Nur Janti | 21 Juni2018
Lebaran dewasa menjadi momen suka cita. Tapi, tidak buat para tahanan politik Orde Baru.
SUARA takbir menggema. Para tahanan politik (tapol) muslim di Kamp Plantungan sibuk makan zakat fitrah untuk penduduk sekitar kamp. Meski dalam kondisi serba kekurangan, mereka masih sanggup untuk berzakat. Mereka mengumpulkannya dari penjualan barang-barang produksi selama di kamp.
Kamp Plantungan memang dibuat agar para tapol bisa memproduksi kebutuhan sendiri. Lahannya yang luas Di lembah mudah dipelihara. Itu dilakukan karena pemerintah kekurangan dana yang digunakan selama ini.
Paginya, para tapol muka salat Idulfitri di permukaan dekat pohon tua. Konon pohon ini sudah ditanam sejak Ratu Yuliana lahir, 1909. Setelah selesai salat, mereka menggulugitam dan kembali ke blok masing-masing. Di depan blok, mereka disambut para tapol Kristen dan Katolik yang sudah berbaris. Semua penghuni saling bersalaman dan mengucapkan selamat lebaran. Hari raya dilangsungkan bersama petugas kamp dan tahanan lain. Tak ada keluarga, tak ada sanak saudara.
Benar, Kamp Plantungan memberikan kesempatan pada keluarga untuk mengunjungi sanak saudara yang mencuri. Tapi kebebasan memilih tidak menggunakan kesempatan itu dan para tapol lebih memilih mereka.
"Para tahanan lebih memilih tidak mengunjungi orang-orang yang belum terjaring pemeriksaan Pemerintah Soeharto," kata Amurwani Dwi Lestariningsih pada Historia.
Trauma para tapol dan keluarga tentang penangkapan dan pembataian 1965 masih kuat di benak mereka. Banyak anggota keluarga cukup mengunjungi kerabat mereka. Namun, ada yang utama kucing-kucingan seperti yang dilakukan Dokter Sumiyarsih Siwirini.
Dokter Sumiyarsih sering dimintai warga desa sekitar kamp mengobati mereka. Biasa, akr disamar sebagai warga desa yang akan berobat. Sumiyarsih pun bertahan diri agar tidak ketahuan petugas jika satu dari tamu-tamu yang dikunjungi adalah anak kandungnya. Sumiyarsih khawatir kerabatnya akan ditangkap bila ketahuan memiliki hubungan dengannya.
Kesulitan bertemu dengan sanak saudara acap melahirkan keputusasaan. Beberapa tapol positif. Mereka bisa kembali hidup bebas dan berkumpul dengan keluarga. “Di Plantungan sudah tersedia kuburan. Teman saya yang mati di sana ada 12 orang. Kalau hari raya kami saling mengirim bunga. Sudah tidak ada gambaran pulang, pasti mati di Plantungan. Di sini sampai mati, ”kata Sukini, tapol asalah Purwodadi, Grobogan, seperti diceritakan Amurwani dalam bukunya Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan .
Namun, lebaran di Wirogunan lebih mengenaskan. Sehari sebelum lebaran pada 1967, makanan yang dibagikan adalah oyek apek dan berkutu. Tapol perempuan di Blok F dan tapol pria di Blok E bekerja di jalan raya puasa dilanjut seharian. Pengalis tenda akhirnya mengalah dengan memberikan grontol alias jagung rebus yang diberi parutan kelapa pada jam 9 malam.
“Heran, para petugas-petugas itu senang sekali melakukan hal semacam itu. Tahun lalu jatahnya gathot beracun,” kata Mia Bustam dalam memoarnya, Dari Kamp ke Kamp.
Sehari menjelang Lebaran 1966, jatah makan sakit dari Wirogunan bukan grontol tapi gathot, singkong hitam yang diberi parutan kelapa. Namun, yang bisa dimakan hanya parutan kelapanya lantaran gathotnya sudah apek.
“Tahanan perempuan tidak makan gathot itu, malah banyak yang menangis, nelangsa. Mau lebaran disebut makanan kok seperti ini,” kata Sumiati pada Josepha Sukartiningsih yang menulis “Kompas Perempuan Menjadi Tapol”.
Sementara, tahanan pria di Wirogunan langsung Makan gathot apek itu. Tak berapa lama, terdengar orang muntah. Gathot itu sudah kadaluarsa dan beracun.
Di hari lebaran, para tahanan wanita bisa salat Idulfitri bersama tahanan pria di halaman penjara. Kesempatan yang sering mereka gunakan untuk mencari sosok yang mereka rindukan. Ada perjumpaan kecil antara para tapol perempuan dengan suami atau anak mereka yang juga mencuri. Namun mereka tak bisa saling tegur dan berbincang; hanya ada tatapan, anggukan, dan sedikit senyum dari kejauhan sebagai ucapan selamat hari raya.
Selesai salat, para tahanan setelah menerima kunjungan sanak saudara. Namun kesempatan itu sangat kecil. Antrean di Wirogunan berjubel lantaran baik keluarga tapol maupun tahanan berebut untuk berkunjung. Hal itu membuat banyak tapol gagal menemukan keluarga mereka.
Mia siklus hal itu. Dia hanya bisa melihat kerabatnya dalam antrean, lalu melambaikan tangan dari dalam sel.
“Saat mereka sampai di pintu los koper, waktu besuk sudah habis. Aku hanya bisa menerima kirimannya saja,” kata Mia. Lebaran tak melulu membawa kebahagiaan. Ada kalanya lebaran memupuk kepedihan tidak mungkin berkumpul dengan sanak saudara.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar