Catatan Bonnie Triyana
Senin, 4 Juni yang lalu Presiden Jokowi mengundang beberapa ilmuwan terkemuka ke Istana Merdeka. Saya keseret ikut, walau jelas saya bukan ilmuwan, apalagi terkemuka. Tema diskusi: “Dialog Pembangunan Sosial dan Budaya.” Ada banyak pertanyaan, terutama apa yang dimaksud dengan pembangunan, sebuah kata sakti yang kerap digunakan sejak zaman Soeharto.
Setelah kemarin mengunggah foto, ada yang tanya apa yang dibicarakan di dalam pertemuan itu. Memang tak banyak beritanya, kecuali satu berita dengan judul yang sedikit meleset., “Undang Cendekiawan Muslim, Jokowi Minta Masukan soal Radikalisme.” Kenapa meleset? Karena yang hadir tak semua beragama Islam.
Beberapa ilmuwan yang hadir antara lain Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, sejarawan Asvi Warman Adam, Alisa Wahid, sosiolog Thamrin Amal Tomagola, antropolog senior Usman Peli, PM Laksono, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, St. Sunardi dan beberapa intelektual lain.
Pertemuan dimulai pukul 13:00. Presiden memberikan sambutan. Menyampaikan beberapa soal penting dalam pemerintahannya, mulai dari program infrastruktur sampai dengan isu intoleransi dan radikalisme yang hangat diperbicangkan akhir-akhir ini.
Sejarawan Azyumardi Azra buka suara pertama, menyambung sambutan presiden tentang meningkatnya intoleransi. Dia mengusulkan agar pemerintah menyelenggarakan lokakarya ke kampus-kampus, pesertanya terdiri dari guru, dosen dan ketua BEM. Lokakarya ini diharapkan bisa menangkal radikalisme dan intoleransi yang kini marak dan menjalar ke kampus-kampus.
Setelah Azyumardi, giliran Alisa Wahid, putri Gus Dur, angkat bicara. Dia menyuguhkan sejumlah hasil temuan riset tentang mesjid-mesjid yang dikuasai kaum intoleran yang kerap menghasut dan menyebarkan kebencian. Alisa menyampaikan juga bagaimana intoleransi masuk ke sekolah-sekolah.
Apakah semua membicarakan isu intoleransi? Tidak. Daniel Dhakidae, sebagai orang timur, menyampaikan terima kasih kepada presiden atas pembangunan infrastruktur yang dilakukan di daerah asalnya. Daniel juga menyampaikan keheranannya mengapa banyak orang memandang sebelah mata program pembangunan infrastruktur yang giat dilakukan Presiden Jokowi. Buatnya, program tersebut sebuah terobosan untuk membuka akses di wilayah Timur Indonesia yang selama berpuluh tahun tidak tersentuh.
Sosiolog Ignas Kleden, yang juga berasal dari daerah yang sama dengan Daniel pun mengapresiasi program pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Presiden Jokowi. Menurut Ignas, pembangunan infrakstruktur yang masif dilakukan pemerintahan Jokowi membalikkan cara pandang pembangunan infrastruktur semasa Soeharto yang digawangi oleh para ekonom seperti Widjojo Nitisastro.
“Dulu pembangunan infrastruktur di daerah hanya dilakukan apabila ada permintaan,” kata Ignas. Ignas kemudian menyampaikan kepada presiden bahwa selain membangun infrakstruktur penting juga agar pemerintahan Jokowi mengiringinya dengan “membangun infrastruktur ideologi”.
Kalimat Ignas terakhir itu kurang bisa saya tangkap, mungkin saya salah kutip. Tapi kira-kira dia berharap agar program pembangunan yang dilakukan Jokowi disertai dengan basis pemikiran yang kuat sehingga masyarakat bisa memahami kenapa infrastruktur harus dibangun di berbagai pelosok Indonesia.
Mengenai intoleransi Ignas punya pandangan lain. Menurut dia bisa jadi ada yang lebih mendasar dari sekadar persoalan intoleransi, yakni keadilan. Ignas jujur dan menyampaikan pendapatnya tanpa ditahan-tahan atau pakewuh. “Jangan lagi kita menganggap Indonesia ini negeri yang kaya. Itu omong kosong,” katanya menggugat mitos bahwa Indonesia negeri yang kaya.
Dia mencontohkan Singapura, negeri yang tak punya kekayaan sumber daya alam justru lebih kaya. Dia juga mengatakan banyak negeri kaya justru hasil dari menjajah, bukan karena kekayaan alamnya.
