Nov
27th, 2015 - Oleh : Arif Novianto
Gerakan
kontra-revolusi (Tragedi 1965) yang telah memukul mundur kesadaran dan
kapasitas rakyat untuk memperjuangkan kehidupan mereka turut menghantam
kehidupan Kampus-kampus di Indonesia. Kampus sebagai ruang kebebasan akademik,
tak luput dari pusaran kejahatan kemanusiaan. Civitas akademik di Kampus, mulai
dari dosen, staf dan mahasiswa, banyak yang dipecat, ditangkap dan tidak
diketahui nasibnya. Mereka dianggap sebagai kaum kiri yang oleh militer
pro-Soeharto dituduh terlibat pada peristiwa 30 September 1965.
Peristiwa kejahatan kemanusiaan 1965 turut membentuk bangunan dan wajah
kampus di Indonesia sekarang ini. Bagaimana tragedi 1965 mengubah wajah kampus
di Indonesia (kurikulum, dosen, kebebasan akademik)? Apa dampak dari perubahan
di masa itu yang hingga kini tetap kokoh bertahan? Apa implikasinya bagi masa
depan kampus di Indonesia? Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, MAP Corner-klub MKP UGM pada hari selasa 24
November 2015, mencoba mendiskusikannya bersama Abdul
Wahid, seorang dosen di jurusan Sejarah UGM.
Menurut Abdul Wahid, peristiwa pembunuhan massal 1965 dapat disebut sebagai
“politisida atau genosida“, sedangkan pemberangusan yang
juga terjadi di dunia akademik ia menyebut dengan istilah “Intellectualcide“ (Genosida Intelektual). Sebelum
melangkah lebih jauh tentang keterlibatan kampus, peran militer dan proses
terjadinya genosida intelektual ini, Abdul Wahid memulai memantik diskusi
dengan menjelaskan iklim politik Indonesia sebelum tahun 1965.
Dari
tahun 1959-1963 terjadi peningkatan pesat jumlah Universitas di Indonesia.
Universitas negeri meningkat dari 8 (1959) menjadi 39 (1963), Universitas
swasta tumbuh dari 112 (1961) menjadi 228 (1965), Akademi negeri bertambah dari
55 (1961) menjadi 88 (1965) dan total pada 1965 ada 335 universitas/institute
dengan 278.000 mahasiswa. Jumlah masyarakat yang terdidik secara formal pada
tahun-tahun tersebut jelas mengalami peningkatan beratus kali lipat jika
dibanding pada tahun 1940. Saat itu, hanya ada 79 mahasiswa yang lulus di
Hindia ketika diperkirakan total populasi koloni mencapai 70 juta orang.
Sedangkan jumlah lulusan pendidikan tinggi antara 1924 dan 1940 adalah 532,
hanya 230 di antaranya merupakan penduduk pribumi (Wal 1963, dalam Aspinall,
2012: 157).
Jumlah
mahasiswa yang begitu besar, membuat para mahasiswa mulai dilirik oleh
partai-partai politik sebagai calon potensial untuk membangun massa konstituen.
Pada periode ini, politik aliran menguat dan letupan-letupan ketegangan antar
aliran terus terjadi. Politik aliran juga merangsek ke gerakan mahasiswa, ada
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang terbentuk pada 5 Februari 1947, berafiliasi
dengan partai islam modernis yaitu Masyumi. Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI) yang berdiri tanggal 23 Maret 1954 berafiliasi dengan Partai
Nasional Indonesia (PNI). Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
dibentuk pada 1956 yang memiliki kedekatan dengan PKI dan juga ada Gerakan
Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang terbentuk pada 1955 yang berafiliasi dengan
Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Situasi
politik nasional hingga tahun 1960an mencuatkan tiga kekuatan/idiologi besar
yang saling bersaing yaitu PNI (nasionalis), NU (agamis) & PKI (komunis)
yang oleh Soekarno hendak disatukan menjadi NASAKOM. Soekarno pada masa itu
menjadi revolusioner dengan mengeluarkan kebijakan dan jargon politik radikal
menentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme seperti “Manipol-Usdek”,
“Ganyang Malaysia”, “Nefos” dan juga isu Papua Barat.
Bagi
Soekarno, Universitas harus mampu menjadi “alat revolusi nasional”. Universitas
diarahkan untuk mendukung “Manipol-USDEK” (Political Manifesto – UUD 45,
Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi-Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Indonesia) dan untuk mendukung propaganda anti-imperialisme dan the ‘new
emerging forces’ (NEFOS). Kebijakan yang diambil oleh Soekarno bukan tanpa
alasan, sisa-sisa ekonomi-politik kolonial, sisa-sisa feodalisme dan sisa-sisa
kebudayaan kolonial mencoba untuk terus dihanguskan dalam revolusi nasional
Indonesia.
Itu
karena bagi masyarakat kecil atau kaum Marheins, kemerdekaan secara politik
juga harus ditunjang kemerdekaan secara ekonomi yaitu untuk mencapai
kesejahteraan. Sementara perjuangan untuk mencapai hal itu membutuhkan
organisasi massa, kampanye politik dan advokasi. Sementara kaum kelas atas dan
masyarakat yang masih dalam enclave kolonial, mereka juga turut membangun
organisasi massa untuk mempertahankan keistimewaan dan ideologi mereka. Itulah
yang membuat politik aliran sangat menguat.
Pandangan
politik Soekarno telah membuatnya dekat dengan ideologi kiri dan PKI. Pada masa
itu PKI menurut Ruth T. McVey merupakan partai yang paling modern dengan
kaderisasi kuat yang mengakar ke bawah yaitu dilakukan secara institusional.
PKI memiliki lembaga kebudayaan, gerakan perempuan dan juga lembaga pendidikan
progresif seperti Universitas Rakyat, Universitas Res Publica, Akademi Ali
Archam, Akademi Bachtarrudin, Akademi Ronggowarsito dan juga yang lain. Lembaga
pendidikan PKI menjadi institusi pendidikan formal yang sangat menarik bagi
rakyat.
Konteks iklim
politik di Indonesia juga dipengaruhi oleh terjadinya perang dingin antar dua
kekuatan besar yaitu Blok Barat (AS & Sekutunya) dengan Blok Timur (US
& sekutunya). Hingga 1965, universitas menjadi ‘arena perang dingin’ karena
menerima bantuan dari donor “Barat & Timur”. “Donor Barat” banyak membantu
capacity building di bidang teknik, pertanian, peternakan, kedokteran dan
pedagogik. Sedangkan “Donor Timur” membantu pembangunan “infrastructure”, di
bidang sains, teknik dan humaniora. Pertarungan kedua blok juga merambah ke
pemberian beasiswa-beasiswa pendidikan kepada para mahasiswa Indonesia.
Pada
tahun 1960an, organisasi mahasiswa yang menjadi dominan adalah GMNI dan CGMI.
Ini tidak terlepas dari afiliasi mereka kepada partai politik yang berkuasa
saat itu, yaitu PNI dan PKI. Pada awal 1960an GMNI memili jumlah anggota 77.000
orang sedangkan CGMI sekitar 35.000 orang pada 1964an (Maxwell, 1997: 118).
Organisasi mahasiswa intra-kampus Dewan Mahasiswa (Dema) dan Komisariat Dewan
Mahasiswa (Kodema) menjadi arena persaingan politik antar gerakan mahasiswa.
Ada dua kluster yang sering beradu mendapatkan posisi strategis di Dema dan
Kodema ini, yaitu kluster berbasis agama: HMI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM dan
kluster berbasis sekuler: GMNI, CGMI, Germindo, Perhimi dan IPPI. Pengaruh
pertarungan gerakan mahasiswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Wahid
juga sampai ke para dosen dan staff. Banyak intrik politik dari karir
penunjukan pimpinan di kampus yang didasarkan pada kedekatan dosen dan staf
pada organisasi kemahasiswaan tertentu.
Terjadinya
operasi militer pada 30 September 1965 yang telah membunuh 6 Jenderal dan 1
Perwira Tinggi TNI AD, disikapi oleh militer pro-Soeharto dengan bergerak cepat
dan memonopoli arus informasi publik dengan menuduh PKI sebagai pelaku operasi
militer. Pemburuan dan kejahatan kemanusian kemudian terjadi diberbagai daerah
dengan menyasar para komunis dan Soekarnois. Kampanye
counter-revolutionary/anti-komunis di kampus dimulai serentak di minggu pertama
Oktober yang dilakukan dengan proses seperti berikut:
1. Menteri
PTIP menerbitkan SK No.1/dar 1965 untuk membekukan 14 lembaga yang (diduga)
berafiliasi ke PKI;
2. SK
No.4/dar 1965 untuk menutup 2 institut PKI lain;
3. SK No.
16/dar 1965 membubarkan CGMI, Perhimi, IPPI;
4. Ini
ditindak lanjut dengan Instruksi TNI no. 22/KOTI/1965 tanggal 10 Oktober
men-skrining semua kampus.
Proses skrining dimulai serentak sesudah
Menteri PTIP mengeluarkan SK tanggal 24/10/1965: Hasil awal diumumkan pada
2/1/1966; beberapa universitas melaporkan hasil skrining. Hanya beberapa
universitas yang mengumumkan hasilnya secara terbuka, kebanyakan menyembunyikannya
(sebagai dokumen rahasia). Proses skrining ini dilakukan dengan mendata siapa
saja kaum kiri di kampus. Skrining berjalan dengan dramatis dan tricky :
1. Rektor
universitas “ditunjuk”sebagai ketua tim penyelidikan khusus mahasiswa/pegawai
(TPCM/TPCP) di bawah TNI untuk screen universitasnya, tetapi juga “binaannya”;
2. “Pendataan”
melibatkan mahasiwa dan dosen, untuk menyusun daftar nama “tersangka” (beberapa
kemudian terlibat dalam proses “interogasi”, misalnya: Lukman Soetrisno di
UGM);
3. Proses
berjalan hirarkhis, atasan memaksa bawahan untuk menyerahkan nama, seringkali
secara serampangan tanpa verifikasi.
Dalam
proses skrining karena kampus sebagai institusi tidak mempunyai data siapa saja
mahasiswa, dosen atau staff yang memiliki afiliasi politik dengan PKI, maka
para mahasiswa anti-komunis (dari organisasi yang bertentangan dengan CGMI
seprti HMI) dimanfaatkan untuk menunjuk para mahasiswa yang masuk CGMI,
Perhimi, IPPI atau yang berafiliasi dengan PKI.
Hasil
dari proses skrining tersebut, UGM (Universitas Gadjah Mada) mencatat 115 Dosen
atau Karyawan dan 3.006 Mahasiswa yang diduga terlibat dalam gerakan
pemberontakan padahal jumlah mahasiswa di UGM saat itu sekitar 12.000 mahasiswa
(UGM menjadi yang tertinggi). Mereka yang di data dalam proses skrining
sebagian menjadi tahanan politik selama beberapa tahun; sebagian di-Buru-kan;
dan lainnya tidak diketahui nasibnya.
Dalam
penjelasannya Abdul Wahid memaparkan bahwa para mahasiswa yang terdata
diwajibkan melapor ke kampus pada 3 kali 24 jam setelah hasil skrining dipublis
di media massa, dan banyak sekali yang tidak melapor. Itu artinya mereka sudah
dihantam dengan mekanisme yang lain di luar kampus. Karena proses skrining
tersebut juga bersamaan dengan proses pemburuan dan pembunuhan massal kaum kiri
di berbagai pelosok Indonesia.
Selain
proses skrining atau pembersihan kaum kiri di kampus, dunia akademik kampus
juga melakukan pembersihan terhadap buku-buku bertendensi kiri di perpustakaan
dan merubah kurikulum mereka menjadi kapitalisme sentris. Proses tersebut
dilakukan dibawah tekanan militer. Hal tersebut mendapat legitimasi dengan
disahkannya TAP MPR RI No.XXV/MPRS/1966 yang berisi pelarangan terhadap
idiologi komunisme/ marxisme-leninnisme.
Peristiwa
1965 menimbulkan pengaruh mendalam bagi universitas di Indonesia. Beberapa
diantaranya sebagaimana yang dilihat oleh Abdul Wahid adalah sebagai berikut :
1. Hilangnya satu generasi intelektual,
produk dari periode tahun 1950an yang kosmopolitan dan liberal (termasuk mereka
yang menjadi eksil)
2. Penghapusan sistematis jejak dan
pemikiran, gagasan memori dan unsur-unsur ‘kiri’ dari kampus Indonesia
3. Reorientasi “komitmen dan ideologi”
intelektual di beberapa kalangan akademisi Indonesia
4. Kerjasama internasional menjadi sangat
berorientasi Barat, khususnya USA dan Eropa Barat
5. Dalam kurikulum, terutama ilmu sosial,
teori Marxist/conflict “ditinggalkan” dan buku/literatur kiri “menghilang” dari
perpustakaan kampus (TAP MPRS 25/1966)
6. Budaya intelektual dan tradisi kritis
menurun, sedangkan aktivisme politik mahasiswa dibatasi dengan ketat
7. Minat riset seputar Peristiwa 1965, isu
agraria, dan gerakan buruh menjadi lemah, atau dihindari karena self-censorship
tapi juga karena kebijakan (kampus)
8. Universitas menjadi semakin birokratis,
kapitalistik dan market-oriented (Nugroho 2009)
Arif Novianto, MAP Corner-klub MKP UGM. Reportase ini disadur dari MAP
Corner-Klub MKP UGM.