Minggu, 3 Juni 2018 | Dandhy Dwi Laksono*
Nawa Cita hanya bualan atau harapan?
Ibu-ibu dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendang memukul alu saat aksi Kamisan ke-392 yang diadakan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta. ANTARA FOTO/Fanny Octavianus
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, membawa perkara pelanggaran
HAM berat masa lalu ke ranah hukum adalah langkah yang sulit. Bahkan, ia yakin
siapapun yang menjadi presiden dan jaksa agung, tetap akan sulit melangkah ke
arah itu.
“Kita harus
jujur, siapapun yang memimpin negeri ini, siapapun jaksa agungnya, siapapun
Komnas HAM-nya, pasti sulit untuk melanjutkan (perkara pelanggaran HAM berat
masa lalu) ke proses hukum atau ke peradilan,” ujar Prasetyo di Gedung
Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Setelah kita pernah punya Baharuddin Lopa, inilah kualitas Jaksa
Agung saat ini. Bukti akan selalu minim jika tidak pernah ada penyelidikan
serius. Semasa menjadi Sekjen Komnas HAM, Lopa turun sendiri memimpin
penggalian makam Teungku Bantaqiah dan para santrinya yang dibantai serdadu
NKRI di Aceh.
Tapi semua itu memang terpulang pada sikap presidennya. Alasan
seperti ini mungkin terdengar masuk akal andai presidennya tidak duduk satu
meja dengan para jenderal bermasalah demi koalisi politik. Alasan seperti ini
agak bisa diterima jika kasus-kasus HAM yang baru seperti Munir atau bahkan
Novel Baswedan, berhasil diusut tuntas sampai ke dalang-dalangnya.
Alasan seperti ini agak punya bobot integritas andai di era
Jokowi tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM baru seperti penggusuran,
kriminalisasi, bahkan kematian atas nama pembangunan dan para pelakunya dihukum
serius.
Alasan seperti ini mungkin saja ada benarnya andai presiden
tidak latah ikut memperburuk stigma komunis dengan pernyataan-pernyataan
bernada persekusi: “kalau ada PKI akan saya gebuk” demi menyelamatkan posisi
politiknya sendiri dari tekanan kelompok intoleran.
Tapi karena
semangat penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan penegakan hukumnya memang
tidak pernah ditunjukkan, bahkan dalam kasus-kasus baru yang saksi dan
pelakunya masih hidup, maka alasan seperti ini hanyalah dalih untuk menutupi
kemalasan dan komitmen yang sebenarnya memang tak pernah ada.
Jokowi bukannya tak peduli terhadap penegakan HAM. Hanya saja
mungkin prioritas kita dan dia berbeda. Presiden telah menemui para korban
pelanggaran HAM yang setiap Kamis berdemo depan Istana.
Menjaga kewarasan atas substansi di tengah produksi “gimmick” menjelang Pilpres 2019
adalah penting. Sebab ini bukan kasus kemarin sore. Ini salah satu bahan
(utama) kampanye 2014 silam.
Selain soal Wiranto, Hendropriyono, atau bagaimana pemerintah
mengabaikan rekomendasi DPR dan temuan Komnas HAM, penganugerahan tanda jasa
HAM kepada Ganjar Pranowo juga salah satu contoh standar HAM Jokowi. Apakah
salah? Ya itu tergantung tafsir anda. Tapi perlu anda ingat, kita perlu ingat
jejak kerja dan sikap Ganjar sebelumnya.
Beberapa kali
warga Rembang dan Pati, termasuk penganut Sedulur Sikep (pengikut Samin)
mencari Gubernur Jawa Tengah terkait persoalan semen. Pada 5-10 Desember 2017
mereka berdemo meminta audiensi, hingga mengajak “sumpah pocong”, di depan
Kantor Gubernur di Semarang terkait izin Indocement. Namun tak pernah ditemui.
Giliran menjelang Pilkada, barulah politisi ini mendatangi rumah
salah satu sesepuh Sedulur Sikep di Kudus, Mbah Wargono. Itu pun menghindari
membicarakan ihwal yang substansial, yakni ancaman industri semen.
Gubernur Jawa Tengah ini bahkan berkali-kali menggalang kampanye
negatif tentang film “Samin vs Semen” yang menurutnya tidak mewakii aspirasi
warga dan memelintir. Di sisi lain, ia sendiri berupaya terlihat “samin
friendly” dengan memakai kaos atau pakaian mereka.
Ia lupa bahwa silaturahmi tidak bisa dibangun lima tahun sekali
dan keberpihakan tak bisa dibangun dengan simbol. Seperti halnya jurnalis atau
film-maker yang dalam banyak kasus tak bisa meninggalkan tokoh atau
narasumbernya begitu saja, meski ceritanya telah dipublikasikan.
Sepulang ekspedisi, Mbah Wargono dan keluarga besarnya
mengunjungi kami. Lalu kami pun melakukan “kunjungan balasan”. Mengetahui saya
mengalami beberapa cedera sendi setelah ekspedisi, keluarga sesepuh Samin dari
Kudus ini juga memanggil tukang pijat yang tak hanya mengurus urat dan otot,
juga merapalkan mantra.
Karena itu saya percaya, Mbah Wargono dan Mbah Niti yang memang
ramah dan humoris itu, dengan mudah bisa membedakan mana silaturahmi dan mana
manuver politik. Ini mengapa persoalan HAM kerap kali jadi komoditas politik
daripada prioritas kebijakan. Banyak konflik agraria di Indonesia diatasi
dengan kekerasan dan intimidasi daripada pendekatakan kemanusiaan.
Di Indonesia konflik agraria dan sumber daya alam terjadi
merata. Rakyat berhadapan dengan modal dan Negara di bawah Pemerintahan Jokowi.
Korban berjatuhan. Indra Kailani di Tebo (Jambi), Salim Kancil di Lumajang
(Jawa Timur) dan Poroduka di Patiala Bawa (Sumba Barat). Serta berbagai tempat
lain di Indonesia seperti Jatigede, Urutsewu, Bayah, Rembang, Batang,
Wongsorejo, Mesuji, Benoa, Lombok Timur, Merauke, Samarinda, Toba, sampai Pulau
Bangka di Sulawesi Utara.
Peluru mudah dilesakkan karena negara ini memang tak pernah menghukum berat pelanggar HAM.________
* Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Sumber: Geotimes.Co.Id
0 komentar:
Posting Komentar