“Khususnya mengenai kegiatan
mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat
dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR
diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (TAP MPRS/XXV/1996)
Seminar Departemen Hubungan Eksternal
dan Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Padjadjaran yang bertajuk
Marxisme sebagai Ilmu Pengetahuan resmi dibatalkan pada 18 Mei lalu.
Acara yang diisi oleh pembicara Firman Ekoputra dari Rumah Kiri dan M.
Rolip Saptamaji S.IP,M.IPOL ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana
relevansi metodologi Marxis dalam ilmu sosial humaniora yang berada di
masyarakat, serta memperkuat akademik mahasiswa terhadap pemahaman
tersebut.
Setelah maraknya musim ‘rampas’ dari
Instruksi Presiden Joko Widodo tentang penanganan kebangkitan komunisme,
nampaknya perampasan tersebut tidak hanya terjadi dalam tataran
simbol-simbol ataupun atribut yang berbau kiri. Tetapi, hal tersebut
sudah masuk kedalam tataran dunia akademis. Suplemen pendidikan telah
ternodai akan pengekangan berpikir dan berdialektika. Semestinya,
pendidikan adalah dasar dari pembentukan karakter dan mental bangsa
sebagai bentuk eksistensi peserta didik. Seolah ajaran kiri menjadi
teror bagi kalangan yang ingin mempelajari atau sekedar mengetahui
teori yang menentang kapitalisme.
Dimulai dari kronologi kejadian yang
dipaparkan oleh Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Aksi Strategis
BEM FISIP Unpad M. Ariq Andarmesa. Mulanya ia mendapat panggilan telepon
pukul 10.45 WIB pada 18 Mei dari pihak yang mengatas namakan dirinya
Intel Polisi Sumedang. Bertanya mengenai konten acara dan tujuan dari
acara tersebut yang dikhawatirkan menyebarkan paham kiri ke masyarakat
luas. Sang penelepon menghimbau agar lebih berhati-hati terhadap elemen
dari luar ‘kiri’ yang bisa membangkitkan kembali Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Belum acara tersebut dimulai sudah
mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik itu pihak Universitas
maupun Organiasi Massa. Pada sekitar pukul 15.00 WIB muncul kabar
tentang adanya pihak Ormas FPI yang menekan untuk membubarkan acara
tersebut, dengan asumsi jika acara akan berlanjut Ormas akan menggerakan
massa untuk memberhentikan acara. Tekanan tersebut diluncurkan langsung
kepada pihak Rektorat. Sehingga, perwakilan rektorat memutuskan untuk
memberhentikan seminar secara sepihak.
Tak lama setelah keluar tekanan dari
pihak Rektorat dan Ormas, Dekanat FISIP Unpad yang diwakili Dr.Rd. Ahmad
Buchari, S.IP.,M.Si sebagai Manajer Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni
menginstruksi para mahasiswa agar menunda dan mengganti judul acara.
Sebelumnya ia telah menyetujui seminar yang bertajuk Marxisme pada 19
Mei itu karena ia rasa, mahasiswa berhak mendapatkan pengetahuan
ideologi apapun dengan tujuan ilmiah. Ahmad Buchari membebaskan
mahasiswanya untuk mempelajari aliran kiri maupun kanan karena dalam
mimbar akademik segala hal pantas untuk diperdebatkan, tetapi itu
terhadang oleh suatu kondisi “saya hanya bisa mengikuti instruksi dari
atasan.” ujarnya. Di sisi lain, sang moderator acara yang juga selaku
Dosen Ilmu Politik Unpad Carolina Paskarina S.IP.,M.Si secara tiba-tiba
ditugaskan untuk pergi ke Sukabumi atas arahan pihak rektorat pada
hari-H seminar. Padahal, dirinya sudah menyatakan akan menjadi
moderator, seolah tugas tersebut adalah paksaan agar ia tidak menjadi
moderator acara.
Di publik, contoh tekanan yang diberikan
Rektorat Unpad dan Ormas merupakan tindakan penindasan secara sistemik
terhadap pemikiran berbau kiri. Bahkan setelah reformasi elit Orde Baru
masih ada di jajaran pemerintah. Upaya rekonsiliasi pun masih sekedar
mimpi. Ditambah, Ormas yang secara sporadis melalui gerakan ganyang
komunisme bermunculan di berbagai daerah yang muncul karena upaya saling
maaf memaafkan di Tugu Tani, Jakarta tempo lalu. Pemikiran masyarakat
sudah terlalu sempit akan gerakan kiri, mereka tak sadar bahwa Pancasila
pun mengandung azas ke kiri-kirian.
Nasionalisme Indonesia sungguh
berbeda dengan ala Barat. Nasionalisme Indonesia tumbuh dari perlawanan
akan Kolonialisme, maka tumbuh jiwa kerakyatan dan solidaritas yang
tinggi. Perlawanan Indonesia telah lama bermusuhan dengan kongsi dagang
VOC yang jelas memperlihatkan nilai kapitalisme. Sehingga, tak heran
para pendiri bangsa tidak setuju akan nilai-nilai kapitalis. Mereka
membentuk 5 sila yang berhaluan persatuan dan keadilan yang tentu ditiru
dari ajaran kiri.
Di tempat lain, ditemui saat acara
Nonton Bareng dan Diskusi Film di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad.
Sulton, selaku Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Gama FIB
Unpad menuturkan “seharusnya kampus adalah tempat yang paling bebas,
dimana argumen atau ideologi apapun yang anda punya silahkan di taruh di
kampus dan diperdebatkan.” Menurutnya, Unpad sekarang sibuk mencari
keuntungan dengan porsi kampus seperti perusahaan swasta. Struktur
manajerial kampus dari Rektorat hingga Dekanat terdapat manajer-manajer
persis layaknya sebuah perusahaan.
Di waktu yang sama, Aldo Fernando,
mahasiswa Fakultas Pertanian berpendapat bahwa munculnya kembali
pergerakan kiri di tataran nasional adalah hal yang positif. Setelah
gerakan kiri di redam selama lebih dari 32 tahun, pemahaman kiri hilang
dalam rantai ilmu pengetahuan. Patutnya, kemunculan kembali aliran kiri
di Indonesia bisa kita anggap sebagai suatu berkah. Karena membuat kita
mampu melihat realita yang berbeda melalui perspektif orang yang pernah
kalah. Pelarangan diskusi kiri adalah kekacauan pola pikir. “ jika
pelarangan berpikir terjadi, mau di gerakan kiri atau kanan, itu adalah
suatu hal yang tolol!” seru mahasiswa yang juga Ketua Umum LPPMD Unpad
2015/2016.
Solusi untuk permasalahan atas
penindasan pemikiran di kampus Unpad seharusnya Rektorat harus
melindungi kebebasan berpikir. Marxisme dianggap gerakan kacau dan kafir
hanya karena pihak dari luar seperti Ormas menuntut hal yang menurut
mereka benar. Jangan sampai Unpad dianggap sebagai Universitas yang
cacat akademis. Rektorat harus bisa menegaskan bahwa kampus adalah
tempat bertarungnya gagasan. Dalam tataran akademis tidak sepatutnya ada
diskriminasi bahkan pelarangan terhadap suatu ideologi tertentu. Jika
ada pelarangan, nampaknya aliran radikal lain perlu dipertimbangkan
penyebaranya.
Aliran kiri maupun kanan bahkan moderat sekalipun bisa
berdebat gagasan didalam kampus. Siapapun yang mengerti akan sejarah
maka ia termasuk manusia yang maju. Pemerintah sepatutnya tidak selalu
berupaya mencetak generasi baru yang mampu menggerakan kekuatan
modal/investasi dengan peningkatan kompetensi dan produktivitas kerja
yang berfokus di era global. Tetapi, Indonesia butuh generasi pemikir
baru demi mempunyai karakter yang berkelanjutan serta intelektual dalam
berpikir.
Peter Lamandau
0 komentar:
Posting Komentar