Nur Janti
Greg Poulgrain, sejarawan University of Sunshine Coast, Brisbane, Australia, dalam acara bedah bukunya, "The Incubus of Intervention", di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 5 September 2017.
Foto: Nur Janti/Historia.
Pada akhir Agustus 2017, pemerintah mengumumkan bahwa Freeport bersedia melepas 51% sahamnya. Keputusan ini disambut gembira. Namun, itu tidak akan menguntungkan Indonesia sampai Freeport sepakat untuk mengubah hal mendasar dalam pengawasan operasional.
Hal itu disampaikan Greg Poulgrain, sejarawan University of Sunshine Coast, Brisbane, Australia, dalam acara bedah buku terbarunya, The Incubus of Intervention, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 5 September 2017.
Poulgrain mengatakan dengan perubahan mendasar dalam pengawasan operasional, Indonesia memiliki hak untuk mengaudit Freeport. “Hal ini harus diupayakan agar Indonesia bisa mengonfirmasi kekayaaan Freeport yang sebenarnya. Freeport tidak memberikan secara rinci kekayaannya ke Jakarta,” kata Poulgrain.
Tambang emas di Papua yang dikuasai Freeport ditemukan oleh geolog Belanda, Jean Jacques Dozy bersama dua temannya pada 1936. Pihak Freeport mengaku memperoleh laporan penelitian Dozy dari perpustakaan di Leiden, Belanda. Dozy membantahnya.
“Cerita bahwa Freeport menemukan laporan penelitian Dozy sebelum Perang Dunia II di perpustakaan merupakan kebohongan besar. Karena orang yang membuat Forbes Wilson (geolog pada Freeport Sulphur) tertarik dengan temuan Dozy adalah keluarga dekat Dozy,” kata Poulgrain.
Poulgrain mewawancarai Dozy setelah 20 tahun menemukan Ertsberg di Papua. Dozy mengungkapkan bahwa dia menemukan gunung emas bukan gunung tembaga. “Ertsberg merupakan tambang emas terbesar di dunia dan Grassberg yang berada di bawahnya ternyata lima kali lebih besar,” kata Poulgrain.
Penemuan itu membuat Amerika Serikat memihak Indonesia dalam sengketa Irian Barat (kini Papua) dengan Belanda. Amerika mendorong Belanda untuk melepaskan Papua. Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns mengatakan Amerika memaksa Belanda keluar dari Papua setelah menolak kerja sama penambangan sumber emas dan tembaga. Akan tetapi setelah berhasil mendepak Belanda dari Papua, Amerika juga tidak berhasil masuk lantaran kebijakan ekonomi Sukarno. Oleh karena itu, Direktur CIA Allan Dulles, berusaha menggulingkan Sukarno.
Menurut Poulgrain, sejak lama Dulles mengetahui kekayaan alam di Indonesia. Ketertarikannya terhadap Indonesia dimulai pada 1928 ketika dia bekerja sebagai pengacara muda yang memenangkan kasus hukum melawan Henri Deterding dari Royal Dutch Petroleum Company yang berniat membangun industri minyak di Indonesia. “Dari sini dia memiliki akses untuk mengetahui tentang tambang di Hindia Belanda,” kata Poulgrain.
Selain itu, Dulles menganggap pemerintahan Sukarno berbahaya dan cenderung mendukung komunisme. Sebaliknya, Presiden John F. Kennedy melihat Sukarno sebagai seorang nasionalis. Kennedy memberhentikan Dulles sebagai direktur CIA pada 1961 karena CIA beroperasi di Indonesia selama enam tahun di antaranya mendukung PRRI/Permesta.
Pada 22 November 1963, Kennedy dibunuh dalam kunjungan ke Dallas, Texas. Presiden Lyndon Johnson memasukan Dulles sebagai anggota Komisi Warren yang menyelidiki kematian Kennedy. Dulles menyimpulkan pelaku pembunuhan Kennedy adalah Lee Harvey Oswald (Baca: Peti Mati Pembunuh Kennedy).
Poulgrain justru menduga Dulles kemungkinan dalang pembunuhan Kennedy. Sebab, Kennedy percaya Sukarno bukan seorang komunis dan berusaha menjadi mediator konfrontasi Indonesia-Malaysia.
“Kennedy dibunuh tahun 1963 agar tidak jadi datang ke Jakarta pada awal 1964. Bagi saya ini menarik. Karena Kennedy ingin menengahi masalah agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka,” ujar sejarawan LIPI Asvi Warman Adam (Baca: Wisma untuk Kennedy).
Menurut Poulgrain, bila Kennedy jadi ke Jakarta dan menjalin kerjasama dengan Sukarno, rencana Dulles menjatuhkan Sukarno bisa gagal dan posisinya akan lebih kuat. “Ketika politik Indonesia memanas dan perubahan haluan menjadi pro-Barat di masa Soeharto, Freeport berhasil masuk,” kata Poulgrain.
Asvi mengeritik metode penelitian yang dilakukan Poulgrain yang mewawancarai Dozy setelah 20 tahun penemuannya atas gunung emas di Papua.
“Sejarah lisan atau wawancara merupakan pelengkap kalau sumber-sumber tertulis tidak ditemukan. Sejarah lisan akan melengkapi itu supaya lebih sempurna. Sejarah lisan ini memiliki jebakan apalagi kalau dilakukan 20 atau 30 tahun sesudah peristiwa itu terjadi. Orang yang diwawancara atau pelaku sejarah itu punya kesempatan kedua untuk memperhebat dirinya atau mereduksi kesalahannya.
Itu jebakan dari sejarah lisan,” kata Asvi.
Asvi memberikan contoh Poulgrain menulis bahwa kematian Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjold merupakan siasat Allan. Dag dinilai ikut campur masalah Papua karena berkeinginan untuk membantu rakyat Papua dengan merencanakan program ekonomi. Hal ini dianggap akan mengganggu rencana Allan.
“Tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa Dag terbunuh karena urusan Papua,” tegas Asvi.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar