INDONESIA, 1963. Negara berada dalam situasi krisis pangan. Menurut catatan-catatan Dinas Pertanian Rakjat Djawa Timur, komposisi dan manifestasi makanan kaum tani miskin dan buruh kecil sehari-hari untuk daerah yang subur adalah sebagai berikut: 60 persen dari jumlah penduduk makan ketela/gaplek sepenuhnya, 80 persen makan jagung sepenuhnya, 30 persen memakan gaplek campur beras, 15 persen memakan jagung bercampur beras, dan hanya 5 persen dari jumlah penduduk yang makan nasi[2].
Kondisi ini berbuntut pada munculnya wabah kelaparan, busung lapar, penjualan hak milik, hingga meningkatnya tindak kriminalitas. Dewan Pertimbangan Agung, dalam laporannya pada 1963 menyimpulkan bahwa penghidupan sebagian terbesar rakyat, khususnya kaum tani sangat berat karena mereka tidak memiliki persediaan bahan makanan, bibit dan pupuk[3]. Keadaan ini sangat membahayakan produksi makan pada tahun 1964-1965 mendatang dan dapat mengganggu perjuangan mengganyang Malaysia.
Seorang Pria Bernama Jagus
Krisis pangan tetap terjadi, meskipun gerakan swasembada beras sudah dimulai sejak 1959/1960, dengan fokus utama pada perbaikan dan pemuliaan tanaman padi. Untuk menanggulangi kekeringan dan serangan hama, riset-riset pemuliaan tanaman padi terpusat untuk menghasilkan varietas baru dengan umur yang lebih pendek, hasil lebih banyak dan ketahanan untuk tumbuh di tanah kering. Dalam kurun waktu 1955-1960, muncul jenis-jenis padi unggul baru, seperti Sigadis, Remadja dan Djelita, yang kemudian disusul pada 1960-1964, dengan varietas Dara Syntha dan Dewi Tara[4]. Jenis-jenis padi ini dihasilkan melalui riset di Lembaga Penelitian Padi dan Djenis Tanaman Gandum, Departemen Pertanian di Bogor. Hal yang perlu dicatat dari program swasembada ini adalah peranan lembaga-lembaga swasta yang turut serta menghasilkan varietas unggul, salah satunya adalah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) di Klaten yang dipimpin oleh Jagus.
Jagus lahir dari keluarga lurah di Madiun, tetapi menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Klaten, Jawa Tengah. Pada mulanya ia bekerja di sebuah Onderneming/ perkebunan Belanda di Pandan Simping, Klaten. Pada 1935, ia berhasil melakukan riset seleksi yang menghasilkan tembakau vorstenlanden baru yang kebal terhadap penyakit phytophtora-nicotiana[5]. Atas keberhasilannya ini, Jagus menjadi satu-satunya pribumi yang diberikan rumah di daerah perkebunan tersebut. Dari sini pula, tampaknya, ia mulai mengabdikan dirinya pada penelitian varietas tanaman.
Tekadnya untuk menghasilkan varietas padi unggul adalah sebuah tekad ideologis. Dalam bahasanya sendiri “Aku wajib dan harus dapat mewujudkan suatu jenis tanaman yang mengandung daya guna bagi nusa dan bangsaku”[6]. Baginya, pelipatgandaan kapasitas produksi pertanian rakyat termasuk dalam mata rantai strategi ekonomi Negara dan strategi revolusi nasional Indonesia, yang tidak kalah serius dan penting dengan masalah-masalah lainnya[7]. Setelah keberhasilannya dalam riset tembakau, Jagus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menciptakan bibit padi untuk sawah kering, karena menurutnya jumlah sawah kering di Indonesia justru lebih banyak daripada sawah hujan. Dalam jangka panjang, keberhasilan melipatgandakan produksi tidak hanya berarti swasembada beras, namun juga menandakan kemampuan Indonesia untuk menjadi pengekspor beras.
