Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 10 Juni 2018)
GoKill ilustrasi Rahardi Handining/Kompas
Jika ingin membunuh seseorang, katakanlah GoKill.
(iklan di media sosial)
Tahukah
dikau rasanya membunuh seseorang yang sedang makan lalampa pada gigitan pertama,
tepat ketika potongan ketan berisi ikan itu melewati tenggorokannya? Aku tahu
rasanya, karena akulah yang membunuhnya.
Tentu
ia sempat mengunyah sebelum menelannya, jadi ia sudah tahu rasa lalampa, gurih
dan sedikit pedas. Bagiku itu cukup. Ia sudah menikmatinya. Setelah itu ia
boleh mati.
Saat
itulah peluru yang kutembakkan menembus pelipis kirinya untuk keluar lagi dari
pelipis kanan. Ketika nyawanya pergi potongan lalampa itu mungkin sudah sampai
ke perutnya.
Jika
petugas forensik membedahnya akan berkesimpulan, “Ada ketan, ada ikan pedas,
sebelum mati korban telah menelan potongan pertama lalampa.”
Pasti
akan cocok dengan sisa potongan di lantai yang masih empat perlimanya, masih
terbungkus daun pisang yang sedikit gosong, mudah-mudahan tidak ada petugas
yang berpikir mungkin itu masih enak, lumayan kalau dimakan, dan menelannya.
Sampai
sekarang sudah 35 tahun kujalani pekerjaanku dengan cara yang disebut-sebut
sebagai profesional. Kukira tiada manusia maupun lembaga yang dibentuk manusia
di muka bumi ini akan bisa menangkapku. Hanya Malaikat Maut, atas perkenan
Tuhan yang Maha Esa bisa memburu dan mencabut nyawaku, tetapi itu bukanlah
masalahku.
Sejak
berumur 25 tahun, setelah mendapat medali emas dalam cabang olahraga menembak
dalam Pekan Olahraga Nasional, aku direkrut untuk menjalankan pembunuhan demi
kepentingan yang disebut-sebut lebih besar dari pada nyawa yang kucabut. Aku
tidak pernah mencatat berapa orang yang pernah kubunuh, tetapi pasti lumayan
banyak. Tahun 1983 itu aku terlibat proyek ramai-ramai membantai penjahat.
Untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa katanya.
Jika
dikau termasuk penggemar berita-berita kecelakaan, mungkin saja berita yang
dikau baca itu bukanlah kecelakaan melainkan perbuatanku. Demi berbagai tujuan,
kadang-kadang membunuh seseorang itu tidak boleh terlalu kentara sebagai
pembunuhan yang disengaja, dan karenanya dibuat seperti kecelakaan. Supaya
lebih tidak kentara lagi, seyogianya kecelakaan itu juga menewaskan orang-orang
lain. Makin banyak makin baik. Teror? Hmm. Itu bukan maksudnya, meski mungkin
menakutkan juga. Ini semacam seni.
***
Pembunuhan
terselubung memang sudah kukenal sejak usia dini. Pada tahun 1965 umurku baru
tujuh tahun, ketika terbangun dari tidur dan kudengar rencana pembantaian
besar-besaran di luar kamar. Agar pembantaian itu berlangsung tidak seperti
sesuatu yang sengaja direncanakan, orang banyak didorong untuk terlibat, dan
seperti bertindak beringas tanpa rencana, padahal selalu berada dalam
pengarahan.
Tahun
1998, aku mendapat tugas yang bermiripan, mengumpankan gagasan-gagasan picik
yang segera ditelan, agar penjarahan, pemerkosaan, pembakaran yang menerbangkan
nyawa banyak orang menjadi kebersalahan khalayak tanpa bisa dihukum, sebagai
usaha mengalihkan perhatian, lagi-lagi demi kepentingan yang selalu dikatakan
lebih besar. Tentu saja aku tidak bekerja sendirian, saat itu aku bekerja untuk
suatu komplotan, yang menurut rencana untuk mengubah jalan sejarah mengalami
kegagalan.
Maka,
pembunuhan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hariku sampai sekarang. Jika
dikau bertanya apakah diriku tidak memiliki hati nurani, kukira diriku tentu
tidak memilikinya. Telah berhasil kulakukan manipulasi terhadap diriku sendiri,
betapa aku hanyalah tangan Malaikat Maut yang menjalankan titah Tuhan yang Maha
Esa, untuk melepaskan nyawa siapapun yang sudah tiba saatnya untuk berpindah
ruang. Keyakinan seperti ini membuat diriku bisa tidur dengan tenang.
Inilah
yang membuatku bisa menyatakan, jika dikau sungguh-sungguh tidak akan pernah
tahu bagaimana rasanya membunuh seseorang, tepat setelah syair Payung Teduh
yang disenandungkannya sampai pada… sedikiiiit cemas, banyak rinduuuunya...,
semua itu aku tahu rasanya.
***
Awal
tahun 2018 aku masih melakukan pembunuhan. Rupa-rupanya menjadi pembunuh telah
dikenal sebagai bidang pekerjaan di bawah permukaan yang tidak terlalu asing,
sama tidak asingnya dengan pekerja seks komersial.
Sekarang
ini, kalau butuh ojek dikau akan mengontak GoRide; kalau mau pesan makanan
dikau akan menghubungi GoFood; jika tiada asisten rumah tangga di rumahmu
sehingga rumahmu penuh dengan sarang laba-laba, dikau akan klak-klik-klak-klik
mendatangkan GoClean; kalau perlu mobil sama seperti dikau memerlukan ojek
dikau akan memanggil GoCar; dan jika dikau ingin membunuh seseorang, tetapi
tidak merasa mampu melakukannya sendiri sehingga harus meminjam—tepatnya
membayar—tangan orang lain, dikau akan menggunakan jasa GoKill.
Begitulah
GoKill lantas akan menentukan, berdasarkan penilaian atas orang yang akan
dibunuh, siapa pekerja pembunuhan yang harus ditunjuknya. Tidak seperti pekerja
ojek, yang beradu cepat menyambar tawaran order, para pekerja pembunuhan hanya
menunggu. Maklumlah, ini pekerjaan terlarang, tidak akan pernah berlangsung
secara terbuka, karena memang tidak semudah jemput-antar ataupun pesan-antar
makanan.
Di
balik riuh rendahnya kehidupan sehari-hari, permintaan untuk membunuh semakin
meningkat, karena menyelesaikan masalah dengan kata-kata semakin tidak bisa
diandalkan. Banyak orang menginginkan jalan pintas.
“Sikat aje, abis pekare!” Lantas mereka menghubungi GoKill.
Semenjak
GoKill didirikan, dari saat ke saat aku mengerjakan pesanan untuk melakukan
pembunuhan. Sampai hari ini. ketika umurku sudah 60 tahun, aku belum merasa
sudah waktunya untuk pensiun. Betapapun, terns terang sesuai kewajaran,
menjelang umur 60 tahun aku juga memikirkan kematian, ibarat kata jika
memandang matahari terbit perlahan-lahan di antara dua gunung, sekarang yang
terpandang olehku adalah batu nisan. Namun, sekali lagi aku pun tahu, urusan
kematianku sendiri bukanlah urusanku, karena sebagai pekerja pembunuhan pun aku
sekadar kepanjangan tangan Malaikat Maut yang dititahkan Tuhan yang Maha Esa
***
Dalam
pengalamanku sebagai pembunuh, tugas yang paling tidak kumengerti adalah tugas
yang baru saja kuterima sekarang ini, yakni membunuh seseorang berusia 99
tahun.
Dengan
usia seperti itu, seberapa jauh seseorang itu perlu dibunuh, seolah-olah
hidupnya masih akan lama lagi? Meski tingkat kesulitan membunuhnya sama seperti
membalik tangan, aku merasa perlu mempelajari data-data yang diberikan GoKill,
karena pertanyaan macam apapun tidak boleh diajukan. Namun dari data yang
kubaca, yang biasanya cukup lengkap untuk kutafsirkan, aku tidak mendapatkan
cukup kemungkinan yang meyakinkan, tentang mengapa manula 99 tahun ini wajib
dibunuh.
Jika
GoKill mendapat pesanan, sebetulnya juga tidak perlu tahu alasannya kenapa
seseorang itu harus dibunuh, karena data yang dikumpulkannya hanyalah yang
berhubungan dengan keberhasilan untuk melakukan pembunuhan itu. Jika orang itu
penggemar bubur sumsum, misalnya, sungguh mudah membuatnya menelan racun rasa
bubur sumsum sehingga setidaknya tewas dalam kebahagiaan makan bubur sumsum.
Cara
membunuh memang diserahkan kepada pekerja pembunuhan. Di sanalah pekerja
pembunuhan akan menyalurkan kesenimanannya, ya, dalam seni membunuh. Jika dikau
mau tahu, tidak jarang aku bercakap-cakap dengan orang yang sebentar lagi
kehilangan nyawanya itu terlebih dahulu, baik itu diketahuinya betapa diriku
akan membunuhnya, ataukah tidak diketahuinya sama sekali—tetapi yang satu ini
berbeda sama sekali.
“Ah, akhimya datang juga yang kutunggu-tunggu.”
Ah!
Benarkah perempuan bernama Layla yang berumur 99 tahun ini tahu diriku datang
untuk membunuhnya?
Kematian
hanyalah soal waktu. Namun, apa yang membuat seseorang meninggalkan dunia ini
selalu saja perlu. Mengapa harus disebutkan Roland Barthes mati karena ditabrak
mobil laundry, setelah makan siang bersama calon presiden Prancis Francois
Mitterand pada 25 Februari 1980 di Rue des Ecoles, Paris, atas undangan Jack
Lang?
Aku
masih menduga perempuan ini menunggu sesuatu yang lain. Namun, ia
meluruskannya.
“Aku harus berterima kasih padamu, Nak, akhirnya bisa kutinggalkan juga dunia ini,” katanya dengan suara serak., “aku tahu seorang perempuan di Arles, Perancis, pernah mencapai umur 122 tahun pada 1997, dan karena itu pernah melihat Van Gogh yang kumuh, tetapi aku tidak ingin melihat siapapun sekarang. Aku juga selalu ingin tahu bentuk rupa Prapanca yang menulis Desawarnnana. mungkin saja aku akan menemuinya setelah mati bukan?”
Hmm.
Aku menduga-duga dengan cepat Perempuan berusia 99 tahun ini telah memesan
pembunuhannya sendiri. Bisnis unik GoKill memang melindungi pemesan pembunuhan,
dalam arti GoKill sendiri tidak akan tahu siapa pemesannya, bahkan menata cara
berhubungan terbaik sehingga jika Yang Berwajib berhasil menggerebek GoKill
(kukira mesin yang bekerja sendiri, penemunya mungkin teroris yang sudah
mati—tetapi ini hanya dugaan tanpa bukti) terjamin bahwa jejak ke arah pemesan
tidak ada sama sekali. Tentu aku tidak perlu mengungkapnya secara rinci.
Bukankah sudah kusampaikan juga, jasa pembunuhan adalah bisnis terlarang, dan
karena itu segala sesuatunya ber jalan dalam kerahasiaan?
Ya,
perempuan ini ingin bunuh diri, melalui tangan orang lain. Diriku sebagai
pekerja pembunuhan memang tahu cukup banyak tentang dirinya. Setidaknya cukup
untuk membuat pembunuhannya berhasil. Ya, Layla Rokoke, juara menembak yang
menjadi istri orang kaya, lumayan dikenal semasa Orde Baru dan kini tinggal di
rumah jompo. Tentu tiada lagi yang mengingatnya, kecuali mungkin anggota
Perbakin seperti diriku.
“Kamu memilih waktu yang tepat, Nak, pada jam seperti ini, selalu sunyi di sini,” katanya lagi, “lakukanlah segera, karena setelah shalat Jumat, para perawat laki-laki akan kembali. Para perawat perempuan juga antre shalat di mushala yang sempit. Ini zaman orang rajin sekali sembahyang.”
Ucapannya
itu mengingatkan diriku akan sesuatu.
“Mengapa tidak Ibu lakukan sendiri saja?”
Wajah
99 tahun yang menampakkan kepribadian keras itu tersenyum tipis.
“Kamu tahu aturannya bukan? Dalam agamaku bunuh diri itu dosa.”
Kukira
tidak ada agama yang membenarkan bunuh diri karena putus asa.
“Sebenamya dengan memesan pembunuhan diri sendiri, Ibu bunuh diri juga bukan? Ibu tetap saja menanggung dosanya.”
Layla
Rokoke, duduk di kursi roda dengan seluruh tubuh tertutup selimut, sebagaimana
biasanya orangtua yang selalu kedinginan. Apalagi AC ruangan ini dinginnya pol.
“Kurasa kamu datang tidak untuk berdebat. Cepatlah!”
Aku
memang harus cepat. Setelah waktu shalat Jumat usai, para perawat akan
bermunculan. Seperti kubilang, aku tidak perlu peduli kenapa seseorang harus
dibunuh ketika sedang mendengarkan Sweet Georgia Brown petikan gitar
Django Reinhardt yang jari manis dan kelingking tangan kirinya lumpuh. Terhadap
Layla Rokoke aku telanjur peduli.
Bunuh
diri itu dosa dan bunuh diri lewat tangan orang lain tentu nya juga berdosa,
itu urusan dia, mengapa harus membuat diriku ikut berdosa? Aku tidak keberatan
menanggung dosa begitu banyak pembunuhan yang sudah kulakukan, tetapi aku
keberatan menanggung dosa yang tidak perlu. Jika dirinya ingin mengakhiri
riwayat sendiri, yang bisa dilakukannya dengan mudah, mengapa harus melibatkan
diriku? Tambah satu dosa lagi mungkin tidak terlalu berarti bagi dosaku yang
bertumpuk-tumpuk, apalagi kontrakku dengan GoKill mewajibkan diriku
membunuhnya—tetapi sekali ini aku melakukan perkecualian.
Aku
mengerti urusanku dengan GoKill, akan kuselesaikan nanti.
“Kukira aku tidak akan membunuhmu Ibu, itu bisa Ibu kerjakan sendiri.”
Aku
berbalik dan meninggalkannya.
Namun,
lantas kudengar bunyi yang sangat kukenal. Bunyi kokang pistol Glock. Kuingat
selimut yang menutup seluruh tubuh, di situlah ia menyembunyikannya. Perempuan
99 tahun yang pernah mengikuti Olimpiade itu akan menembak kepalaku dengan
tepat dari belakang.
Aku
masih bisa tersenyum sebelum mati. Tentu saja Layla mendapat order GoKill untuk
membunuhku. Aku pun tidak akan pernah tahu, siapa yang memberi order kepada
GoKill.
___
Seno Gumira Ajidarma, dilahirkan di Boston, Amerika
Serikat, 19 Juni 1958. Bekerja sebagai wartawan sejak 1977, kini menjabat
sebagai Rektor Institut Ke senian Jakarta (IKJ). Seno jadi lebih dikenal
setelah menulis trilogi karyanya tentang Timor Timur, yakni Sakai Mata (kumpulan
cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden(novel), dan Ketika Jur nalisme
Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai).
Rahardi
Handining, perupa yang punya pendidikan arsitektur Universitas Pandanaran
Semarang. Ia lahir di Semarang, 27 Februari 1979, pernah menjadi ilustrator dan
desainer grafis di harian Kompas 2004-2018. Pernah memperoleh
penghargaan Best Cartoon, Daejon International Contest 2012 dan 2013 Korea.
Copast: LakonHidup
0 komentar:
Posting Komentar