*Anton DH Nugrahanto
Rumah dimana Soekarno dilahirkan di Soerabaia (Sumber: Tempo)
Soekemi
Sosrodihardjo seorang guru muda dari Surabaya yang ditugaskan untuk mengajar di
Sekolah Rakyat (setingkat SD) di Bali, tepatnya di Banjar
Paketan-Liligundi-Buleleng, Singaradja Bali. Setelah mengajar Sukemi senang
sekali berjalan-jalan mengelilingi desa dan melihat kehidupan sosial
masyarakatnya. Bahkan Soekemi sering mencatat bagaimana rakyat desa bergerak.
Satu hal yang
diperhatikan Soekemi adalah budaya dari banjar Bali yang amat marak itu, sebuah
kegiatan sakral dan penuh harmoni. Tiap ada upacara-upacara suci di Pura Bali
sendiri ada tarian sakral bernama Tari Rejang.Tarian ini ditarikan khusus
perempuan dengan gerakan amat halus, tarian ini bisa amat indahnya bila
dilatari bulan purnama dan malam bersih penuh bintang, sehingga penontonnya bisa
menjadi amat tenang, khidmat dan penuh syukur pada Tuhan.
Suatu saat
Soekemi menonton bersama temannya yang seorang guru juga dari Jawa, tarian ini.
Ia terpesona dengan dua orang perempuan cantik, tapi ia tak tau siapa namanya
kedua perempuan itu. Namun kemudian ada kesempatan dimana Soekemi melempar
bunga, dan lemparan bunga itu mengenai seorang penari cantik dengan mata bulat
bulan ‘Ni Nyoman Srimben’. Ia penari yang amat cantik dengan bibir yang tebal
manis, dan alis mata yang amat hitam, tersenyum pada Soekemi, saat itulah cinta
pertama jatuh pada dua hati anak manusia.
“Perkenalan
adalah takdir, menjadi teman adalah pilihan dan mencintai seseorang kerap
diluar kendali dari diri seorang yang sedang jatuh cinta” Soekemi sudah jatuh
cinta, ia telah memilih dan ia sanggup menghadapi resikonya apa saja.
Rupanya Ni Nyoman
Srimben juga jatuh hati pada pemuda dari Jawa ini, -“Ia seorang guru ayah” kata
Nyoman Srimben kepada ayahnya I Nyoman Pasek ketika menghaturkan cerita tentang
pemuda pilihan hatinya. I Nyoman Pasek tentunya menolak “dia berbeda agama
dengan kita” Soekemi sendiri beragama Islam, dan Nyoman Pasek menghendaki
Srimben menikah saja dengan pemuda dari banjar-nya sendiri ketimbang pemuda
yang berasal dari Jawa, dari tempat yang jauh.
Tapi cinta telah
mengikat dua perasaan ini, cinta telah menjadikan dua cerita antara Soekemi dan
Srimben sebagai naluri aksara puisi, Soekemi melihat dua mata Srimben, ada
getaran, bukan saja ia melihat masa depan dirinya sendiri, tapi masa depan yang
lebih besar, ‘namun ia tak mengerti’. Srimben sendiri melihat Soekemi juga
dengan perasaan sama, ada perasaan pertanggungjawaban bahwa cinta ini harus
diteruskan, -apapun resikonya-.
Lalu Soekemi
bertanya pada Srimben “Apakah kau mencintaiku” lalu Srimben diam lama dia
melihat sawah luas membentang hijau di desanya, udara langit putih bersih dan
daun-daun pohon kamboja mengayun lembut. –Srimben mengangguk penuh arti-.
Akhirnya Soekemi berani melamar menikah pada ayah Srimben, Bapak Nyoman Pasek.
Namun Nyoman Pasek secara halus menolak.
Akhirnya dipilih
suatu sikap yang berani, yaitu : Ngarorod atau Kawin Lari. Di Tengah Malam
Soekemi membawa lari Srimben, lalu dikejar-kejar penduduk desa dan Soekemi
berlindung di tempat seorang Polisi. Penyelesaiannya adalah ke Pengadilan, di
Pengadilan tampaknya cinta dua anak manusia ini tak bisa dipisahkan, akhirnya
semua orang yang menyaksikan rela dengan ikhlas menyatukan dua perbedaan ini
karena keberanian dan pertanggungjawaban Soekemi serta Srimben dalam
menjalankan cintanya, Soekemi hanya dimintai denda atas tindakannya melakukan
Ngarorod, dan keluarga Srimben menyetujui Soekemi menikah dengan Ni Nyoman
Srimben.
Pernikahan ini
berlangsung damai, tiba-tiba datang surat dari penilik sekolah yang mengabarkan
bahwa Soekemi harus pindah ke Blitar dan bertugas disana. Ni Nyoman Srimben
ikut Soekemi, dengan menumpang perahu layar mereka mengarungi selat Bali menuju
Jawa, tampak dari kejauhan pulau Jawa berkabut, keindahan pulau Jawa dengan
ratusan nyiur di pantai membuat Srimben merasa bergetar, ada suara lembut
menyapa kalbunya ‘Disinilah masa depanmu bermula’.
Di Blitar,
Soekemi dan Srimben hidup amat sederhana, seperti layaknya penduduk Jawa yang
lain, hidup dalam suasana keprihatinan suasana orang yang dijajah, tiap pagi
Srimben harus menumbuk padi, menjaga tumbukannya tidak dimakan ayam, ia mencuci
dan segala bentuk kegiatan lainnya, ia mencintai suaminya dengan amat sangat
yang tiap hari dengan sepeda warna hitam itu pergi ke sekolah mengajar. Di
tahun pertama pernikahannya, lahirlah seorang anak perempuan dan diberikan nama
sebagai Soekarmini. Gembiralah rumah kecil pak guru itu dengan hadirnya anak
perempuan yang lucu.
Suatu siang
Srimben bermimpi tentang bulan purnama terang sekali, ia bermimpi berjalan di
ruang yang bergolak, kemudian melanjutkan ke ruang yang tenang. Ia berdoa
semoga mimpinya ini berjalan ke arah kebaikan, tak lama setelah mimpinya ini
ada, ia hamil. Di tengah kehamilannya ini ia kerap bermimpi tentang sinar
matahari berwarna kuning muda bangkit dari balik cakrawala, dan entah kenapa
Srimben sangat menyukai warna pagi matahari. Soekemi senang bukan kepalang,
melihat isterinya hamil lagi. Ia mengelus-elus perut isterinya dan membacai
surat al fatihah, ia berharap anak ini akan menjadi berguna bagi keluarga dan bangsanya.
Anak ini akan dipenuhi oleh rasa cinta, dipenuhi keberanian dalam menghadapi
kehidupan dan ketabahan dalam penderitaan untuk mencapai tujuan. Anak ini harus
menjadi seorang yang kuat, begitu harapan Soekemi.
Lalu tanggal 6
Juni 1901, jam 6 pagi meledaklah suara tangis bayi, Soekemi berdiri dari tempat
duduknya, ia mendatangi dukun bayi yang membantu proses kelahiran...”Anakmu
laki-laki, Pak Guru...laki-laki” kata dukun bayi itu dengan wajah senang seraya
memberi selamat dan Soekemi dengan dada berdegup kencang berlari ke sudut rumah
lalu mengucapkan syukur.
Malamnya Soekemi
menuliskan surat kepada keluarga isterinya di Buleleng dengan kata-kata singkat
: “Anakku telah lahir, anak kedua, dia laki-laki dan kuberikan nama Koesno.
Semoga ini menjadi awal yang baik dari semuanya”. Tulis Soekemi di tengah
pelita yang redup.
Bayi itu sehat,
gemuk dan pipinya merah. Bayi ini sangat tampan. Bahkan beberapa kerabat
Soekemi yang mengunjungi terpesona dengan ketampanan bayi ini. Satu hal yang
sangat disenangi Srimben dalam merawat bayi ini adalah menghadapkannya ke timur
matahari, dengan cahaya matahari yang merekah, wajah tampan bayi merah ini
tertimpa alur-alur cahaya pagi lalu Srimben berucap “ Lihatlah anakku, lihatlah
sang Fajar bangkit dari peraduannya, kau lahir ketika sang fajar bangkit dan
menerangi dunia, kau lahir bukan saja membawa hari baru, tapi sebuah jaman
baru.....”
Kelak di kemudian
hari ucapan Srimben ini semacam profetik (ramalan) yang dinisbahkan pada diri
anak ini, seorang anak yang kemudian sakit-sakitan dan diganti nama menjadi
SUKARNO.
Sukarno kecil
tumbuh dengan gembira, ia suka berenang-renang dikali, memancing dan bermain
gasing. Ia tak mau kalah dalam permainan “Bagi Sukarno, ia tak boleh
dikalahkan” kenang Sukarno kelak dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy
Adams.
Karena kemiskinan
Sukarno kerap hidup kekurangan, ia harus menumbuk beras sendiri, ia berjalan
kaki ke sekolah tanpa sepatu. Yang paling sedih diingat Sukarno adalah ketika
hari menjelang lebaran, banyak anak-anak bermain petasan, ledakan petasan
dimana-mana, ia ingin membakar petasan, ia iri teman lainnya bisa membeli dan
membakar petasan menyambut malam takbiran. Sukarno ingin merayakan menjelang
lebaran dengan petasan “aku ingin petasan...ingin sekali” tapi Sukarno kecil
tau, ayahnya tak punya uang, ia tak tega meminta pada bapaknya. Kemudian yang
ia lakukan adalah menangis di kamar, ia melingkari wajahnya dengan bantal yang
penuh air mata, ia ingin petasan. ‘keinginan anak-anak yang lumrah’.Tak lama
ketika Sukarno menangis, datanglah seseorang teman ayahnya mengetuk pintu dan
memberikan sebungkus petasan pada Soekemi “ini untuk anakmu” lalu Soekemi
memanggil Sukarno dan memberikan sebungkus petasan itu “Ini untuk kamu,
hati-hati mainnya” Bukan main gembira hati Sukarno, kenangan ini ia tak bisa
lupakan seumur hidupnya, ia juga sadar ‘tangisan yang tulus adalah doa yang
didengar Tuhan”. Dan memang sepanjang hidupnya Sukarno kerap menangis diam-diam
untuk bangsanya.
Sukarno dibawa
ayahnya ke rumah indekost HOS Tjokroaminoto di Jalan Plampitan, Surabaya.. saat
itu Sukarno diterima di HBS Surabaya, Pak Tjokro adalah kawan dekat ayah
Sukarno, “Jagalah baik-baik anakku” kata Soekemi, Pak Tjokro dengan kumis yang
tegas itu memegang pundak Sukarno “Nah, kau sekarang di HBS, kau harus
bertanggung jawab bukan saja pada hidupmu, tapi juga bangsamu” nasihat Pak
Tjokro dengan mata tajam dan wajah yang teduh. Sukarno mengangguk pelan, lalu
ia diantarkan ke kamarnya yang gelap, kecil dan agak kotor, -karena kamar yang
lain sudah penuh-. Tapi Sukarno menerima dengan gembira, ia memang punya watak
selalu senang dalam keadaan apapun. Bagi Sukarno ‘mengeluh adalah tanda
kelemahan jiwa, bergembiralah di tiap hidupmu, seberat apapun
masalahmu...gembiralah...gembiralah” itu prinsip Sukarno dalam menjalani
kehidupan.
Banyak
kawan-kawan yang mengenang Sukarno adalah seorang pelajar yang cerdas, pembaca
buku, pintar menggambar – salah satu yang paling diingat adalah ketika di kelas
sedang ada pelajaran menggambar bebas, Sukarno muda menggambar anjing dan
kandangnya, gambar anjing itu amat hidup dan membuat guru Belandanya
terperangah, ia memamerkan gambar Sukarno- tapi nilai gambar itu tetap tidak
boleh tinggi dari gambar anak Belanda, diam-diam Sukarno mulai tau bahwa
bangsanya terjajah.
Sukarno cepat
bila mengerjakan PR, setelah selesai mengerjakan PR ia mengusili kawan kost
yang lain, hingga kalau malam banyak kamar ditutup pintunya ‘untuk menghindari
gangguan Sukarno’. Akhirnya Sukarno iseng-iseng pidato sendirian di kamar, ia
meniru seorang dalang dan meniru Pak Tjokro yang sedang berpidato. Bila Sukarno
kecil berpidato ia bergerak seakan-akan seorang aktor yang bisa menggenggam
dunia, “Kebebasan...Kebebasan..dan Kebebasan” teriak Sukarno meniru Danton
tokoh revolusi Perancis dalam khayalannya itu. Lalu anak-anak melongok keluar
jendela kamar dan dengan malas-malasan kembali lagi ke meja belajarnya sambil
mengomel “Ah, Paling itu Si No...ingin menguasai dunia” kata mereka.
Dan memang
Sukarno kelak menguasai dunia, dibawah pesonanya banyak negara-negara
terinspirasi untuk merdeka, dibawah jalan hidupnya kemerdekaan Indonesia
direbut, bangsa Indonesia memiliki martabatnya, merebut kehormatannya dan
berdiri sebagai bangsa besar di dunia. Dan Sukarno-lah alasan terbesar bangsa
ini berdiri-.
-Hari ini 6 juni
2012 dan Bung Karno ulang tahun, Selamat Ulang Tahun Bung Karno............-
Jakarta, 6 Juni
2012
Catatan : Nama
Ibunda Sukarno adalah Ni Nyoman Srimben, pada tahun 1954 sebagai Presiden RI,
Sukarno menghadiahkan nama Ida Ayu atau Idayu kepada Ibunda-nya dengan
disaksikan banyak pejabat RI dan dari negara sahabat, sebuah penghargaan terbesar
dari seorang anak kepada ibunya.
0 komentar:
Posting Komentar