Dalam sebuah artikelnya “Seleksi Tanaman Padi”, Jagus menjelaskan bagaimana ia melakukan riset seleksi tanaman padi. Ia menyebutnya dengan istilah bastaard-seleksi, dimana sifat-sifat turun temurun yang berlainan dan penting dari tiap-tiap jenis padi dapat diubah sampai sebanyak-banyaknya (ekstrim), dan dengan demikian didapat jenis-jenis padi baru[8]. Menurut Jagus, sifat-sifat tersebut mencakup: panjang, besar dan berat gabah; panjang malai; banyaknya gabah pada setiap malai; umur pendek; ketahanan terhadap kekurangan air; rasa nasi yang enak; susunan malai yang bagus; dan kepastian hasil[9]. Melalui prinsip seleksi inilah, pada 1944 ia menciptakan bibit padi Sri Dorodasih, yang diambil dari nama putrinya yang lahir pada 10 Maret 1941. Proses seleksinya juga sangat menarik. Jagus berangkat dari tahun 1940, ketika ia menemukan 3 butir gabah dari tanaman padi Rodjolele yang berukuran 16 mm, sedangkan ukuran umumnya hanyalan 11 mm[10]. Ia kemudian berkonsultasi dengan seorang Doktor ilmu genetika dari Belanda tentang kemungkinan menciptakan gabah sebesar 16 mm pada satu malai. Doctor itu menjawab tidak mungkin, karena adanya 3 butir gabah sebesar 16 mm hanya merupakan keadaan incidental saja, bukan sifat turun temurun. Jagus tidak percaya begitu saja. Ketiga malai tersebut ia tanam, namun sesuai argumentasi sang Doktor genetika, tanaman tersebut hanya menghasilkan gabah dengan panjang 11 mm. Jagus tidak berhenti. Ia lakukan perkawinan silang hingga akhirnya ditemukanlah beras Sri Dorodasih dengan panjang gabah 16 mm. berat 1000 butir gabah kering dari jenis ini kurang lebih 49 gram, sedangkan jenis padi umum di Indonesia yang terberat kurang lebih 46 gram. Kemajuan tentang panjangnya gabah terus diselidiki, dan pada 1956, Jagus berhasil menemukan jenis baru dengan berat 152 gram[11].
Jumlah padi dalam satu malai juga menjadi focus penelitian Jagus. Awalnya, di tahun 1941, ia berhasil menemukan jenis padi dengan jumlah gabah 500-600 butir pada satu malai[12].
Hasil ini 86 persen lebih banyak dari padi Soblog, yang saat itu merupakan padi dengan jumlah gabah terbanyak, yaitu sekitar 350 butir. Penelitian dilanjutkan, dan pada 1952, muncullah jenis padi baru dengan jumlah gabah 800 butir pada satu malai. Kemudian pada 1956 ditemukan jenis lainnya yang menghasilkan hingga 900 butir.
Sifat lain yang berusaha dikembangkan oleh Jagus adalah umur pendek tanaman padi. Sebelum melakukan seleksi, padi dengan umur terpendek adalah Karangserang, yaitu 145 hari[13].
Jagus kemudian menemukan jenis padi yang berumur 135 hari, namun masih agak banyak gabah yang hampa. Jenis tersebut kemudian ia kawinkan dengan padi Rodjolele, dan didapatlah jenis padi baru yang berumur pendek dan rasa nasi yang enak. Jenis ini kemudian dinamakan Gendjah Harum dan Gendjah Wangi dengan umur 125 hari dari menabur[14].
Penemuan-penemuan Jagus menarik perhatian Presiden Sukarno. Pada 1947, Presiden Sukarno melalui Residen Surakarta, Sudiro, menyatakan rasa bangga atas pencapaian Jagus dan menekankan untuk terus melanjutkan penelitian tersebut[15]. Kemudian pada 1953, Presiden Sukarno memberi perintah, yang disampaikan oleh Presiden Universitas Gajah Mada Prof. Dr. Sardjito, untuk mencari jenis padi baru yang dapat ditanam di tanah yang tidak ada irigasinya atau tanah kering[16]. Beberapa tahun kemudian, juga atas dukungan Presiden Sukarno melalui H. Tjokronegoro, maka pada 1959 didirikanlah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) di Klaten. Di sinilah pada 1961, Jagus dan para koleganya menemukan empat varietas berikutnya, yaitu Bintang Ladang, Bimokurdo, Bimopakso dan Retnodumilah. Jagus pun sempat menerima kunjungan Presiden Sukarno di rumahnya di Klaten.
Percobaan penanaman padi hasil seleksi Jagus telah tersebar di beberapa lokasi di Indonesia. Misalnya saja, di Jajasan Balai Pendidikan Tani Pusat di Cipayung, Pasarrebo, Jakarta. Jenis GPP-19 pada 1962 menghasilkan 35 kw atau 42 kg per ha untuk area tanam seluas 120 m2[17]. Sedangkan padi huma jenis GP-243 yang berumur 120 hari menghasilkan 19,6 kw/ ha[18]. Selain Jakarta, daerah lain yang juga tercatat melakukan percobaan penanaman adalah Klaten (Kecamatan Trujuk dan Djogonalan), Yogyakarta (Gunung kidul, Kulonprogo), Surakarta (Kecamatan Pratjimantoro dan Selogiri), Surabaya, Jember (Kecamatan Tanggul), Kalimantan (Kecamatan Liku-Sambas), hingga Irian Barat (yang dilakukan oleh civic mission DAM VII Diponegoro di Kampung Bestur Past Distrik Sentani, Keresidenan Sukarnopuro)[19].
Keunggulan padi seleksi Jagus berdasarkan hasil uji coba ini adalah kemampuannya bertahan dalam iklim dan sifat tanah yang kering, hasil yang lebih banyak dan rasa beras yang enak. Misalnya saja, suatu areal yang 70 persennya ditanami padi Jagus, jika dikurangi oleh serangan hama uret dan tikus, maka setidaknya hasil bersihnya hanya diambil dari 50 persen luas lahan. Kisaran jumlah padi yang dipanen dalam kondisi demikian sekitar 27 kw, sedanglan dalam kondisi normal bisa mencapai 54 kw[20].
Hilangnya Sebuah Inovasi
Jagus merupakan salah satu anggota pleno Pimpinan Pusat Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi kiri yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Ia juga sempat menjadi anggota DPR-GR[21] dan mengajar, salah satunya di Gerakan Tani Egom, sebuah institut tani yang dikelola oleh BTI. Pada Seminar Produksi Pertanian dan Gerakan 1001 tahun 1963 yang diselenggarakan oleh BTI, Jagus memberikan prasarannya tentang “Pola Meluaskan Penanaman Padi Jenis Unggul Seleksi Jagus”[22]. Dalam prasarannya ini, terlihat bahwa Jagus memiliki ide tentang bibit desa yang dikelola bersama. Ia mengungkapkan bahwa di tiap-tiap desa perlu ada kebun bibit desa yang digarap dan ditanggung jawab secara gotong royong oleh keseluruhan massa Rakyat penduduk Desa itu, untuk secara kontinu dan teratur menyediakan bibit-bibit yang dibutuhkannya[23]. Selain itu, di tiap desa juga perlu dikelola lumbung-lumbung bibit yang merupakan sentral penyimpanan dan penyaluran bibit-bibit kepada massa penduduk yang berkepentingan, secara kooperatif[24]. Hal terakhir yang juga tak kalah pentingnya, menurut Jagus, adalah pendidikan kader tani untuk mempertahankan jenis-jenis tanaman yang berkualitas, berpenghasilan tinggi dana mat dibutuhkan oleh massa tani[25]. Di akhir prasarannya, ia mengusulkan sebuah mekanisme penyaluran bibit dari Lembaga Penjelidikan Pertanian dan Pembibitan ke setiap kebun desa, sehingga massa tani terus menerus mendapatkan bibit unggul di setiap musim tanam[26].
Inovasi terakhir yang tercatat dari Jagus adalah padi sawah Radjalele Baru pada tahun 1965[27]. Ia turut ditangkap bersama ratusan ribu orang lainnya yang dituduh terlibat G30S 1965. Tuduhannya tidak jelas, namun hampir pasti hal tersebut terjadi karena keterlibatannya dalam BTI. Nasibnya bisa dikatakan lebih baik, karena ia dilepaskan dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun.
Detil penahanan Jagus belum terlalu jelas. Ingatan keluarganya akan peristiwa ini masih samar, sebagian besar disebabkan karena anggota keluarganya yang masih hidup tidak berada bersama Jagus saat penangkapan terjadi. Sebagian kronologi yang terungkap hanyalah tentara datang ke rumah beliau, menangkap Jagus dan menyita buku-buku serta catatan-catatan pribadinya. Tidak ada yang tahu pasti mengapa ia kemudian dilepaskan.
Ia meninggal pada 5 Oktober 1975 dan dimakamkan di Klaten. Kesehatannya semakin menurun pasca operasi prostat. Dalam ingatan keluarganya, Jagus menggunakan areal rumah dan sekitarnya untuk eksperimen padinya. Areal sawah di depan dan belakang rumahnya, serta pot-pot yang bertebaran di dalam rumahnya menjadi focus hidupnya. Sang cucu mengingat percobaan kedelai dan kapas wara-warni semasa hidup Jagus. Pasca kematiannya, percobaan Jagus sempat diteruskan oleh putrinya namun tak berhasil mengembalikan masa kejayaannya di tahun 1960an.
Beras seleksi Jagus hilang seiring dengan proyek revolusi hijau Orde Baru. Proyek ini tidak hanya menyeragamkan penggunaan bibit, pupuk dan pestisida, namun juga menghilangkan konsep kolektivitas pengelolaan benih padi. Benih padi unggulan, yang dikenal dengan IR (International Rice), diimpor dari Filipina. Tidak ada lagi pilihan bagi para petani selain menggunakan jenis ini. Jalan satu-satunya untuk mendapatkan bibit tersebut adalah membeli, hampir pasti melalui system kredit. Ide Jagus tentang sebuah kedaulatan pangan yang dibangun antara lembaga riset dengan masyarakat melalui pengelolaan kolektif kebun bibit, telah raib. Peranan masyarakat dalam riset tanaman padi pun menjadi hilang, bersamaan dengan matinya JLPKPP dan lembaga penelitian agraria lainnya. 1965 tidak sekedar menghilangkan nyawa, namun juga ide-ide yang menggerakan masyarakat.
Sebuah Panggilan
Riset terbaru tentang genosida intelektual yang dilakukan oleh Abdul Wahid, memperkirakan 115 orang dosen dan staf beserta 3.006 orang mahasiswa di UGM disingkirkan dan menjadi tapol[28]. Ini tidak hanya terjadi di UGM, tetapi juga di universitas-universitas lain di Bandung, Padang, Medan dan Makassar. Bersamaan dengan itu, seluruh karya intelektual dan ide-ide mereka pun hilang, seperti yang dialami Jagus. Ini menjadi sebuah panggilan bagi kita untuk menggali kembali sumbangsih para pemikir dan innovator di masa lalu yang (di)hilang(kan).
Kerugian terbesar bangsa Indonesia pasca 1965, selain kehilangan jutaan nyawa, adalah juga hilangnya ide-ide kreatif dan keberanian untuk melawan cengkeraman pasar. Kala nyawa tidak mampu dihidupkan kembali, yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan tempat yang layak bagi karya para intelektual ini di dalam sejarah.
***
Penulis adalah peneliti di Institut Sejarah Sosial Indonesia/ Kandidat Doktor Universitas Leiden
————-
[1] Saya mengucapkan terima kasih kepada keluarga alm. Jagus, terutama untuk koleksi foto mereka, serta kepada Hersri Setiawan dan Dharmawan Isaak yang membantu merangkai kisah hidup Jagus.
[2] Arsip KOTI 1963-1967 No. 101, hal. 4. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia
[3] Ibid, hal. 16
[4] Sumintawikarta, Sadikin. Tjatatan Tentang Penelitian Tanaman Pangan Antara Tahun 1945-1965 dalam Makagiansar, M & Sumintawikarta, Sadikin (eds). 1965. Research di Indonesia 1945-1965: Bagian III Bidang Pertanian. Jakarta: Departmen Urusan Research Nasional Republik Indonesia. Hal. 70.
[5] Jagus. Pemuliaan Tanaman Padi Tanah Kering, Seri I dalam Pesat no. 35 Th. 20, 1964, hal. 10.
[6] Ibid.
[7] ibid, hal. 9.
[8] Jagus. 1961. Seleksi Tanaman Padi dalam Pembangun Desa edisi Untuk Manipol-Djarek. Hal. 6
[9] ibid.
[10] ibid, hal. 6-7
[11] ibid, hal. 7.
[12] Ibid, hal. 7.
[13] Jagus. Seleksi Tanaman Padi (lanjutan) dalam Pembangun Desa edisi Manipol-Usdek, hal. 7.
[14] Ibid.
[15] Pesat, op cit. hal. 10
[16] Jagus. Seleksi Tanaman Padi, op cit. hal. 7.
[17] Hasil Percobaan Jagus: Varitet Sudah Mantap. Harian Rakjat, 19 Maret 1962. Hal. 2.
[18] Suara Tani no. 8 Th.XII, Agustus 1961, hal. 4-5.
[19] Jagus. Pemuliaan Tanaman Padi Tanah Kering, Seri II dalam Pesat no. 31 th. 20, 12 Agustus 1964, hal. 12
[20] ibid.
[21] Periode jabatan Jagus belum diketahui secara pasti. Kemungkinan sekitar 1959, melalui jalur non partai.
[22] Jagus. 1963. Pola Meluaskan Penanaman Padi Djenis Unggul Hasil Seleksi Jagus dalam Pembangun Desa edisi Untuk Demokrasi dan Dekon. Hal. 21.
[23] Ibid.
[24] ibid.
[25] ibid.
[26] ibid, hal. 26.
[27] Sumintawikarta, Sadikin. Op cit. hal. 71.
[28] http://news.detik.com/australia-plus-abc/d-3274077/genosida-intelektual-kiri-indonesia-pasca-1965, diakses pada 24 Oktober 2016.
http://indoprogress.com/2016/10/jagus-dan-hilangnya-kedaulatan-pangan-kita/