Kamis, 19 Mei 2016

Seminar Marxisme Dibatalkan, Tolong! Lindungi Kebebasan Berpikir!



Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (TAP MPRS/XXV/1996)

Seminar Departemen Hubungan Eksternal dan Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Padjadjaran  yang bertajuk Marxisme sebagai Ilmu Pengetahuan resmi dibatalkan pada 18 Mei lalu. Acara yang diisi oleh pembicara Firman Ekoputra dari Rumah Kiri dan M. Rolip Saptamaji S.IP,M.IPOL  ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana relevansi metodologi Marxis dalam ilmu sosial humaniora yang berada di masyarakat, serta memperkuat akademik mahasiswa terhadap pemahaman tersebut.

Setelah maraknya musim ‘rampas’ dari Instruksi Presiden Joko Widodo tentang penanganan kebangkitan komunisme, nampaknya perampasan tersebut tidak hanya terjadi dalam tataran simbol-simbol ataupun atribut yang berbau kiri. Tetapi, hal tersebut sudah masuk kedalam tataran dunia akademis. Suplemen pendidikan telah ternodai akan pengekangan berpikir dan berdialektika. Semestinya, pendidikan adalah dasar dari pembentukan karakter dan mental bangsa sebagai bentuk eksistensi peserta didik. Seolah ajaran kiri menjadi teror bagi kalangan yang ingin mempelajari atau sekedar mengetahui  teori yang menentang kapitalisme.

Dimulai dari kronologi kejadian yang dipaparkan oleh Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Aksi Strategis BEM FISIP Unpad M. Ariq Andarmesa. Mulanya ia mendapat panggilan telepon pukul 10.45 WIB pada 18 Mei dari pihak yang mengatas namakan dirinya Intel Polisi Sumedang. Bertanya mengenai konten acara dan tujuan dari acara tersebut yang dikhawatirkan menyebarkan paham kiri ke masyarakat luas. Sang penelepon menghimbau agar lebih berhati-hati terhadap elemen dari luar ‘kiri’ yang bisa membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).

Belum acara tersebut dimulai sudah mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik itu pihak Universitas maupun Organiasi Massa. Pada sekitar pukul 15.00 WIB muncul kabar tentang adanya pihak Ormas FPI yang menekan untuk membubarkan acara tersebut, dengan asumsi jika acara akan berlanjut Ormas akan menggerakan massa untuk memberhentikan acara. Tekanan tersebut diluncurkan langsung kepada pihak Rektorat. Sehingga, perwakilan rektorat memutuskan untuk memberhentikan seminar secara sepihak.

Tak lama setelah keluar tekanan dari pihak Rektorat dan Ormas, Dekanat FISIP Unpad yang diwakili Dr.Rd. Ahmad Buchari, S.IP.,M.Si sebagai Manajer Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni menginstruksi para mahasiswa agar menunda dan mengganti judul acara. Sebelumnya ia telah menyetujui seminar yang bertajuk Marxisme pada 19 Mei itu karena ia rasa, mahasiswa berhak mendapatkan pengetahuan ideologi apapun dengan tujuan ilmiah. Ahmad Buchari membebaskan mahasiswanya untuk mempelajari aliran kiri maupun kanan karena dalam mimbar akademik segala hal pantas untuk diperdebatkan, tetapi itu terhadang oleh suatu kondisi “saya hanya bisa mengikuti instruksi dari atasan.”  ujarnya. Di sisi lain, sang moderator acara yang juga selaku Dosen Ilmu Politik Unpad Carolina Paskarina S.IP.,M.Si secara tiba-tiba ditugaskan untuk pergi ke Sukabumi atas arahan pihak rektorat pada hari-H seminar. Padahal, dirinya sudah menyatakan akan menjadi moderator, seolah tugas tersebut adalah paksaan agar ia tidak menjadi moderator acara.

