Dwi Reinjani | Jumat, 01 Jun 2018 13:33 WIB
"Kita harus jujurlah menyatakan bahwa siapapun yang memimpin negara ini, siapapun jaksa agungnya, siapapun Komnas HAM-nya, rasanya sulit melanjutkan ini ke proses hukum ke peradilan."
Keluarga korban pelanggaran HAM yang juga peserta aksi Kamisan bersiap bertemu Presiden Joko Widodo dengan membawa foto korban di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis (31/5). (Foto: ANTARA/ Wahyu P)
Jakarta - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo pesimistis mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur pengadilan. Ia berdalih, penuntasan kasus kerap terganjal hasil penyelidikan Komnas HAM. Prasetyo menganggap, selama ini berkas yang disodorkan Komnas HAM lemah pembuktian.
Kata dia, jangka waktu kasus-kasus tersebut sudah kelewat lama sehingga barang bukti dan saksi pun sulit didapat. Alhasil laporan penyelidikan yang didapat menurutnya hanya sebatas asumsi. Ia sangsi siapapun pemimpin atau pihak yang ditugaskan untuk menyelesaikan perkara ini akan sanggup membawanya ke peradilan.
"Kalau dipaksakan untuk proses hukum sudah kami bayangkan, jadi memang bolak-balik saya hitung ada yang 10 kali sejak tahun 2007-2008 penyelidikan itu dilakukan. Tapi hasilnya sama saja," jelas Prasetyo, kepada wartawan di gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jumat (1/6/2018).
"Kita harus jujurlah menyatakan bahwa siapapun yang memimpin negara ini, siapapun jaksa agungnya, siapapun Komnas HAM-nya, rasanya sulit melanjutkan ini ke proses hukum ke peradilan, ini yang harus di pahami. Kami bukannya tidak mau menyelesaikan, bukan, tapi ya persoalannya yuridis itu," tambahnya.
Prasetyo mengaku, tak mampu berbuat banyak jika saksi dan barang bukti kasus tak bisa dihadirkan. Karena kata dia, lembaganya bekerja berdasar fakta "bukan sebatas asumsi atau opini dari sumber yang tidak berkaitan secara langsung saat peristiwa terjadi".
Ia pun lantas membantah, peliknya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM ini juga lantaran sejumlah posisi strategis di pemerintahan diduduki orang yang diduga terlibat.
"Enggak, enggak benar itu. Pak Presiden sendiri sudah minta Jaksa Agung untuk meneliti kembali, ya itu penelitian kami begitu. Nanti boleh tanyakan Komnas HAM deh biar berimbang, apakah benar pernyataan kami ini."
Sejumlah LSM pemerhati HAM seperti Kontras, YLBHI, LBH Jakarta beserta jaringan keluarga korban pelanggaran HAM mengkritik pengangkatan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Para aktivis HAM dan penyintas menganggap, diangkatnya Wiranto ke lingkar pemerintahan mengakibatkan penyelesaian kasus semakin sulit. Di mana koordinasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di bawah Menkopolhukam.
Nama Wiranto kerap disebut-sebut sebagai aktor dalam kerusuhan Mei 98. Saat kerusuhan meletus, Wiranto menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima ABRI. Pasca Soeharto lengser, Wiranto berhadapan dengan kasus dugaan penculikan, kerusuhan, dan penembakan aktivis mahasiswa. Dia diduga terlibat secara langsung maupun tidak dalam Tragedi Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti.
Pada Aksi Kamisan ke-540, Presiden Jokowi menerima perwakilan penyintas dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM di Istana, Kamis (31/5/2018). Pada pertemuan itu Jokowi didampingi Ketua Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, Teten Masduki dan Johan Budi. Sedangkan Menkopolhukam Wiranto dan Jaksa Agung Prasetyo tak tampak ikut hadir.
Aktivis HAM dan penyintas mengingatkan Jokowi agar tak menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini sebagai komoditas politik belaka. Koalisi masyarakat sipil tersebut mendesak langkah konkret Jokowi, misalnya dengan membentuk Komite Kepresidenan.
Melalui keterangan tertulis, sejumlah LSM itu mengingatkan kembali bahwa selama menjabat sebagai Presiden, Jokowi memiliki performa lamban dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Meski, poin tersebut sudah masuk dalam dokumen Nawa Cita Jokowi-JK.
Sejumlah langkah yang dianggap sebagai kemunduran dalam isu HAM di antaranya, mengangkat Wiranto sebagai Menkopolhukam, membiarkan Jaksa Agung menolak menyidik 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM, menolak mengumumkan dokumen Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya Munir, hingga perihal Rekomendasi DPR RI ke Presiden dan pemerintah untuk mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc, membentuk tim pencarian korban hilang, memulihkan korban dan keluarga korban termasuk meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penghilangan Paksa.
Editor: Nurika Manan
Sumber: KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar