1 Langkah Penuhi Janji Presiden Tuntaskan Pelanggaran HAM
yang Berat:
COPOT JAKSA AGUNG!!!
Janji Presiden tentang pelanggaran HAM dalam Nawacita
tercatat “Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih
menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti; Kerusuhan Mei,
Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari- Lampung, Tanjung
Priok, Tragedi l965”. Janji ini diperbarui dengan mengundang korban dan
keluarga korban ke istana pada tanggal 31 Mei 2018. Belum sehari dari pertemuan
tersebut Jaksa Agung, Prasetyo, mengatakan beberapa hal ke media antara lain
sulit mencari buktinya, saksi, pelaku dan korban. Pernyataan Jaksa Agung lain
adalah setelah diteliti, hasil penyelidikan Komnas HAM hanya berupa asumsi dan
opini.
Pernyataan Jaksa Agung tersebut memiliki kesalahan
mendasar berdasarkan sistem hukum dan peradilan baik pidana maupun pelanggaran
HAM yang berat, sebagaimana penjelasan berikut:
1. Pasal 1 ayat 5 UU 26/2000, pasal 20 ayat (1) UU
26/200, pasal 21 ayat (1) UU 26/2000, pasal 10 UU 26/2000 dan pasal 2 ayat (1)
KUHAP memiliki arti:
a. Komnas HAM bertanggung jawab hingga mencari, menemukan
ada tidaknya peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM melalui bukti
permulaan yang cukup (menurut putusan MK adalah 2 alat bukti).
b. Menemukan tersangka adalah bagian dari penyidikan.
c. Penyidik adalah Jaksa Agung sehingga yang memiliki
kewajiban menemukan pelakunya adalah Jaksa Agung.
2. Oleh karena itu bolak balik berkas antara penyidik
(Jaksa Agung) dengan penyelidik (Komnas HAM) sebagaimana dinyatakan dalam pasal
20 UU 26/2000 hanyalah sebatas “bukti permulaan yang cukup telah terjadi
peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat” dan menurut Undang-undang
bukan adanya bukti mengenai pelakunya. Ketentuan ini juga sesuai dengan pasal 2
ayat (1) KUHAP “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya”.
3. Apabila Jaksa Agung terlalu sibuk untuk menjalankan
kewajiban hukumnya sesungguhnya pasal 19 ayat 1g UU 26/2000 dan pasal 5 ayat 1b
KUHAP mengatur penyelidiki dapat melakukan beberapa tindakan atas perintah
penyidik.
4. Apabila Jaksa Agung merasa tidak mampu menjalankan
kewajiban hukumnya Pasal 21 ayat (3) UU 26/200 juga memberikan kemungkinan
mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau
masyarakat. Artinya Jaksa Agung dapat mengangkap Komnas HAM sebagai penyidik
ad-hoc bahkan masyarakat.
Berdasarkan hal-hal di atas kami menyatakan:
I. Pernyataan Jaksa Agung menunjukkan 2 kemungkinan yaitu
Jaksa Agung tidak mengerti hukum yang berlaku atau Jaksa Agung paham hukum
tetapi sengaja mencari-cari alasan agar tidak menjalankan kewajiban hukumnya
yang bersumber dari undang-undang dan arah kebijakan Presiden.
II. 1 dari 2 alasan di atas cukup untuk membuat siapapun
orangnya dicopot, diganti dengan yang lebih memiliki kapasitas atau tanggung
jawab, serta searah dengan kebijakan Presiden yaitu menuntaskan kasus-kasus
pelanggaran HAM sebagaimana tertuang dalam Nawacita.
III. Tidak digantinya Jaksa Agung atau pejabat negara
lainnya yang semacam ini akan membuat pincang pemerintahan dan kebijakan
Presiden.
Jakarta, 3 Juni 2018
IKOHI, Indonesia Legal Roundtable (ILR), KontraS, LBH
Jakarta, LBH Masyarakat, Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK), Perhimpunan
Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Narahubung:
Zainal Muttaqien, IKOHI - 081285759634
Putri Kanesia, KontraS – 08151623293
Alghiffari Aqsa, LBH Jakarta - 081280666410
Muhammad Afif, LBH Masyarakat – 081320049060
Erwin Natosmal Oemar, ILR - 081392147200
Sri Lestari Wahyuningrum, LKK – 08121810344
Totok Yulianto, PBHI – 082297771782
Asfinawati, YLBHI – 08128218930
0 komentar:
Posting Komentar