Para pengungsi Rohingya menggendong anak mereka saat melewati perbatasan Bangladesh-Myanmar di wilayah Teknaf, Bangladesh (1/9/2017).
FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Reporter: Husein Abdulsalam | 05 September, 2017
Myanmar diduga telah melakukan kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya.
Pada 1944, kata "genosida" pertama kali digunakan oleh Raphael Kelim.
Usaha mencegah genosida melalui perangkat hukum sudah dimulai setelah Perang Dunia II.
Kaus bersimbah darah menutupi tubuh ketiga pria yang pagi itu sedang memerankan warga Rohingya. Ketiganya sedang bertekuk lutut, sembari menampilkan raut wajah pasrah. Mau berbuat apalagi, tiga orang pria berpakaian tentara berbendera Myanmar menodongkan bedil dan pisau ke arah kepala mereka.
Suasana semakin dramatis kala puluhan orang lainnya meratap sambil berdiri mengelilingi keenam pria tersebut. Sesekali mereka melontarkan kutukan dan menuntut “Stop Killing Rohingya!”.
Peristiwa tersebut tidak terjadi di Myanmar, melainkan hanya sebuah aksi teatrikal yang berusaha merepresentasikan kekerasan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar akhir-akhir ini. Teatrikal tersebut menjadi bagian dalam rangkaian Aksi Simpatik untuk Rohingya yang digelar di Car Free DayJakarta, Minggu (3/9/2017).
Antara melaporkan, terhitung 1 Agustus 2017, ditaksir 400 orang tewas dalam konflik di Myanmar barat laut. Sedangkan sumber PBB mengatakan kurang lebih 38.000 warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh. Situasi itu terjadi menyusul serangan gerilyawan Rohingya terhadap sejumlah pos polisi dan pangkalan militer di negara bagian Rakhine, Myanmar. Junta militer kemudian melakukan tindakan balasan yang bengis.
Hampir setahun sebelumnya, pada Oktober 2016, UNHCR Malaysia mencatat sebanyak 135.475 orang pengungsi dan pencari suaka di Malaysia berasal dari Myanmar. Mereka terdiri dari 54.856 etnis Rohingya, 41.420 etnis Chin, 10.928 dari komunitas muslim, 5.221 etnis Rakhine dan Arakan, dan sisanya dari kelompok etnis lain di Myanmar.
Kekerasan itu membuat Myanmar didakwa telah melakukan genosida terhadap etnis Rohingya. Tindakan itu menambah daftar panjang kejahatan genosida yang pernah mengorbankan berbagai kelompok etnis, ras, dan bangsa serta kelompok identitas lain di dunia.
Etnis Armenia pernah mengalami hari-hari kelabu semasa Armenian Holocaust yang terjadi antara 1915-1917. Kala itu, etnis Armenia yang berada di wilayah perbatasan Turki-Armenia dibunuh otoritas Turki. Korbannya mencapai 1,8 juta orang. Meski masih menjadi perdebatan, Joseph Cummins dalam The World's Bloodiest History menyebutkan genosida etnis Armenia ini menjadi inspirasi Hitler untuk melakukan tindakan serupa terhadap kaum Yahudi di Jerman selama memimpin Nazi.
Selama Nazi memimpin, berdasarkan data United States Holocaust Memorial Museum, tidak kurang dari 6 juta Yahudi dibunuh.
Genosida juga melanda etnis Bosnia selama peperangan pasca bubarnya Yugoslavia. Pada 1991, negara yang pernah adidaya kala dipimpin Joseph Broz Tito itu pecah. Masing-masing etnis yang pernah dipersatukan Tito mendirikan negara masing-masing: Kroasia, Bosnia & Herzegovina, Serbia-Montenegro, Slovenia, dan Macedonia.
Pecahnya Yugoslavia membuka sentimen kebencian antar etnis yang selama ini berhasil diredam oleh rezim Yugoslavia. Pada Juli 1995, pasukan Republik Srpska menggempur kota Srebenica. Pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Ratko Mladic (etnis Serbia) itu mengusir 25.000 wanita dan anak-anak etnis Bosnia dari wilayah yang secara administratif berada di Bosnia & Herzegovina tersebut. Sekitar 15.000 orang Bosnia mencoba melarikan diri ke tempat yang lebih aman di Bosnia tengah, namun sebanyak 3.000 orang di antaranya meregang nyawa, baik karena ditembak atau dipenggal kepalanya.
Seolah tidak ada habisnya, genosida pun kembali terjadi pada 1994. Dari April hingga pertengahan Juli 1994, anggota etnis Hutu di Rwanda membunuh setidaknya 500 ribu hingga 800 ribu anggota etnis Tutsi.
Dalam rumusan Kemlin, “Genosida berarti pemusnahan kelompok etnis. Secara umum, Genosida tidak harus berarti pemusnahan yang segera terhadap suatu bangsa. Ini diartikan sebagai adanya unsur niat yang sudah direncanakan lebih dahulu melalui berbagai tindakan yang ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama kehidupan kelompok suatu bangsa.”
Kemlin juga menyebutkan bahwa cara pelaksanaan genosida tidak melulu dengan cara-cara teknis seperti pemenggalan atau penembakam, tetapi juga dengan cara memecah belah institusi politik dan sosial, budaya, bahasa, perasaan kebangsaan, agama serta pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan, kesehatan, martabat dan bahkan kehidupan individu dari suatu kelompok.
Pada 1945, meskipun kata "genosida" tidak secara tersurat disebut, tapi semangatnya sudah muncul dalam International Military Tribunal yang dicetuskan di Nuremberg, Jerman. Semangat itu dirumuskan terutama oleh negara Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II.
Piagam yang dikenal dengan nama Piagam Nuremberg ini berusaha mendakwa para pejabat tinggi Nazi atas tindakan "kejahatan terhadap kemanusiaan" yang mencakup penganiayaan atas dasar ras, agama atau politik serta tindakan tidak manusiawi yang dilakukan terhadap warga sipil.
Kemudian, pada 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG). Konvensi yang biasa dikenal dengan sebutan Konvensi Genosida tersebut mendefinisikan genosida adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras dan agama.
Menurut Konvensi Genosida, ada lima tindakan yang tergolong sebagai genosida, yakni:
Baik ICTY maupun ICTR pada akhirnya menjelaskan dengan tepat jenis tindakan apa yang dapat diklasifikasikan sebagai genosida, dan juga bagaimana tanggung jawab pidana atas tindakan ini harus dilakukan. Kemudian, pada 1998, ICTR menetapkan pemerkosaan sistematis adalah bagian dari kejahatan genosida.
Berdasarkan data yang dirilis ICTR, sebanyak 93 individu telah didakwa atas kejahatan genosida dan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan yang dilakukan pada tahun 1994. wali Jean-Paul Akayesu, yang pada kerusuhan menjabat sebagai walikota Taba, pun tidak luput dari dakwaan. Sementara itu, ICTY telah mendakwa 161 individu terkait genosida dan kejahatan terhadap kemanuasiaan selama perang pasca Yugoslavia bubar.
Definisi mutakhir terkait genosida diatur dalam Rome Statute of the International Criminal Court. Dengan merujuk pada Konvensi Genosida, aturan yang dikenal dengan Statuta Roma 1998 mendefinisikan genosida sebagai setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan.
Menurut statuta tersebut, ada lima tindakan yang tergolong sebagai genosida, yakni: (1) membunuh anggota kelompok, (2) menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok; (3) secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian; (4) memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok; dan (5) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
Statuta Roma juga dilengkapi dengan unsur-unsur genosida. Hal ini misalnya terkait dengan kejahatan genosida dalam bentuk pembunuhan, yang unsur-unsurnya mencakupi: pelakunya membunuh (membunuh atau menyebabkan kematian) satu atau lebih orang; orang-orang tersebut [yang dibunuh itu] berasal dari suatu bangsa tertentu,kelompok etnis, ras atau agama tertentu; pelaku tersebut memang berniat untuk menghancurkan, baik seluruh maupun sebagian, bangsa tersebut, kelompok etnis, ras atau agama tertentu tersebut dan tindakan tersebut terjadi suatu pola yang manifestasi dari tindakannya pasti akan berakibat pada kehancuran terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Meskipun Konvensi Genosida telah berhasil membangun kesadaran bahwa kejahatan genosida eksis, ironisnya tidak ada satu negara pun menggunakan konvensi tersebut selama tahun 1975 sampai 1979 ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot membunuh sekitar 1,7 juta orang di Kamboja. Padahal, Kamboja juga merupakan sebuah negara yang telah meratifikasi Konvensi Genosida pada 1950. Konvensi itu pun seolah tak berhasil meredam genosida terhadap etnis Tutsi di Rwanda pada 1994 dan etnis Bosnia pada 1995
Belum lagi jika merujuk operasi-operasi militer besar-besaran yang berakhir dengan pembantaian skala besar-besaran. Hal itu terjadi di Indonesia dalam pembantaian massal antara 1965-1967 yang menimpa orang-orang komunis dan simpatisan serta siapa pun dituduh PKI. Indonesia juga melakukan kekerasan berdarah di Timor Timur (kini Timor Leste) dalam peristiwa Santa Cruz maupun Balibo. Hal mirip terjadi di Chili saat Jenderal Auguste Pinochet, dengan semangat yang sama seperti di Indonesia pada 1965-1967, membantai orang-orang kiri di negerinya.
Kuat kesan bahwa hukum tentang genosida dan kejahatan kemanusiaan hanya mampu menyasar para pelaku itu pun ketika peristiwa sudah berakhir. Proses diplomasi yang rumit dan berbelit-belit di PBB, dibalut kepentingan politik setiap negara, membuat praktik genosida sering terlambat ditangani dan dihentikan.
Akankah hal serupa akan terjadi pada orang-orang Rohingya? Semoga tidak!
Suasana semakin dramatis kala puluhan orang lainnya meratap sambil berdiri mengelilingi keenam pria tersebut. Sesekali mereka melontarkan kutukan dan menuntut “Stop Killing Rohingya!”.
Peristiwa tersebut tidak terjadi di Myanmar, melainkan hanya sebuah aksi teatrikal yang berusaha merepresentasikan kekerasan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar akhir-akhir ini. Teatrikal tersebut menjadi bagian dalam rangkaian Aksi Simpatik untuk Rohingya yang digelar di Car Free DayJakarta, Minggu (3/9/2017).
Antara melaporkan, terhitung 1 Agustus 2017, ditaksir 400 orang tewas dalam konflik di Myanmar barat laut. Sedangkan sumber PBB mengatakan kurang lebih 38.000 warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh. Situasi itu terjadi menyusul serangan gerilyawan Rohingya terhadap sejumlah pos polisi dan pangkalan militer di negara bagian Rakhine, Myanmar. Junta militer kemudian melakukan tindakan balasan yang bengis.
Hampir setahun sebelumnya, pada Oktober 2016, UNHCR Malaysia mencatat sebanyak 135.475 orang pengungsi dan pencari suaka di Malaysia berasal dari Myanmar. Mereka terdiri dari 54.856 etnis Rohingya, 41.420 etnis Chin, 10.928 dari komunitas muslim, 5.221 etnis Rakhine dan Arakan, dan sisanya dari kelompok etnis lain di Myanmar.
Kekerasan itu membuat Myanmar didakwa telah melakukan genosida terhadap etnis Rohingya. Tindakan itu menambah daftar panjang kejahatan genosida yang pernah mengorbankan berbagai kelompok etnis, ras, dan bangsa serta kelompok identitas lain di dunia.
Etnis Armenia pernah mengalami hari-hari kelabu semasa Armenian Holocaust yang terjadi antara 1915-1917. Kala itu, etnis Armenia yang berada di wilayah perbatasan Turki-Armenia dibunuh otoritas Turki. Korbannya mencapai 1,8 juta orang. Meski masih menjadi perdebatan, Joseph Cummins dalam The World's Bloodiest History menyebutkan genosida etnis Armenia ini menjadi inspirasi Hitler untuk melakukan tindakan serupa terhadap kaum Yahudi di Jerman selama memimpin Nazi.
Selama Nazi memimpin, berdasarkan data United States Holocaust Memorial Museum, tidak kurang dari 6 juta Yahudi dibunuh.
Genosida juga melanda etnis Bosnia selama peperangan pasca bubarnya Yugoslavia. Pada 1991, negara yang pernah adidaya kala dipimpin Joseph Broz Tito itu pecah. Masing-masing etnis yang pernah dipersatukan Tito mendirikan negara masing-masing: Kroasia, Bosnia & Herzegovina, Serbia-Montenegro, Slovenia, dan Macedonia.
Pecahnya Yugoslavia membuka sentimen kebencian antar etnis yang selama ini berhasil diredam oleh rezim Yugoslavia. Pada Juli 1995, pasukan Republik Srpska menggempur kota Srebenica. Pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Ratko Mladic (etnis Serbia) itu mengusir 25.000 wanita dan anak-anak etnis Bosnia dari wilayah yang secara administratif berada di Bosnia & Herzegovina tersebut. Sekitar 15.000 orang Bosnia mencoba melarikan diri ke tempat yang lebih aman di Bosnia tengah, namun sebanyak 3.000 orang di antaranya meregang nyawa, baik karena ditembak atau dipenggal kepalanya.
Seolah tidak ada habisnya, genosida pun kembali terjadi pada 1994. Dari April hingga pertengahan Juli 1994, anggota etnis Hutu di Rwanda membunuh setidaknya 500 ribu hingga 800 ribu anggota etnis Tutsi.
Jalan Panjang Hukum Genosida
Raphael Kemlin, seorang Yahudi asal Polandia, dianggap sebagai orang pertama yang mengenalkan kata "genosida". Dalam buku Axis Rule in Occupied Europe: Laws of Occupation, Analysis of Government, Proposals for Redress yang terbit pada 1944, Kemlin memadukan kata "genos" yang dalam bahasa Yunani berarti "ras, bangsa, atau suku", dan kata "cide" yang dalam bahasa Latin berarti "membunuh". Gabungan "genos" dan "cide" itulah yang membentuk kata genosida.Dalam rumusan Kemlin, “Genosida berarti pemusnahan kelompok etnis. Secara umum, Genosida tidak harus berarti pemusnahan yang segera terhadap suatu bangsa. Ini diartikan sebagai adanya unsur niat yang sudah direncanakan lebih dahulu melalui berbagai tindakan yang ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama kehidupan kelompok suatu bangsa.”
Kemlin juga menyebutkan bahwa cara pelaksanaan genosida tidak melulu dengan cara-cara teknis seperti pemenggalan atau penembakam, tetapi juga dengan cara memecah belah institusi politik dan sosial, budaya, bahasa, perasaan kebangsaan, agama serta pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan, kesehatan, martabat dan bahkan kehidupan individu dari suatu kelompok.
Pada 1945, meskipun kata "genosida" tidak secara tersurat disebut, tapi semangatnya sudah muncul dalam International Military Tribunal yang dicetuskan di Nuremberg, Jerman. Semangat itu dirumuskan terutama oleh negara Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II.
Piagam yang dikenal dengan nama Piagam Nuremberg ini berusaha mendakwa para pejabat tinggi Nazi atas tindakan "kejahatan terhadap kemanusiaan" yang mencakup penganiayaan atas dasar ras, agama atau politik serta tindakan tidak manusiawi yang dilakukan terhadap warga sipil.
Kemudian, pada 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG). Konvensi yang biasa dikenal dengan sebutan Konvensi Genosida tersebut mendefinisikan genosida adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras dan agama.
Menurut Konvensi Genosida, ada lima tindakan yang tergolong sebagai genosida, yakni:
- pembunuhan anggota kelompok;
- Mengakibatkan penderitaan serius terhadap jiwa dan mental anggota kelompok;
- Secara sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan untuk melakukan kemusnahan secara fisik baik keseluruhan maupun sebagian;
- Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu; dan
- Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok yang lain.
Menyempurnakan Konvensi Genosida
Penyempurnaan terhadap hukum genosida terus dilakukan. Pada statuta International Criminal Tribunal for Former Yusgoslavia (ICTY), sebuah pengadilan yang dirancang guna mengadili pelaku kejahatan genosida terhadap etnis Bosnia, untuk pertama kali mandat untuk mengadili kejahatan genosida dicantumkan. Statuta itu pun diadaptasi sebagai dasar statuta International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).Baik ICTY maupun ICTR pada akhirnya menjelaskan dengan tepat jenis tindakan apa yang dapat diklasifikasikan sebagai genosida, dan juga bagaimana tanggung jawab pidana atas tindakan ini harus dilakukan. Kemudian, pada 1998, ICTR menetapkan pemerkosaan sistematis adalah bagian dari kejahatan genosida.
Berdasarkan data yang dirilis ICTR, sebanyak 93 individu telah didakwa atas kejahatan genosida dan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan yang dilakukan pada tahun 1994. wali Jean-Paul Akayesu, yang pada kerusuhan menjabat sebagai walikota Taba, pun tidak luput dari dakwaan. Sementara itu, ICTY telah mendakwa 161 individu terkait genosida dan kejahatan terhadap kemanuasiaan selama perang pasca Yugoslavia bubar.
Definisi mutakhir terkait genosida diatur dalam Rome Statute of the International Criminal Court. Dengan merujuk pada Konvensi Genosida, aturan yang dikenal dengan Statuta Roma 1998 mendefinisikan genosida sebagai setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan.
Menurut statuta tersebut, ada lima tindakan yang tergolong sebagai genosida, yakni: (1) membunuh anggota kelompok, (2) menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok; (3) secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian; (4) memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok; dan (5) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
Statuta Roma juga dilengkapi dengan unsur-unsur genosida. Hal ini misalnya terkait dengan kejahatan genosida dalam bentuk pembunuhan, yang unsur-unsurnya mencakupi: pelakunya membunuh (membunuh atau menyebabkan kematian) satu atau lebih orang; orang-orang tersebut [yang dibunuh itu] berasal dari suatu bangsa tertentu,kelompok etnis, ras atau agama tertentu; pelaku tersebut memang berniat untuk menghancurkan, baik seluruh maupun sebagian, bangsa tersebut, kelompok etnis, ras atau agama tertentu tersebut dan tindakan tersebut terjadi suatu pola yang manifestasi dari tindakannya pasti akan berakibat pada kehancuran terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Hukum yang Gagal Menghentikan Genosida?
Kendati usaha merumuskan hukum(an) pada tindakan genosida sudah berlangsung lama, bahkan sudah dirintis tak lama setelah Perang Dunia II berakhir, namun praktik genosida seperti tetap dapat berlangsung tanpa bisa dicegah.Meskipun Konvensi Genosida telah berhasil membangun kesadaran bahwa kejahatan genosida eksis, ironisnya tidak ada satu negara pun menggunakan konvensi tersebut selama tahun 1975 sampai 1979 ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot membunuh sekitar 1,7 juta orang di Kamboja. Padahal, Kamboja juga merupakan sebuah negara yang telah meratifikasi Konvensi Genosida pada 1950. Konvensi itu pun seolah tak berhasil meredam genosida terhadap etnis Tutsi di Rwanda pada 1994 dan etnis Bosnia pada 1995
Belum lagi jika merujuk operasi-operasi militer besar-besaran yang berakhir dengan pembantaian skala besar-besaran. Hal itu terjadi di Indonesia dalam pembantaian massal antara 1965-1967 yang menimpa orang-orang komunis dan simpatisan serta siapa pun dituduh PKI. Indonesia juga melakukan kekerasan berdarah di Timor Timur (kini Timor Leste) dalam peristiwa Santa Cruz maupun Balibo. Hal mirip terjadi di Chili saat Jenderal Auguste Pinochet, dengan semangat yang sama seperti di Indonesia pada 1965-1967, membantai orang-orang kiri di negerinya.
Kuat kesan bahwa hukum tentang genosida dan kejahatan kemanusiaan hanya mampu menyasar para pelaku itu pun ketika peristiwa sudah berakhir. Proses diplomasi yang rumit dan berbelit-belit di PBB, dibalut kepentingan politik setiap negara, membuat praktik genosida sering terlambat ditangani dan dihentikan.
Akankah hal serupa akan terjadi pada orang-orang Rohingya? Semoga tidak!
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar