Senin, 16 Mei 2016
Pembuatan nisan kuburan massal 1965-1966 sebagian berhasil. Namun masih
banyak daerah lain yang menolak pengungkapan jejak kuburan massal PKI
tersebut.
Romo A. Budi Purnomo mengiringi peletakan nisan kuburan massal korban tragedi 1965 di Plumbon, Semarang. [Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikcom]
Muchran
punya kegemaran baru setelah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan
Nusakambangan, yakni judi togel. Warga Kendal, Jawa Tengah, ini rela
berkelana ke tempat-tempat angker untuk mencari nomor keberuntungan.
Namun, tak disangka-sangka, pengelanaannya itu justru berbuah
penemuan makam rekan separtai dan pamannya yang dibunuh secara massal
pada 1965-1966 di Dusun Plumbon, Semarang, Jawa Tengah.
Muchran adalah mantan tahanan politik 1965-1966. Saat itu, pada
usianya yang menginjak 29 tahun, ia aktif berorganisasi di Persatuan
Pamong Desa Indonesia, salah satu organisasi sayap Partai Komunis
Indonesia. Sekitar tahun 1966, ia dibawa tentara ke penjara
Nusakambangan dan baru bebas pada 1971.
"Ya, di sana (Plumbon) ramai. Orang-orang datang mencari togel.
Sampai orang Brebes juga ke sana. Saya juga ikut cari nomor togel juga
saat itu," ucapnya kepada detikX.
Nisan yang dipasang di kuburan massal di Semarang.
Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikcom
Ziarah ke kuburan massal tragedi 1965-1966 di Plumbon, Semarang
Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikcom
YPKP 1965 mendatangi Kemenko Polhukam di Jakarta, Senin, 9 Mei 2016. Foto: Ari Saputra/detikX
Lokasi kuburan massal ini berada di tengah hutan
jati. Dulu lokasi tersebut sepi karena penduduknya masih sedikit.
Rimbunnya pohon membuat suasana kian terasa angker.
Saya kenal mereka semua, dari yang BTI (Barisan Tani Indonesia) sampai Gerwani. Jadi kenapa takut?"
Muchran tak takut masuk ke hutan itu sendirian. Ia
mengenal semua orang yang dikuburkan di tempat tersebut. Beberapa di
antaranya adalah rekan-rekan satu partai dan pamannya sendiri, Sachroni.
"Saya kenal mereka semua, dari yang BTI (Barisan Tani Indonesia) sampai
Gerwani. Jadi kenapa takut?" ujarnya.
Keangkeran alas Plumbon sudah jadi rahasia umum di
kalangan warga. Jika turun gerimis, biasanya terdengar suara tangis
perempuan, bahkan terkadang suara teriakan minta tolong.
Warga sekitar, Tuyono, mengaku cerita keangkeran itu
datang dari orang luar Dusun Plumbon. Kabar yang didengarnya, ada
penampakan seorang perempuan yang rambutnya panjang hingga menutup
punggung.
Bukan membuat takut, cerita seram ini malah membuat orang-orang berdatangan untuk mencari nomor togel agar mendapat angka “jackpot” (menang). Biasanya mereka datang sambil membawa sesaji. Sampai kini pun masih banyak yang datang sekadar untuk cari wangsit.
“Banyak yang menaruh sesaji di situ. Waktu saya muda, saya ngumpet lihat orang menaruh sesaji. Kalau sudah sore, saya ambil. Lumayan. Tapi itu dulu," ujar Tuyono kepada detikX.
Muchran kemudian mencari latar belakang Dusun Plumbon. Seorang
anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama memberi tahunya
soal pembunuhan massal yang terjadi di hutan jati itu pada 1965-1966.
Jenazah korban dikubur di dua dari tiga liang yang ada.
Infografis: Fuad Hasim
"Anggota Banser itu namanya Sumani. Sudah meninggal sekarang," ujarnya.
Berdasarkan penelusuran detikX, masih ada saksi hidup yang
tinggal di dusun tersebut, yakni Sukar, 83 tahun. Saat pembunuhan
terjadi, pemuka agama setempat, Kiai Radi, melarang penduduk keluar dari
rumah. Truk yang membawa tahanan datang setelah pukul 21.00 WIB dengan
dikawal mobil jip di depan dan satu truk berisi tentara di belakang.
Para tahanan itu turun dari truk berwarna kuning dengan mata
tertutup. Mereka berjalan beriringan dengan tangan terikat tali.
"Sekitar pukul 00.00 WIB atau 01.00 WIB, terdengar suara dar-der-dor, waktu itu hujan," tuturnya.
Pagi harinya, Kiai Radi menemui Sukar untuk minta menguburkan para
korban. Ia berangkat bersama tiga orang rekannya, yakni Mukarmain,
Sarmani, dan Sarimin.
Kondisi para korban sangat mengerikan. Mukarmain tak
tahan melihat, lantas pulang, sedangkan Sarmani hanya duduk sambil
memeluk cangkul. Darah berceceran dan posisi korban tak keruan.
Penguburan pun hanya dilakukan oleh dua orang.
"Setelah selesai, saya tanya ke Sarimin, tengere (penandanya) apa ini? Terus saya kasih saja pohon jarak, ternyata bisa hidup sampai sekarang," ujarnya kepada detikX.
Upaya mengidentifikasi ulang kuburan massal baru dilakukan pada akhir
2014. Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS HAM)
merasa informasi keberadaan kuburan massal di Plumbon sangat konkret.
Karena itu, mereka bertekad memasang nisan sekaligus mengumpulkan
keluarga korban.
Koordinator PMS HAM, Yunantyo Adi, menyebutkan hasil
penelitian menunjukkan ada 24 jenazah di hutan jati itu. Proses
identifikasi sementara dilakukan hanya melalui keterangan saksi dan
ingatan keluarga korban.
Hasilnya, tujuh identitas korban berhasil diungkap,
yakni Moetiah, Soesatjo, Darsono, Joesoef, Soekandar, Dulkhamid, dan
Surono. Seluruh korban berasal dari Kabupaten Kendal. "Identitas itu
didapat dari kolega-kolega dan keluarga,” ujarnya.
Proses pembuatan nisan memerlukan waktu enam bulan.
Proses ini melibatkan keluarga, tokoh masyarakat sekitar, pemuka agama,
akademisi, Pemerintah Kota Semarang, dan Perhutani selaku pemilik tanah.
Pada 1 Juni 2015, dilakukan peletakan nisan bersama keluarga.
Sukar, pengubur korban pembunuhan 1965-1966, di alas Plumbon, Semarang [Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikcom]
"Bisa dibilang ini proses yang mulus dan bisa dicontoh oleh daerah lain," tutur Yunantyo.
Pemasangan nisan di Plumbon ini diacungi jempol oleh Ketua Yayasan
Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65) Bejo Untung. Ia
mengatakan proses pengakuan terhadap kuburan massal tidak gampang. Bejo
sendiri beberapa kali mengalami intimidasi.
YPKP 65 pernah melakukan penggalian pada tahun 2000 di hutan Situkup,
Desa Dempes, Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah. Penggalian ini mendapat
dukungan dari kepolisian, tentara (Kodim), dan pemerintah daerah.
Penggalian ini menemukan 24 kerangka korban pembunuhan massal.
Beberapa di antaranya dapat diidentifikasi dari pakaian dan barang yang
dikenakan, seperti cincin, sisir, dan selendang. Salah satu korban
memakai cincin nikah dengan nama Sudjijem bertanggal 28-6-1965.
Hambatan justru terjadi ketika menguburkan kembali korban ke tempat
yang diinginkan keluarga. Salah satu penasihat YPKP 65, Irawan
Mangunkusuma, merelakan tanahnya di Temanggung untuk menjadi tempat
pemakaman enam kerangka korban. Namun penghadangan dilakukan oleh Forum
Ukhuwiyah Islamiyah Kaloran di sekitar tempat pemakaman.
Bejo Untung, Ketua YPKP 65 Foto: Isfari Hikmat/detikX
Tom Iljas, eksil berkewarganegaraan Swedia
[Foto: dok. LBH Padang]
Dua kerangka sempat diamankan, sedangkan lainnya disebar di jalanan. "Jadi (pemakaman kembali) yang di Temanggung itu sempat dirusuh (diganggu) dan kerangkanya dicecer di jalanan," ucap Bejo.
Bukan hanya itu, mobil sempat didorong di jalanan dan kunci serta
STNK direbut paksa. Irawan sendiri mendapat ancaman pembakaran rumah
beberapa hari setelahnya.
Kericuhan yang sama terjadi ketika YPKP 65 menggelar tahlilan di
kuburan massal di “hutan PKI-nan” di Pati, Jawa Tengah, pada 2005. Acara
doa tersebut tiba-tiba diusik oleh kehadiran gerombolan tak dikenal.
Mereka menyerang dan mengancam seluruh peserta tahlilan.
YPKP 65 bukan satu-satunya lembaga yang mendapat tekanan. Tom Iljas,
77 tahun, seorang eksil berkewarganegaraan Swedia, diusir ketika hendak
berziarah ke makam bapaknya di Salido, Painan, Kabupaten Pesisir
Selatan, Sumatera Barat, pada Oktober 2015.
Ia bersama anggota keluarganya datang ke tempat yang
diduga menjadi makam bapaknya dalam tragedi 1965-1966. Niat itu tak
terlaksana karena ditolak oleh kepala kampung setempat.
Dalam perjalanan pulang, rombongan Iljas dihadang polisi. Ia sempat
ditahan polisi dengan tuduhan membuat film dokumenter tanpa izin. Iljas
pun dideportasi dan dicekal.
Iljas sendiri tak mau berkomentar atas kejadian ini. Ia tengah
menunggu tuntasnya masa pencekalan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia dan sudah menyurati Kedutaan Besar RI di Swedia. "Sebelum ada
jawaban dari Dubes, saya kira untuk sementara ini saya tidak memberikan interview dulu, dan tidak menulis apa-apa di media," ujarnya.
Reporter: Angling Adhitya Purbaya, Isfari Hikmat, Bahtiar Rifai, Aryo Bhawono
Redaktur: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim
http://x.detik.com/detail/investigasi/20160516/Menelusuri-Kuburan-PKI-Cincin-Sudjijem-Tertanggal-28-6-1965/index.php
0 komentar:
Posting Komentar