Apakah pertemuan ini hanya berisi puja-puji terhadap pembangunan infrastruktur yang dikerjakan Jokowi? Tidak juga. Usman Pelly, 80 tahun, antropolog dari Universitas Sumatera Utara punya pendapat lain. Dia mengisahkan pengalamannya ketika meneliti suku Asmat di Lembah Baliem, Papua bersama sosiolog Selo Soemardjan. Kita semua tahu dua orang ini cukup penting di dalam studi sosiologi di Indonesia.
“Ketika tiba di Lembah Baliem, kami berdua terkejut. Pak Selo sampai mengucap “astaghfirullah” yang tak pernah saya dengar dia menyebut seperti itu. Kami terkejut karena melihat atap seng terpasang di atas pohon,” kata Usman Pelly di depan Presiden Jokowi.
Jadi ceritanya, pemerintah Soeharto membangun perumahan bagi suku Asmat. Rumah yang dibangun semi permanen dengan menggunakan seng sebagai atapnya. Namun pemerintah tak mengetahui kalau warga suku Asmat punya kebiasaan membuat api unggun di dalam rumah setiap malam sebelum mereka tidur. Akibatnya banyak rumah terbakar dan mereka pun kembali kebiasaan lamanya.
Pesan Usman Pelly jelas. Jangan membangun infrastruktur tanpa melakukan studi terhadap masyarakat setempat. Dan jangan membangun apa yang tidak menjadi kebutuhan masyarakat sehingga pembangunan hanya buang-buang waktu dan uang saja.
Di saat yang lain membicarakan soal toleransi dan infrastruktur, sejarawan Asvi Warman Adam melontarkan pendapatnya sendiri. Tentang janji presiden menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti yang tertuang di dalam program Nawa Citanya. Asvi mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar memerhatikan para penyintas kasus 1965 yang hingga kini masih terkatung-katung nasibnya.
Asvi mengatakan ada baiknya jika Presiden Jokowi memberikan perhatian kepada eksil politik di luar negeri yang terpaksa jadi warga negara lain setelah bertahun-tahun lamanya tak memiliki kewarganegaraan.
“Kalau berkenan, mungkin bapak Presiden bisa melakukan dialog melalui video confference dengan warga Indonesia yang jadi eksil di luar negeri. Mereka tentu sangat mengharapkan itu,” ujar Asvi.
Lantas bagaimana Presiden Jokowi menjawab semua itu? Dia mencatat semua masukan yang diberikan kepadanya dan mengucapkan terima kasih atas semua pendapat yang disampaikan. Tentang pembangunan infrastruktur, Jokowi mengutarakan bahwa dia tak ingin menangguk keuntungan pribadi dari sana. Buat dia, membangun infrastruktur mulai jalan, jembatan, pelabuhan hingga bandara merupakan keharusan untuk memperluas akses pertumbuhan kawasan.
“Kalau mau ambil keuntungan politik, saya hanya membangun di Jawa. Itu jelas. Tapi saya tidak mau,” kata dia. Itu sebabnya kawasan timur Indonesia menjadi perhatiannya.
“Membangun infrastruktur di kawasan timur itu nggak ada perusahaan yang mau menjalankan karena nyaris tak ada untungnya. Tapi saya perintahkan BUMN untuk melakukannya,” ujar Presiden.
Tentang kaitan intoleransi dengan problem keadilan sebagaimana yang disampaikan Ignas, Presiden Jokowi menyetujui itu. Presiden memang lebih banyak mendengar dan mencatat semua pendapat yang disampaikan kepadanya. Pertemuan berlangsung dua jam lebih. Tentu semua berharap kalau presiden bersedia menerima dan melaksanakan apa yang telah disampaikan para cendekiawan itu.
Lantas saya ngomong apa? Saya jadi pendengar saja. Maklum, anak bawang yang cuma kebetulan saja keseret ikut pertemuan. Kalaupun ngomong, itu saya sampaikan sembari salaman dan berfoto. Apa yang saya sampaikan? Rahasia....yang jelas bukan minta sepeda.
Bagaimana kesan saya terhadap Presiden Jokowi? Saya melihat dia memang seorang pekerja, buka tipe konseptor atau pemikir yang bicara bertaburan gagasan lengkap dengan teori pendukungnya.
Sempurna? Tentu saja tidak. Ada banyak pekerjaan rumah dan janji yang harus ditunaikan sebelum dia mengakhiri masa jabatannya. Kalau ada nasib baik, tentu Jokowi akan kembali bertugas sebagai presiden di periode kedua nanti. Dan saya berharap, kita semua berharap, semua janji dan kerja akan ditunaikan di masa kedua itu.
Sesudah pertemuan, kami semua pulang. Tanpa membawa sepeda...
***
Sumber: Bonnie Triyana
0 komentar:
Posting Komentar