nurani, Korban Tragedi Kemanusiaan '65
Nani Nurani (Foto: law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)
Tujuh tahun mendekam di penjara karena sesuatu yang tidak diperbuatnya. Lima belas tahun berjuang untuk memulihkan nama baik. Ia percaya, kejahatan akan terbongkar pada saatnya.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) telah mengubah jalan hidup Nani Nurani (77). Pada awal 1960-an, ia dikenal sebagai penyanyi Istana Cipanas yang kemudian menjadi sekretaris pribadi perwira menengah dan tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Ia tidak pernah membayangkan, tiga tahun pasca kejadian berdarah itu, ia berstatus tahanan politik. Menjalani hukuman di penjara wanita Bukit Duri selama tujuh tahun.
Keterlibatannya dalam acara ulang tahun Partai Komunis Indonesia (PKI) yang digelar pada Juni 1965 di gedung pertemuan Cianjur menjadi pangkal permasalahan. Kepergiannya ke Jakarta sehari setelah mengisi perhelatan itu menambah kecurigaan militer ihwal keterlibatannya dalam peristiwa G30S.
“Saya dibilang ke Lubang Buaya, melakukan penyiletan, dan membacakan kidung kematian Letjen Ahmad Yani,” kata Nani, memulai ceritanya pada law-justice.co, di rumah pribadinya di Plumpang, Jakarta Utara, Minggu (17/6/2018).
Sontak Nani merasa kaget. Ia ingat betul, Kamis malam, 30 September 1965, ia sedang tidur bersama kakak perempuannya, sehabis pulang berlatih tarian Lenso di Jalan Pegangsaan Timur, untuk sebuah acara di Istana Bogor pada 3 Oktober 1965. Nani bahkan baru tahu ada peristiwa berdarah itu, pada pukul 09.00 WIB. Kakak iparnya, yang memberi tahu, ketika baru pulang dari perjalanan dinas di Bogor.
Nani meyakinkan, sepanjang hayatnya ia tidak pernah aktif di dunia politik, apalagi terkait dengan PKI. Ia hanya seorang penyanyi tembang Cianjuran. Kiprahnya dimulai sejak Februari 1962 ketika dipercaya untuk mengisi sebuah acara peresmian Dinas Kebudayaan Kabupaten Cianjur. Oleh istri bupati, ia diminta untuk menjadi pagar ayu, mengiringi menyambut Presiden Soekarno ketika bertandang ke Istana Cipanas bersama tamu negara.
Meskipun telah mahir mendendangkan tembang Cianjuran, kesempatan untuk bernyanyi justru datang pada saat yang tak terduga. Ketika itu Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja sedang mampir ke Istana Cipanas, namun urung melanjutkan perjalanan karena terjadi longsor di daerah Ciranjang.
Pada saat itulah ia diminta menyanyi. Ternyata, suara Nani disukai oleh sang perdana menteri. Belakangan, Bung Karno yang menggemari salah satu tembang dalam kisah Lutung Kasarung, juga kepincut dengan suara merdu Nani.
Meskipun begitu, pada pertengahan 1965 Nani lebih memilih hijrah ke Jakarta untuk bekerja. Ia memang telah berkali-kali ditawari untuk menjadi sekretaris di PT Takari, menjadi sekretaris Letkol Atmoko.
“Nani tidak dikontrak, malah dibekali uang muka sebesar Rp 50 ribu, kalau enggak betah boleh keluar dari perusahaan,” kata Nani, menirukan perkataan sang bos saat ditawari kerja di Jakarta.
Selepas peristiwa G30S, serangkaian teror pun menimpa perempuan yang hingga kini melajang itu. Rumahnya digeledah oleh tentara pada 3 Oktober 1965. Salah seorang keponakannya dipukuli orang karena membela sang bibi yang dicap komunis. Nurhayati, kakak Nani, juga sempat disergap dan ayahnya diancam akan dijadikan sandera oleh Polisi Militer (CPM), jika Nani tak lekas pulang ke Cianjur.
Karena itu, ia dilarang untuk pulang ke Cianjur. Sampai akhirnya Letkol Atmoko pun ditangkap CPM karena diduga terlibat. Nani lalu menjadi sekretaris pribadi Brigjen Soetarjo Soerjosoemarno di NV Mugi.
Serangkaian peristiwa itu membuatnya depresi. Nani sempat berkonsultasi dengan kepala rumah sakit jiwa Grogol. Kakaknya melarang Nani untuk membaca koran dan majalah, menonton televisi, dan menerima tamu dari Cianjur. Alih-alih terlindungi, ia malah merasa terisolasi.
“Saya tidak melakukan apa-apa, tapi enggak bisa ngomong. Jadinya malah memendam, marah dan, stres,” jelasnya.
Mengetahui persoalan itu, Brigjen Soerjo meminta Nani untuk mengurus surat bebas Gerakan 30S ke Koramil di Jakarta guna membuktikan dirinya memang tidak bersalah. Dokumen ini dan surat pengantar dari sang bos, menjadi modal baginya untuk memberanikan diri pulang ke Cianjur karena bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, Desember 1968.
Nahas, sehari sebelum kepulangannya ke Jakarta, pada 23 Desember malam, pintu rumahnya digedor oleh anggota CPM bersenjata laras panjang pimpinan Letnan Rudiono. Pada usia 27 tahun pun digelandang ke Gedung Ampera Cianjur untuk diperiksa. Dipindahkan lagi ke kantor CPM Bogor pada 20 Januari 1969. Lima hari kemudian, ia dibawa ke CPM Guntur hingga akhirnya ditahan di penjara wanita Bukit Duri pada 29 Januari 1969.
Dididik Ayah Agar Jangan Berpolitik
Nani Nurani lahir di Cianjur, Jawa Barat, 23 Februari 1941. Ayahnya, Raden Baya Affandi, adalah seorang veteran perang dan pejuang kemerdekaan. Ia menikah dengan janda sembilan anak yang baru berusia 17 tahun, H.I. Hadidjah. Setelah menikah, lahirlah Nani dan kakak perempuannya yang bernama Nurhayati.
Foto: law-justice.co/ Teguh Vicky Andrew
Nani kecil hidup di lingkaran pejuang kemerdekaan yang menentang penjajahan Belanda dan sekutu. Selain sang ayah, semua saudara laki-lakinya memilih jadi tentara kemerdekaan. Nani masih ingat, keluarganya sering berpindah-pindah tempat hanya untuk menghindari kejaran Belanda.
“Sampai nasi mentah pun dimakan. Takut tertangkap Belanda,” kenang Nani.
Dulu, pada Perang Kemerdekaan II tahun 1948, rumahnya jadi tempat persinggahan para tentara pelajar yang keluar masuk hutan untuk mengusir penjajah, agar tidak kembali menguasai Indonesia. Mereka para pejuang dari berbagai latar belakang, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) Partai Komunis Indonesia (PKI) Partai Murba dan Partai Masyumi. Nani sering mendengar mereka berdiskusi dan berdebat hingga pagi.
“Mereka enggak pernah berkelahi. Di luar mereka beda partai, tapi di otaknya cuma satu, Indonesia. Karena itu mereka bersaudara,” kata Nani.
Kendati sudah akrab dengan politik sejak kecil, Nani dan saudara perempuannya dilarang untuk terlibat langsung dengan partai politik. Ayah Nani ingin anak perempuannya netral, agar kelak jika menikah, bisa mengikuti haluan politik dari suami. Pernah suatu ketika, Nani dipaksa keluar dari Madrasah saat kelas V Sekolah Dasar, karena ayahnya berpendapat tempat itu mulai disisipi ideologi politik Masyumi.
Sejak kecil, Nani ditanamkan nilai-nilai agama, kebudayaan dan karakter kebangsaan yang kuat. Ayahnya adalah seseorang yang dihormati, karena mengusai tiga kebudayaan di Cianjur: pandai mengaji (Ngaos), ahli tembang Sunda (Mamaos), dan jago bela diri (Maenpo).
Hampir setiap malam sebelum tidur, ayah Nani medongengkan tiga buku yang berjudul Rengganis (Raden Abdussalam), Purnama Alam (R. Suriadireja), dan The Count of Monte Cristo (Alexandre Dumas). Ketika sudah sekolah, Nani membaca ketiga buku itu sendiri.
Dari ketiga bacaan tersebut, Nani mengaku mendapat banyak pelajaran. Rengganis mengajarkan kesetiaan perempuan pada janjinya. Purnama Alam mengajarkan ketabahan dalam menjalani hidup. Sedangkan novel The Count of Monte Cristo mengajarkan Nani agar bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.
Sebab itulah, Nani begitu syok ketika harus mendekam tujuh tahun di penjara karena sesuatu yang sebetulnya tidak ia lakukan. Ia melihat banyak orang bernasib sama. Dipaksa bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak diperbuatnya. Sejak itu juga ia sadar, begitu mudahnya politik merenggut kemerdekaan seseorang.
“Saya ini korban politik. Karena itu saya enggak suka politik. Trauma pada manusia-manusia kotornya. Lebih baik nonton dangdut,” kata Nani, sambil tertawa.
Berjuang Memulihkan Nama Baik Sampai Akhir
Di penjara perempuan Bukit Duri, Nani bertemu Moedigdo yaitu ibu mertua dari ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit. Moedigdo tahu, Nani tidak bersalah dan tidak mengerti apa-apa tentang peristiwa G30S. Karena itu, begitu bertemu Nani, ia berjanji untuk menggantikan peran orang tua, menjaga Nani di penjara.
“Banyak orang bilang kalau PKI itu tidak beragama. Tapi saya khatam (membaca) al-Quran sama beliau,” cerita Nani.
Nani menjelaskan, ia banyak belajar tentang kehidupan dari Moedigdo. Anggota DPR dari fraksi PKI itu mengajarkannya bagaimana menjadi perempuan yang sopan dalam bergaul dengan orang dari berbagai macam latar belakang. Nani juga diajarkan mandiri agar mampu mengurus diri sendiri.
Selain Moedigdo, Nani juga berkenalan dengan Salawati Daud, perempuan pertama yang menjadi Walikota Makassar, Sulawesi Selatan. Ia juga adalah anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi sayap PKI. Salawati mengajarkan Nani bagaimana menjadi seorang umat beragama yang toleran dan tidak mengatur-atur kehendak Tuhan.
Nani juga mengenal dengan baik mantan Sekretaris Jenderal II Gerwani, Kartinah Kurdi. Dari Kartinah, Nani belajar menjadi orang yang menjaga penampilan. Di mata Nani, Kartinah dilihatnya sebagai sosok perempuan yang selalu tampil cantik dan rapih dalam berpakaian. Nani juga kagum pada Sekjen Gerwani lainnya, Masyesiwi, yang selalu lembut dan tidak pernah marah.
Setelah mengenal banyak orang penting di penjara, Nani sadar bahwa Orde Baru telah menciptakan rekayasa cerita tentang karakter orang-orang PKI. Ia bahkan sekamar dengan mantan pembantu di rumah Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green. Seseorang yang sama sekali tidak terkait dengan PKI, namun juga harus mendekam di penjara.
Grafis: law-justice.co/Christopher AA Mait
Selama mendekam di penjara Nani tidak berhenti diperiksa. Ia tetap dipaksa untuk buka suara tentang keterlibatan dengan PKI. Diminta untuk menyebut siapa-siapa lagi yang terlibat. Tekanan itu membuat kesehatannya mulai memburuk pada 1970. Lima tahun kemudian, 19 November 1975 ia diizinkan menjadi tahanan rumah dan menjalani wajib lapor ke CPM Guntur. Nani akhirnya bebas penuh pada 5 April 1976.
Setelah menghirup udara bebas, Nani tidak ingin kembali ke Cianjur karena tidak mau bertemu dengan Letnan Rudiono, anggota CPM yang menangkapnya di Cianjur. Ia memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta di kediaman pamannya dan kembali bekerja dengan Brigjen Soerjo.
“Di sana, letnan saja yang bertanduk. Kalau di Jakarta, tidak akan ada yang berani dengan saya. Saya bisa bicara apa saja,” kata Nani.
Nani mencoba untuk memulai hidupnya kembali. Namun label ‘eks Tapol’ di Kartu Tanda Penduduk (KTP) telah merenggut sebagian besar haknya. Ia tidak boleh mengikuti Pemilu dan dilarang bepergian ke luar negeri. Nani bahkan kembali dikenai wajib lapor saat terjadi peristiwa Tanjung Priok pada 1984, setiap tiga bulan sekali di kecamatan dan sebulan sekali di kelurahan.
Setelah Soeharto lengser, Nani mulai memikirkan cara untuk memulihkan hak-haknya sebagai warga negara. Ia meminta untuk dibuatkan KTP seumur hidup karena usianya sudah menginjak 60 tahun, namun ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri.
Pada 2003, Nani didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Usaha Nani dan tim kuasa hukumnya membuahkan hasil. Majelis hakim mengabulkan tuntutan Nani dan menyatakan negara telah salah menangkap orang yang tidak terbukti memiliki kaitan dengan PKI.
Tidak berpuas diri, Nani melanjutkan perkaranya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2011. Ia ingin agar nama baiknya dipulihkan dengan dokumen resmi dari pengadilan dan negara, agar di masa depan tidak lagi dikait-kaitkan dengan eks Tapol.
“Pengalaman di penjara memang mengajarkan saya agar menjadi orang berani. Saya tidak lagi mudah percaya kalau belum ada hitam di atas putih (dari negara). Dulu, saya juga sudah diberi surat oleh Pak Soerjo, tapi tetap dipenjara,” ucapnya.
Sayang, kali ini permohonan rehabilitasi nama baiknya ditolak. Begitupun dengan upaya banding di tingkat Pengadilan Tinggi dan usaha pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, tidak berhasil.
Nani mengatakan, dalam waktu dekat ia akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Bersama dengan kuasa hukum dan para pakar hukum tata negara, ia juga berencana untuk membuat buku yang berisi memori eksaminasi, mengenai perkara hukum yang dijalaninya sejak 2003.
Nani menolak menyerah begitu saja. Ia senantiasa menjaga harapan agar kasus pelanggaran HAM berat pada tragedi ‘65 bisa tuntas. Nani bahkan pernah diperiksa Komnas HAM dan mendapatkan empat rekomendasi, bahwa ia adalah korban salah tangkap.
Nani memang tidak berharap banyak. Ia sadar, negaranya saat ini masih dipenuhi oleh orang-orang pro Orde Baru. Namun dia yakin, hanya tinggal menunggu waktu saja, kejahatan masa lalu akan terungkap dengan terang benderang.
“Saya tidak dendam. Saya juga tidak ingin mencari pelaku. Saya hanya benci dengan tatanan hukum kita,” tegas Nani.
Bagi Nani, Orde Baru telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang besar. Menumpahkan ratusan ribu darah manusia. Melukai jutaan orang karena harus berpisah dengan keluarganya dan kehilangan masa-masa indah dalam kehidupan mereka. Dari semua itu, Nani bahkan merasa beruntung. Sebab ia masih diberi kesehatan untuk beraktivitas. Masih mampu naik turun angkutan umum. Tidak disiksa saat diinterogasi.
“Saya ingin menikmati sisa hidup di hari tua. Tapi mencari keadilan di negeri ini begitu susah,” tegas dia, menutup obrolan kami malam itu.
Penulis: Januardi Husin & Teguh Vicky Andrew
Sumber: LawJustice
0 komentar:
Posting Komentar