Di publik, contoh tekanan yang diberikan Rektorat Unpad dan Ormas merupakan tindakan penindasan secara sistemik terhadap pemikiran berbau kiri. Bahkan setelah reformasi elit Orde Baru masih ada di jajaran pemerintah. Upaya rekonsiliasi pun masih sekedar mimpi. Ditambah, Ormas yang secara sporadis melalui gerakan ganyang komunisme bermunculan di berbagai daerah yang muncul karena upaya saling maaf memaafkan di Tugu Tani, Jakarta tempo lalu. Pemikiran masyarakat sudah terlalu sempit akan gerakan kiri, mereka tak sadar bahwa Pancasila pun mengandung azas ke kiri-kirian. 
Nasionalisme Indonesia sungguh berbeda dengan ala Barat. Nasionalisme Indonesia tumbuh dari perlawanan akan Kolonialisme, maka tumbuh jiwa kerakyatan dan solidaritas yang tinggi. Perlawanan Indonesia telah lama bermusuhan dengan kongsi dagang VOC yang jelas memperlihatkan nilai kapitalisme. Sehingga, tak heran para pendiri bangsa tidak setuju akan nilai-nilai kapitalis. Mereka membentuk 5 sila yang berhaluan persatuan dan keadilan yang tentu ditiru dari ajaran kiri.

Di tempat lain, ditemui saat acara Nonton Bareng dan Diskusi Film di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad. Sulton, selaku Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Gama FIB Unpad menuturkan “seharusnya kampus adalah tempat yang paling bebas, dimana argumen atau ideologi apapun yang anda punya silahkan di taruh di kampus dan diperdebatkan.” Menurutnya, Unpad sekarang sibuk mencari keuntungan dengan porsi kampus seperti perusahaan swasta. Struktur manajerial kampus dari Rektorat hingga Dekanat terdapat manajer-manajer persis layaknya sebuah perusahaan. 
Di waktu yang sama, Aldo Fernando, mahasiswa Fakultas Pertanian berpendapat bahwa munculnya kembali pergerakan kiri di tataran nasional adalah hal yang positif. Setelah gerakan kiri di redam selama lebih dari 32 tahun, pemahaman kiri hilang dalam rantai ilmu pengetahuan. Patutnya, kemunculan kembali aliran kiri di Indonesia bisa kita anggap sebagai suatu berkah. Karena membuat kita mampu melihat realita yang berbeda melalui perspektif orang yang pernah kalah. Pelarangan diskusi kiri adalah kekacauan pola pikir. “ jika pelarangan berpikir terjadi, mau di gerakan kiri atau kanan, itu adalah suatu hal yang tolol!” seru mahasiswa yang juga Ketua Umum LPPMD Unpad 2015/2016.

Solusi untuk permasalahan atas penindasan pemikiran di kampus Unpad seharusnya Rektorat harus melindungi kebebasan berpikir. Marxisme dianggap gerakan kacau dan kafir hanya karena pihak dari luar seperti Ormas menuntut hal yang menurut mereka benar. Jangan sampai Unpad dianggap sebagai Universitas yang cacat akademis. Rektorat harus bisa menegaskan bahwa kampus adalah tempat bertarungnya gagasan. Dalam tataran akademis tidak sepatutnya ada diskriminasi bahkan pelarangan terhadap suatu ideologi tertentu. Jika ada pelarangan, nampaknya aliran radikal lain perlu dipertimbangkan penyebaranya. 

Aliran kiri maupun kanan bahkan moderat sekalipun bisa berdebat gagasan didalam kampus. Siapapun yang mengerti akan sejarah maka ia termasuk manusia yang maju. Pemerintah sepatutnya tidak selalu berupaya mencetak generasi baru yang mampu menggerakan kekuatan modal/investasi dengan peningkatan kompetensi dan produktivitas kerja yang berfokus di era global. Tetapi, Indonesia butuh generasi pemikir baru demi mempunyai karakter yang berkelanjutan serta intelektual dalam berpikir.
Peter Lamandau

0 komentar:

Posting Komentar