Senin, 4 Juni 2018 | Made Supriatma
10 tahun Kamisan tidak juga menemui titik terang. Mana janji Nawacita Joko Widodo?
Aksi Kamisan telah melewati 540 minggu. Itu sama dengan satu dekade lewat. Itulah durasi Aksi protes ini berlangsung. Di seberang Istana Negara, gedung bekas kantor Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Hindia Belanda, orang-orang ini berkumpul setiap hari Kamis setiap minggu selama 10 tahun terakhir.
Pesertanya kadang silih berganti. Sekali waktu, para petani dari
Pegunungan Kendeng datang dan memasung kaki mereka dengan semen di sana. Kali
lain, orang Papua datang mengeluhkan persoalan bangsanya. Beberapa kali acara
ini diganggu oleh preman-preman berbaju politik atau agama. Namun, mereka
bandel. Mereka datang, dan datang lagi. Tidak pernah kapok. Kamisan seakan
sudah menjadi institusi.
Seorang perempuan tua, ringkih, dengan rambut putih semua,
setia datang ke sana. Anaknya ditembak saat demo di depan Universitas Atmajaya,
Jakarta. Anak yang dibesarkan dan diharapkan memberinya kebahagiaan di hari
tua.
Anaknya mati ditembak karena menuntut Reformasi. Dan,
Reformasi yang sama itulah yang membikin banyak keajaiban. Sebagian di
antaranya sangat baik, yang menjadi tanda kita bangsa beradab. Sebagian di
antaranya sangat buruk, yang menyejajarkan kita dengan bangsa-bangsa paling
biadab.
Reformasi itu pula yang membuat seorang pengusaha mebel
menjadi presiden. Reformasi memberi tahu anak-anak negeri ini: Kamu bisa jadi
apa saja, Nak! Asalkan bekerja keras. Reformasi ini pula yang mengubah nasib
mereka yang sekarang mondar-mandir di Istana Negara.
Namun, Reformasi juga yang membuat orang-orang yang
prestasinya hanya menjadi makelar bisa menjadi anggota parlemen. Mereka yang hebat membikin
kontroversi menjadi selebriti. Para jenderal yang tangannya berlumuran darah
bisa mencucinya dengan bantuan ‘image-maker.’
Preman-preman dan kriminal menjadi terhormat asal bisa ditakuti dan pandai
menggertak.
Penghuni gedung itu sudah berganti. Tapi tidak mereka
hirau. Aksi Kamisan tidak hirau juga atas ketidakpedulian tetangga seberang
jalan mereka itu. Seakan mereka hidup di dua planet yang berbeda. Planet istana
dan planet jalanan. Barang siapa pernah membaca memoar Soe Hok Gie pasti ingat
akan kemarahannya yang memuncak melihat pengemis kelaparan hanya beberapa ratus
meter dari Istana Negara yang sedang menggelar dansa-dansi. Dua dunia itulah.
Dua hari lalu, pertama kali setelah 540 minggu, peserta
Kamisan diundang masuk ke Istana. Presiden, penguasa tertinggi Republik ini,
ingin bertemu. Kemudian bertemulah mereka secara tertutup. Kita tidak tahu apa
yang mereka bicarakan. Yang kita tahu, pertemuan ini menghasilkan ‘photo op’ (photo opportunity) yang sangat efektif
untuk mencipta citra. Bahwa Presiden sudah menemui peserta Kamisan.
Titik. Sebuah nilai politik yang amat sangat
berharga.
Namun, ada sedikit bisik-bisik detail yang sampai kepada
saya. Peserta Kamisan meminta Presiden untuk menandatangani sebuah dokumen.
Presiden menolaknya. Sekalipun sebenarnya tidak ada yang baru dari tuntutan
yang tertuang dalam dokumen ini. Presiden ini sendiri pun sudah menjanjikan itu
dalam Nawa Cita-nya.
Tentu banyak orang akan bertanya: Sebelas tahun, hanya
untuk itu? Sebelas tahun hanya untuk tidak dihiraukan? Sebelas tahun tanpa
hasil dan tanpa guna? Bukankah ini seperti Sisipus yang mendorong batu ke atas
gunung hanya untuk jatuh kembali ke dasar jurang?
Boleh jadi demikian. Namun, saya kira, Aksi Kamisan ini
mengirim pesan bening kepada anak-anak Indonesia. Di zaman serbacepat ini,
konsistensi diperlukan. Perjuangan akan keadilan itu adalah perjuangan berat
dan tidak akan pernah selesai. Bahwa siapa pun yang berkuasa, mereka
pertama-tama akan memperjuangkan apa yang adil untuk dirinya sendiri.
Kamisan juga mengajarkan bahwa tidak mudah untuk menjadi
altruistik, mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan umum yang
lebih besar. Jauh lebih mudah menjadi saleh ketimbang menjadi altruistik.
Sekalipun kesalehan menuntut altruisme, banyak orang memilih kesalehan
egosentrik, saleh untuk ketenteraman dirinya sendiri tanpa peduli orang lain.
Seperti jarak antara Istana dan Aksi Kamisan di jalanan,
begitulah jarak kita dalam memahami Indonesia. Tidak banyak yang peduli bahwa
kita perlu Indonesia yang berkeadilan. Bahwa di dalam keadilan itu tidak ada
orang yang kebal terhadap hukum. Bahwa keadilan itu bukan berarti ‘adil seturut
kepentingan sendiri.’
Namun, perjuangan panjang dan konsisten ini tidak sia-sia.
Yang membahagiakan adalah suaranya didengar di medan yang sama sekali lain.
Medan itu saya dengar pada lagu “Indonesia Begitu Katanya.” Lagu ini
didendangkan oleh Nosstres.
Mereka adalah kumpulan musisi muda, musisi pasca-Soeharto.
Mereka masih kanak-kanak ketika hiruk pikuk reformasi terjadi. Tapi mereka
mendengar dan merasakan Indonesia yang mereka hidupi dan mereka warisi. Mereka
mengerti Indonesia yang lain.
Indonesia yang semangat dan cita-citanya mungkin akan
membuat para pendiri Republik ini tersenyum kalau mereka mendengarnya.
Sebaliknya, Indonesia yang barangkali akan membikin Soeharto dan para
gedibalnya murka. Indonesia yang membikin politisi yang berkuasa sekarang ini
berpikir keras untuk bagaimana mengelak dan lari.
Indonesia-nya Nosstres ini
adalah Indonesia yang sangat terus terang menuntut keberpihakan.
Saudara berada di Indonesia yang
mana?
Sumber: Geotimes.Co.Id
0 komentar:
Posting Komentar