Jumat, 08 September 2017

Dari ‘maaf ke PKI’ hingga ‘pribumisasi Islam’, lima hal menarik tentang Gus Dur

8 September 2017


Abdurrahman Wahid atau Gus Dur: 7 September 1940-30 Desember 2009.

Tanggal 7 September ini, 77 tahun lalu, merupakan hari kelahiran presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur.
Semasa hidupnya tokoh Nahdlatul Ulama tersebut dikenal sebagai seorang yang blak-blakan dan tidak jarang kontroversial. Berikut adalah sejumlah hal menarik tentang Gus Dur.

Ikon pluralisme dan kebebasan beragama

Meski sudah hadir di Indonesia sejak ratusan tahun, baru pada tahun 2000 lah, ketika Gus Dur menjadi presiden, agama Kong Hu Cu diakui sebagai salah satu agama resmi Indonesia.
Dengan mencabut Instruksi Presiden yang melarang kegiatan terbuka tradisi Tionghoa, berbagai budaya dan aktivitas keagamaan Kong Hu Cu pun bebas diselenggarakan di tanah air.
Kepada BBC Indonesia, Lies Marcoes menceritakan pengalaman pribadinya melihat bagaimana Gus Dur 'mendukung kebebasan beragama'.
"Waktu itu sekolah Katolik Sang Timur di Kebayoran lama, ditutup oleh sekelompok warga dengan tuduhan macam-macam... (Di sekolah) dituduh di sana ada rumah ibadah, padahal izinnya untuk sekolah. Gus Dur pun langsung datang sendiri ke sana berdialog dengan warga Muslim yang menolak," cerita Lies Marcoes.
Lies memaparkan bahwa Gus Dur membujuk warga dengan mengungkapkan bagaimana pentingnya pendidikan bagi manusia. "Jalan ke sekolah yang sebelumnya ditutup oleh warga kampung pun kemudian dibuka".
Lies juga menyebut Gus Dur adalah tokoh yang selalu membela hak beragama bagi warga Ahmadiyah dan Syiah.

Kontroversi soal komunisme dan Israel

Berbagai kontroversi kerap muncul ketika Gus Dur menjabat presiden hampir dua dekade yang lalu.
Salah satunya terjadi pada tahun 2000, ketika dia berencana mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV Tahun 1966, khususnya tentang Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Gus Dur juga membuat geger ketika menyatakan permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965.
Selain itu, Gus Dur juga mengemukakan rencana untuk menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Israel.
"Israel percaya pada Tuhan. Jika pada negara yang tak bertuhan seperti Rusia dan Cina saja kita menjalin hubungan diplomatik, mengapa dengan Israel tidak?" kata Gus Dur dalam sebuah wawancara.
Kedua idenya itu memang ditentang sebagian masyarakat Indonesia, yang menurut cendekiatan Muslim Akhmad Sahal mencerminkan gaya pemikiran Gus Dur yang berbeda dengan kebanyakan orang.
"Gus Dur itu tidak senang dengan kemapanan. Sesuatu kalau nggak bergerak itu harus dikejutkan," ungkap Sahal.
Soal komunisme, pencabutan TAP MPRS menurut Sahal lebih ditujukan Gus Dur untuk paham Komunisme. "Komunisme kan boleh dipelajari, sah-sah saja. Gus Dur tak pernah bilang PKI dibolehkan. TAP MPRS itu dicabut sehingga orang bisa belajar dari komunisme."
Sementara tentang Israel, membuka hubungan diplomatik bukan berarti melegitimasi soal penindasan (Israel) terhadap Palestina.
"Tapi (Gus Dur) ini kan realistis saja. Beberapa negara Arab saja menjalin hubungan (dengan Israel)," pungkas Sahal.

'Pribumisasi Islam = Islam Nusantara'

Pada Muktamar Nadhlatul Ulama ke-33, Agustus 2015 silam, tema 'Islam Nusantara' yang kala itu diangkat, ramai dibicarakan.
"Islam Nusantara disebut sebagai Islam yang khas Indonesia. Kehadiran Islam tidak untuk menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi yang ada secara bertahap."
Konsep Islam Nusantara tersebut, sebenarnya bisa dilihat berasal dari konsep 'Pribumisasi Islam' yang pertama kali diutarakan Gus Dur.
"Islam tidak identik dengan Arab". Justru Islam itu diturunkan untuk memenuhi, menjawab, dan meneruskan kebutuhan masyarakat," kata Sahal mengutip Gus Dur.
"Makanya Islam harus menimbang soal kemaslahatan. Dan kemaslahatan itu harus disesuaikan dengan konteks lokalnya," ungkap Sahal yang saat ini sedang menempuh program doktor di Departemen Studi Agama, Universitas Pennsylvania di Amerika Serikat.
Sahal menyebut konsep pribumisasi Islam adalah salah satu ide Gus Dur yang layak, tetapi jarang dieksplorasi.

Menjadi 'pembenaran' tokoh NU untuk politik praktis

Pada tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur, yang telah memimpin Nahdlatul Ulama selama lebih dari 10 tahun, menjadi presiden Indonesia. Inilah untuk pertama kalinya seorang mantan petinggi organisasi Islam menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Lies Marcoes menyebut peristiwa ini menjadi momentum pula bagi 'anak muda NU untuk lebih jauh masuk ke era politik praktis,' namun dalam perspektif yang berbeda.
Lies melihat terjunnya kader-kader NU ke dunia politik ini 'tanpa menggunakan etika seperti Gus Dur'.
"Gus Dur dijadikan pembenaran. Padahal Gus Dur masuk dalam kerangka perjuangan yang cukup jauh (ke depan)."
Dia mencontohkan tidak semua kaum muda di lingkungan NU bisa paham mengapa Gus Dur membela teman-teman Ahmadiyah.
"Yang tolak Ahmadiyah kan sebagiannya pemuda NU. Bukan hanya karena keterbatasan pengetahuan dibandingkan Gus Dur, tetapi juga karena ada kepentingan politik menolak kelompok primordial."
Betapa punm cukum banyak warga NU yang justru tak punya masalah dengan Ahmadyah dan menghormati hak hidup kelompok itu.
Kepada BBC Indonesia, Juni lalu, juru bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana mengungkapkan bagaimana masjid Al-Hidayah milik jamaah Ahmadiyah di Depok, kerap mendatangkan berbagai penceramah, 'di antaranya tokoh muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi.'

Inisiator Syariat Islam di Aceh

Yang tampak ganjil bagi seorang tokoh pluralisme dan sikap moderat dalam beragama, Gus Dur justru adalah tokoh yang menawarkan penerapan syariat Islam di Aceh, saat ia menjabat sebagai presiden.
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia pada 8 April 2014, meskipun menilai 'ganjil', mantan Gubernur Aceh yang juga merupakan mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Zaini Abdullah, menyatakan 'tawaran Gus Dur tersebut sebagai upaya meredam perlawanan GAM yang saat itu di atas angin'.
Dalam praktiknya penerapan syariat Islam di Aceh mencakup berbagai hal yang oleh banyak kalangan dipandang melanggar hak-hak sipil dan bahkan bertentangan dengan HAM, membuat berbagai organisasi hak asasi manusia internasional trus menerus bersuara. Misalnya, ketika pasangan gay di Aceh ditangkap dan dihukum cambuk 85 kali, pada 23 Mei lalu. Lembaga Human Rights Watch menyebut hukuman cambuk itu 'melanggar hukum internasional'.
Gus Dur -menurut Lies Marcoes- kemungkinan tidak menghitung keputusan tersebut bisa dijadikan komoditas politik oleh sekelompok pihak di Aceh karena GAM tidak menggunakan argumentasi agama dalam berjuang.
"Mereka adalah kelompok sekuler pada dasarnya," tambahnya.
Meskipun begitu, Lies menilai, Gus Dur menawarkan Syariat Islam karena, "Dia berpikir isu yang lebih besar, bagaimana menjaga keutuhan Indonesia, karena waktu itu bergaung keinginan referendum Aceh... Tapi ya sekarang (Syariat Islam) digunakan untuk menyatakan Aceh berbeda dari tempat lain. Ini ekses..."

Sumber BBC Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar